Disclaimer: REPOST
Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu.
Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.
Itu tengah malam. Hari sabtu.
Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu.
Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu.
Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak.
Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga.
Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya.
“Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..,”
Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah.
Api menjilat ruang tamu. Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.
Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka. Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak.
“Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi”
Beliau tak berubah, tetap sayang padaku
Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara
DS 1098 NK tercetak di lengannya
Ayah bilang itulah identitas narapidana
Tubuh rentanya semakin tirus
Semakin kurus
Suatu senja
Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata
Bersenapan
Mereka geledah semua rumah
Mencari pengkhianat bangsa
Atau dalam versi mereka
Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara
Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja
Mereka masuk ke bilik kami
Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah
Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya
Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah
Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah
Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya
“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”