![]() |
Membaca gejala dari jelaga |
Kemarau sedang terik teriknya. Gersang dan hawa panas di siang hari disusul malam gigil yang menggeretakkan gigi kala menempuh perjalanan mencari sahur sudah menjadi hal biasa beberapa minggu belakangan. Ramadhan menemui puncaknya, tiga hari jelang lebaran.
Saya paling jago soal ini: Menerka nerka. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengambil jeda dari pikuk rutin seharian dan tepekur, memikirkan soal apa saja yang telah terjadi dan apa yang terlewat untuk dilakukan. Semata agar besok saya tidak mengulangi hal hal yang tidak selayaknya diulangi, meminimalisir perasaan sesal, atau memenuhi janji yang terlewat di hari itu lalu introspeksi. Sisanya membaca gejala, menerka nerka soal apa yang ingin semesta beritahukan pada saya saat hal hal tidak biasa terjadi.
Kehilangan kunci motor, air kamar mandi yang luber hingga dua hari, komputer yang lupa dimatikan, dompet tertinggal hingga kematian mama.
Gejala gejala tidak biasa yang saya coba serap dari semesta memberikan jawaban atas setiap kenapa yang saya lontarkan pada kejadian kejadian tersebut. Semisal, kematian mama adalah cara Tuhan mendewasakan saya, menegarkan saya, menghilangkan kebiasaan cengeng dan gampang putus asa. Setelahnya saya merasakan kenaikan kelas, ini sombong tapi begitulah adanya. Saya menjadi seseorang yang jauh lebih pemaaf, penyabar dan penyayang dibanding tahun silam sebelum kematian mama.
Sampai sejauh ini saya merasa baik baik saja -kecuali untuk satu hal itu yang nampaknya tingkat kepelikannya sudah sedemikian absolut hingga tepekur dan introspeksi berhari hari tidak bisa menepiskan sedikitpun soal jangan-diulangi-lagi-esok-hari- hingga hari ini.
Hari ini saya kehilangan teman baik lantaran lupa membaca gejala.
Pemakluman adalah upaya manusia untuk menegaskan kelemahan mereka sebagai manusia. Memanusiawikan kemanusiaannya di balik kalimat khilaf. Maka mungkin ini adalah titik khilaf saya, menjadi manusia yang tidak pandai membaca gelagat semesta, berkata yang tidak semestinya, menyakiti orang atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Jika pemakluman adalah jawaban atas kekhilafan, maka saya tidak bisa mengutarakan apapun kecuali maaf.
Memaafkan diri sendiri adalah puncak pemaafan. Semoga kelak, di kehidupan yang terjadi selepas ini saya tidak menghukum diri sendiri dengan terlalu keras. Semoga dijauhkan dari pola berulang yang sungguh saya tau betul seperti apa rasa tidak nyamannya. Janji saya untuk tidak baper di media sosial sudah nyaris sepenuhnya terjalankan bahkan hingga kini saat akses dibacanya sedemikian tersedia.
Tidak lagi mempermalukan diri dengan berbagai hal yang memuakkan siapapun yang membacanya. Menjadi kuat dan berhenti mencari simpati, tidak menyakiti diri sendiri, menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan atas kejadian yang tidak mengenakkan. Tidak memperbolehkan diri sendiri untuk hidup dalam penyesalan meskipun telah kehilangan.
Saat seseorang mampu melewati proses kehilangan seseorang yang begitu besar porsi kehadirannya dalam hidupnya, kehilangan kehilangan selanjutnya adalah hal biasa. Sedih memang, sungguh. Saya tidak memungkiri perasaan mencelos dan kehilangan yang saya alami beberapa hari belakangan, saya memaafkan diri saya untuk merasa sedih, menangis, merasa bersalah. Namun setelah ini, saya tau saya akan baik baik saja, langkah saya akan sama ringannya seperti sebelum ini semua terjadi.
Kejadian ini adalah gejala, dan saya harus berbijaksana dalam menerka simbol dan pesan semesta. Agar berhenti dan melanjutkan hidup ke arah yang berbeda.
Sebab saat kita naik kelas, kita harus rela meninggalkan ruang kelas yang lama.
Sampit, 13 Juli 2015
Repetisi memang menyebalkan.