Semua perangai buruk harus termaafkan sebelum aku bunuh diri. Dua minggu berselang sejak keinginan itu datang dan aku kini tengah menanti bus yang akan membawaku ke kota tempat Ratri berada.
Ia temanku semasa sekolah dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kekasihnya sempat kurebut atas nama kesal sebab nilai ujiannya selalu selangkah di depanku. Ratri marah besar, aku tak pernah meminta maaf. Selepas sekolah ia pergi ke luar kota, tidak pernah lagi kudengar kabarnya hingga halaman jejaring sosialku menautkan akun pribadinya.
Ratri kini telah memiliki dua anak dan sebuah butik, setidaknya itu yang kubaca di jejaring sosialnya.
Paku Picik |
Dan tentu saja, cerpen ini tidak dilanjutkan. Karena nenek moyang terbiasa membaca pertanda alam untuk memprediksi kapan harus melakukan sesuatu, perubahan perilaku yang mendadakpun diasosiasikan sebagai sinyal kematian. Because fuck logic and mathematical sense, right? lalu produk zaman modern serupa surat kabarpun memuat kalimat “Semasa hidupnya, korban dikenal sebagai seorang pemabuk namun tiga hari jelang kematiannya, ia kerap terlihat mengunjungi surau di waktu subuh” padahal bisa saja si korban numpang pipis, hangover berlebihan dan butuh tempat buat tidur atau, nyolong duit sumbangan, kan?
Sial, untuk berbuat baik saja mesti dikira tengah menuju mati. Bangsa pesimistis.