Senja Merah

Sore itu aku teringat, sepotong senja merah
Yang berpendar, sesekali berkeriap, angin terbangkan awan kecil
Seperti gulali
Sepuluh tahun lalu, ya, ya, sepuluh tahun lalu
Aku masih kanak kanak dengan sepatu kuning bergambar kartun
Kala peluru berdesing, pria berparang berlarian, darah tumpah
Di pelabuhan
Ya, ya, sepuluh tahun lewat
Saat badan badan tunakepala
Dibuang ke tepian sungai
Amis menguar ke udara
Laki laki berseragam, sibuk berbalas tembak
Dengan senjata rakitan dan tebasan parang
Sesekali, asap pekat mengepul di sudut sudut kota
Sesekali, tubuh tumbang bersimbah darah
Kadang berlubang, kadang terpenggal
Nafas Ayah tersengal, digendongnya aku
Puluhan berparang
Menyentakku dari gendongan, berteriak teriak
Uluh itah kia, uluh itah kia*, disoraikan ayah
Burung burung elang*
Berputar putar, magis
Ya, ya, sepuluh tahun lewat
Dan aku masih sulit terlelap
Di Minggu senja merah






*Uluh itah kia : Bahasa Dayak Ngaju, artinya “Orang kita juga”
*Burung Elang yang berputar putar di atas rumah terbakar dimitoskan sebagai jelmaan Panglima Burung, konon, dengan adanya elang yang berputar di atas rumah, api takkan menyebar
*Jelang sepuluh tahun peristiwa kerusuhan Sampit, 18 Februari 2001

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s