Satu dari kegiatan favoritku sebagai pekerja urban adalah menonton film. Alasannya simpel, membaca buku jatahnya akhir pekan dan dua jam sebelum tidur menonton film bagus bisa bikin mimpi ikutan bagus. Film bagus loh ya, bukan maraton series the Walking Dead sama Game of Throne yang siaul bikin aku mimpi dikejar jombi sampe Kabupaten sebelah.
Beberapa yang menarik di pekan ini adalah 9 Songs, the Danish Girl, for Grace dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Berhubung 9 Songs didonlot buat menambah koleksi bokep dan for Grace adalah film yang …meh, maka the Danish Girl dan ESotSM jadi lebih menonjol. Selain itu, kedua film ini punya satu benang merah yang sama:
Tentang bagaimana membuang bagian dari kita yang bukan “kita”.
The Danish Girl
Isu soal LGBT yang lagi heboh belakangan mengantarkan pada film soal transgender ini. Ditambah dengan From the Director of The King’s Speech and Les Miserables di posternya membuat perkara menyedot torrent film ini adalah penting. Eddie Redmayne sekali lagi membuktikan kemampuan riset yang baiknya dalam interpretasi tokoh nyata. Setelah memerankan Stephen Hawking dalam film Theory of Everything di tahun 2014, tahun 2015 dia memerankan Lili Elbe dengan, well, meyakinkan. Dan meyakinkan adalah kunci sukses sebuah interpretasi tokoh, kurasa.
Aku dibikin ikut terenyak dan tarik-embus nafas tiap Einer menyentuh baju baju perempuan. Kemampuan untuk menyuguhkan sesuatu seperti itu dalam kurun kurang dari setahun pak Redmayne lompat peran dari Stephen Hawking ke Lili Elbe adalah kerja keras sesungguhnya.
Yang mengganggu buatku justru sikap sang istri, Gerda Wegener yang kelewat selow. Aku tau latarnya adalah Denmark dan Paris di tahun 1920 awal di mana revolusi teknologi dan feminisme mulai diterapkan dengan baik di sana. Isu LGBTpun sudah ada (dalam satu scene seorang di jalan menyebut Einer sebagai “lesbian”) namun patut diingat bahwa Lili adalah orang pertama yang melakukan serangkaian operasi transgender.
Karakter Gerda yang terkesan “Oh elu ternyata pengen jadi cewe? Yodah gih” itu bikin gemes. Aku menunggu momentum denial, gugat, upaya buat meluruskan dan klise lainnya jika sebagai istri nemuin suaminya ternyata mau jadi perempuan. Mungkin film ini tidak bermain di klise semacam itu, mungkin aku yang kebanyakan nonton sinetron sehingga muncul espektasi demikian.
Mengangkat kisah soal LGBT ke dalam film bukan perkara mudah, banyak film film yang gagal dan jatuh pada klise hingga tanpa sengaja menghina komunitas LGBT itu sendiri. Seolah cuma ada dua cara untuk mengantarkannya; melalui komedi satir atau penelaahan serius.
Untungnya, the Danish Girl masuk ke yang kedua. Ini film serius dengan penggarapan tidak main main sehingga mampu mengantarkan pesan yang benar soal keadaan psikologis tokoh. Aku diajak merasakan keinginan untuk diakui, hasrat dan penalaran soal ‘sesuatu yang memuncak dan tidak bisa dibendung lagi’ hingga dua jam penuh. Soal trauma atas ‘penyembuhan’ dengan radiasi bahkan bisa disampaikan tanpa dialog. Touché!
Eternal Sunshine of the Spotless Mind
Ini adalah film lawas yang aku tonton di tahun 2006 kalo ga salah. Begitu buram ingatan soal film ini, aku tonton lagi dan akhirnya ngeh soal isi ceritanya. Yang membuat film ini menarik selain nama besar pemain pemainnya, ide filmnya juga menarik.
Soal bagaimana cara membuang kenangan yang bakal bikin susah move on.
Metodenya dibikin sedemikian masuk akal sampai aku lupa ini sci-fi hahaha. Sebagai film drama tentu dia menghibur, sebagai film komedi tentu bakal tertawa berkat akting Mark Ruffalo dan Kirsten Dunst yang ucuw banet. Sebagai film romantis ia juga sukses dengan buanyaknya quote yang bisa diposting di media sosial kalo lagi baper.
Jim Carey dan Kate Winslet juga menarik, karakter Clementine utamanya. Masuk ke hidup orang tanpa dinyana lalu pergi begitu saja. LALU MAIN APUS APUS KENANGAN BEGITU AJA LAGIH. Oke. Uhuk.
Paling suka justru bagaimana Stan sama Mary akhirnya barengan. Dan bagaimana kok ndilalah Elijah Wood (Patrick) bisa jadian sama Clementine padahal dia teknisi buat ngapus ngapusin kenangan orang!