Kumpulan Sajak Januari

Kepada yang menghujani cecar kepada tertuduh. Kepada yang lelah untuk menyanggah.

Langkahnya terseok, meningkahi kucur merah dari lubang menganga di pangkal kakinya

Sesekali ia mengeram, jatuh bersimpuh

Darah masih mengalir, bertambah deras dari lubang telinga

Liurnya menetes, merah juga warnanya, geraham bungsu hingga taring remuk semua

Matanya mengerjap, terik matahari merangsek masuk

Kali ini darah masih di sana, kepalanya tersayat delapan

Nafasnya memburu, meregang nyawa

Dicengkramnya lengan kirinya, melepuh bekas setrika

Wenggini coba menghapus tattonya

Pun tetap jua sepatu lars dan todongan senjata kejutkan pagi harinya

Di sela nafas yang sepenggal sepenggal

Tetes liur bercampur darah dari lidahnya yang dipotong

Menggumam gumam tanpa suara

“Aku takkan mengaku..”

 ***

Aku lupa, mungkin September tanggal tiga.

Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu.

Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.

Itu tengah malam. Hari sabtu.

Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu.

Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu.

Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak.

Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga.

Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya.

“Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..,”

Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah.

Api menjilat ruang tamu. Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.

Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka. Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak.

“Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi”

***

Ayahku digiring melalui pasar dan selokan

Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan

Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya

Babak belur ayah dihakimi massa,

Diseret tubuh rentanya menuju penjara

Ayahku mencuri

Seekor ayam milik tetangga

Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja

Tubuhnya sudah renta

Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya

Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya

Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga

Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya

Hanya ayam buras biasa, putih warnanya

Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema

Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan

Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah di kakinya berlipat banyaknya

 

 

Ayah telah pulang dari penjara

3 tahun lamanya

Beliau tak berubah, tetap sayang padaku

Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara

DS 1098 NK tercetak di lengannya

Ayah bilang itulah identitas narapidana

Tubuh rentanya semakin tirus

Semakin kurus

Suatu senja

Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata

Bersenapan

Mereka geledah semua rumah

Mencari pengkhianat bangsa

Atau dalam versi mereka

Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara

Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja

Mereka masuk ke bilik kami

Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah

Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya

Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah

Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah

Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya

“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s