Saya ingat tahun tahun di mana saya sedemikian bersemangat mempelajari soal ketuhanan. Dan agama agama, dan mazhab mazhab, dan aliran aliran kepercayaan. Saya juga ingat bagaimana akun @rusnanianwar di twitter (yang kemudian saya tutup dua tahun kemudian) menembus angka 1,000 follower dalam waktu 4 bulan di tahun 2011.

Diskusi diskusi ini semakin menjadi ketika saya tinggal di Jakarta. Semakin banyak kawan kawan ‘sealiran’ untuk saya temui dan ‘membenarkan’ lontaran lontaran kalimat saya yang sungguh dangkal dan hanya berdasar pada logika, akal dan secuil referensi bacaan.
2012 adalah downroad saya dari puncak gunung itu. Saya bekerja di sebuah production house milik Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), anak dari Emha Ainun Nadjib. Perlahan saya berproses dan mempelajari orang orangnya Cak Nun dan mendapati ini: a bliss of tranquility. Dari orang orang tersebut saya tidak menemukan kemarahan, tidak menemukan hujatan, tidak menemukan bantahan bantahan. Orang orang Cak Nun adalah definisi terbaik dari kata toleransi yang pernah saya temui.
Lalu begitu saja, seiring dengan sibuknya saya mengelola konten akun @AkuRayya kala itu, twitter saya hilang gairah. Rutinitas ngetwit berkurang hingga hitungan jari hingga tidak sama sekali. Pikiran saya teralihkan, semangat saya terluapkan dalam keinginan untuk belajar soal tranquility-nya orang orang Cak Nun. Saya mengikuti nyaris setiap Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, menonton unggahan video youtube dan melepaskan diri dari penggolongan penggolongan istilah buatan manusia. Saya bukan lagi atheis, agnostik, theist-enthusiast, modern buddhism atau apalah istilah yang dulu sempat disebutkan untuk saya -atau akun twitter saya- kala itu.
Saya manusia, yang memanusiakan dirinya.
Waktu berselang dan saya pulang. Sepanjang rentang waktu dari saat itu hingga sekarang, saya nyaris tidak pernah lagi mengikuti diskusi langitan. Begitu banyak hal yang terjadi dan tiga tahun kemudian, saya menulis posting ini sambil tertawa sendiri. Oh how young and naive I was.
Simpulannya adalah, tidak peduli bagaimana orang menyebutmu sebagai gadis 18 tahun cerdas yang memiliki kemampuan berlogika di atas rata rata, kamu tidak akan bisa menemukan kebijaksanaan waktu secepat usiamu. Mengetahui kapan harus diam saja, kapan harus berbicara namun tidak menyakiti, atau kapan harus menahan keinginan untuk berdebat atas sesuatu yang hanya akan berakhir dengan ketidaknyamanan adalah perkara kebijaksanaan waktu. Sejak usia 18 hingga sekarang nyaris menyelesaikan seperempat abad putaran usia, saya belum memiliki kebijaksanaan itu.
To restrain yourself from being selfish, is the main goal of living in a society.
Saya bumping di timehop dan menemukan sederet posting soal jilbab. Saya masih ingat perspektif saya soal penutup kepala umat muslim ini. Intinya soal pemisahan antara agama dan budaya, serta kepandaian memahami aturan tersirat dan tersurat. Saya tertawa karena sejak seminggu belakangan saya memutuskan untuk menggunakan apa yang saya sebut sebagai “Tidak lebih sebagai penegas teritori umat superior yang telah merasa lebih beragama” untuk alasan yang insya Allah bukan itu. Saya masih Nani yang sama, hanya lebih kalem karena sulit untuk bergerak berlebihan dengan baju panjang dan jilbab di kepala.
Yang saya tau, ada jawaban untuk keinginan (dan tuntutan) saya atas sebuah perubahan.
Hidup kadang memang semenarik ini.