Kena tagnya di Path, nulisnya di sini karena for the glory of satan, of course.
Achdiat K Mihardja
Aku hanya membaca satu bukunya, berjudul Atheis. Aku ingat pernah menemukan buku ini di perpustakaan SMP dan membaca habis tanpa banyak ingat detil ceritanya. Membaca Atheis kembali beberapa bulan lalu kemudian bersegera menyimpulkan kalau aku memang jatuh cinta dengan sastrawan angkatan Pujangga Baru hahaha. Gaya bahasa yang baru saja bangkit dari era ejaan lama dengan pustaka HB Jasmin begitu memesona karena sedemikian baku lagi seksi. Terlepas dari itu, Achdiat membuatku kagum dengan plot cerita yang pernah kureview di sini
Tentu tidak perlu kujelaskan bagaimana hype buku The Grand Design di tahun tahun silam. Tidak perlu kujabarkan soal isu ketuhanan memang senantiasa menarik untuk dibahas dari zaman ke zaman. Aku salah satu penikmat isu itu, dengan terus bertanya dan membaca, bertanya dan membaca. Dari zaman buku The Road to Allah-nya Jalalludin Rakhmat sampai The Grand Designnya Hawking, aku belum menemukan alasan apa yang mendorong saya percaya soal Allah. Aku, laiknya keterbatasan micro/macro-examination, melakukannya ya karena ingin saja. Sesungguhnya tidak penjabaran mutlak soal ketidakmutlakan free will ya kaaaan.
Emma Goldman
Sebagai anonimus di akun @bakunins, aku sendiri lupa apa yang membuatku sedemikian excite dengan anarkisme di tahun 2012. Mungkin lantaran aku diam diam menyukai @hansdavidian kali ya :)))) ada dorongan impulsif untuk mempelajari anarki dan membuat akun twitter itu. Emma Goldman, adalah author yang membuatku memikirkan soal feminisme lebih jauh lagi. Aku tidak berada di generasi habis gelap terbitlah terang dengan segenap gombalan feminisme a la kelas menengah ngehe. Goldman membabat habis batasan laki laki dan perempuan dan menempatkan semua orang adalah manusia. Tidak ada privilege dan bias gender.
Ini yang kemudian mendorongku untuk bisa melakukan instalasi listrik sendiri, bertukang dan merakit peralatan elektronik sendiri hingga membuat abah merasa useless saat bertandang ke kos untuk membantu pelaksanaan kerja berat.
Because ideas are bulletproof, my dear.
Jalalludin Rakhmat
Penulis penulis yang menginfluenceku adalah yang sekaligus menjadi trigger atas ketertarikan terhadap sesuatu. Aku memiliki kecenderungan untuk obsess terhadap sesuatu yang menarik. Kalau dirunut dalam satu timeline, sejauh yang aku ingat obsesiku adalah seperti ini:
Manga, Anime, Metal, Komunisme di Indonesia, Sufistik/Theist, Anarkisme, Greek Mythology, Cosmology/brainworks dan shits hippie says.
And I’m not even kidding when I said obsess. Aku ingat hari hari di mana sedemikian suka dengan anime aku sampai bercita cita jadi ninja dengan ninjutsu penyembuh dan pacaran sama Kakashi.
Pernah terlibat komunitas metal dan menggagas beberapa gigs, mengoleksi merch dan kaos hingga kaset kaset rekaman Roadrunner United. Obsesi soal komunisme menelurkan Senja Merah dan tahun tahun di mana tidak ada yang lebih penting di kepalaku kecuali urusan negara yang belum juga menemukan di mana Wiji Thukul.
Puncak pendalaman soal theist yang kemudian mendapat milestone berupa penyebutan “@rusnanianwar pasti anonimnya Asyaukani dan Ulil Abshar” lalu akun @bakunins yang menegaskan obsesi terhadap anarkisme yang bertahan sekurangnya setahun lamanya (yang lalu banyak difollow artes twitter itu)
Dan seterusnya dan seterusnya. Obsesi yang bersifat temporal karena jika aku melihat aku sekarang sungguh rasanya kehidupan sedang kelewat selow. Aku tidak sedang menyenangi apa apa kecuali ide soal menjadi kurus melalui diet OCD. Sungguh waktu membuat kita jadi cetek begini ya, Tun :))
Jalalludin, adalah triggerku untuk urusan sufistik. Jauh sebelum aku membuat akun twitter, jauh sebelum aku tau soal JIL dan utankayu. SMA kelas 2, aku mengenal mas Yudha. Beliau adalah lulusan pesantren dengan kemampuan bahasa inggris yang memesona. Berawal dari minta diajarkan bahasa inggris, bertandangnya beliau ke teras rumah berujung pada pembahasan soal Tuhan dan Agama. Aku dipinjamkan buku dengan judul The Road to Allah. Aku ingat aku yang sebulan kemudian sangat sangat alim hingga berfikir untuk mengenakan jilbab dan ingin menghadiri pengajian tasawuf (yang kemudian tidak diperkenankan abah, tentu saja.
Buku yang membuka pikiran saya soal betapa Islam sesungguhnya merupakan agama yang menyenangkan. Dengan konsep pluralisme yang menyentuh. Betapa beragama sungguh perkara sesederhana berbuat baik kepada sesama manusia.
Lalu saya lupa apa yang membuat saya kembali bebal dan tidak islami lagi di tahun tahun berikutnya. Mungkin lantaran pendalaman saya hanya sebatas membaca buku dan euforia sementara. Pada akhirnya yang melekat sebagai label adalah apa yang dilakukan dengan konsistensi kan?
Tan Malaka
Madilog adalah groundbaseku dalam belajar berlogika. Komplimen soal “Enak kalo curhat sama Nani, jawabannya logis” saya dapatkan paskan membaca Madilog. Ada runutan cara berpikir yang kucoba terapkan dari buku ini, terpujilah beliau dan kemampuan akalnya.
Paradigma paradigma berpikir serunut isi buku ini tentu belum bisa kuterapkan, ada banyak kausal yang membuatnya menjadi sulit. Faktor geologis dan etnologis misalnya, tapi simpulan paling sederhana dari menggunakan metode Tan Malaka adalah step back and see the whole page.
Sapardji Djoko Damono
Beliau adalah penulis yang menyelamatkan jiwa romantisku. Aku selalu sinis dengan perkara cinta cintaan entah untuk alasan apa. Mungkin lantaran referensi bacaanku yang jauh dari buku buku romantis populer atau ya itu, aku emang ditakdirkan untuk menjadi frigid hingga akhir zaman.
Membaca puisi puisi Damono, melemparkanku pada potongan potongan senja merah jambu yang berujung dengan perasaan hangat di dalam dada. Kesukaan terhadap puisi puisi Sapardji kian menjadi pasca menonton duo Ari Reda secara langsung di Bentara Budaya Jakarta 2012 silam.
Musikalisasi puisi yang sungguh syahdu hingga aku hampir menasbihkan diri sebagai kelas menengah berbudaya yang hanya mendengar musik musik kelas atas nan berkualitas.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Setabah hujan di bulan Juni.
Karena akulah si telaga.
#MashupHore
Leo Tolstoy
Anna Karenina mengantarkan saya pada Leo Tolstoy. Bukunya dipinjamkan ibu produser paling baik hati sejagad ranah hiburan Jakarta dan menghabiskan berminggu minggu membaca bukunya. Tolstoy, di balik nama besarnya melalui War and Peace (yang segera menobatkannya sebagai bapak filsuf politik rusia) justru lebih kusukai di buku ini. Kenapa? karena Tolstoy adalah ‘manusia’ di buku ini, ditambah adaptasi filmnya yang mayan di tahun 2014 silam, Anna Karenina adalah satu dari dongeng kehidupan aristokrat yang saya suka. Tuhan Maha Tau, Tapi Ia Menunggu adalah kumpulan cerpen menarik lainnya dari Tolstoy ^^
Oh siapa yang tidak jatuh cinta pada Persepolis? Siapa yang tidak merasa tergugah, menahan nafas dan trenyuh dengan ilustrasi dan gaya penulisan Satrapi? Aku membeli buku Embroideries sebagai buku kedua Satrapi yang kubaca (setelah Persepolis, tentu saja) dan makin suka pada sudut pandang perempuan ini.
Karl Marx
Oke, aku anak IPS murtad hahaha. Baru mengenal Marxisme justru setelah membaca Madilog. Jika bukan karena disebut tulisan tulisanku Marxis sekali, aku tidak akan menunggu belasan menit untuk mengunduh sekedar .PDF artikel artikel beliau lalu membacanya dengan tekun. Ketekunan itu berakhir dengan senyum simpul dan menertawakan komentar tersebut dengan ketertakjuban kenapa bisa seterkiblat itu pada Marx.
Mungkin lantaran tidak ada yang benar benar original di bawah matahari kan ya?
NH Dini
Begini, aku tumbuh di era SD-SMP dalam kondisi sangat miskin sampai sampai keluarga kami tidak memiliki uang untuk ikut beramai ramai menggunakan televisi parabola. Di kotak TV 14 inci kami hanya ada TVRI berkat antena alakadarnya. Kondisi ini praktis membuatku tidak menonton televisi kecuali jam 4 sore untuk tayangan Pak Odor dan Tara anak Tengger. Gugatku semasa kecil soal kenapa kami tidak punya TV digital untuk menonton sinetron yang tengah hype di kawan kawanku berujung syukur saat ini. Karena kemiskinan itu aku jadi memiliki referensi bacaan yang lumayan.
Hiburan untuk Nani kecil adalah perpustakaan daerah. Menjadi anggota di sana dan rutin meminjam sekedar buku bergambar hingga akhirnya berani masuk ke area non bacaan anak anak dan mulai mengenal penulis penulis angkatan baru, 45, 60 hingga angkatan reformasi. Sederet nama seperti YB Mangunwijaya, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Rusli, Putu Wijaya hingga NH Dini masih aku ingat dengan baik beserta karya karya mereka.
NH Dini dikenal dengan bukunya yang fenomenal; Namaku Hiroko. Buku yang bisa dibilang one hit wonder lantaran aku tidak pernah mendengar gaungnya lagi selepas buku itu. Lalu beberapa bulan silam menemukan buku dengan judul Padang Ilalang di Belakang Rumah dan bersegera menuntaskan nostalgia pada penulis yang membuat masa kecil Nani banyak membayangkan soal penjajah Jepang dan jugun ianfu.
Ugaran Prasad
Definisi author masuk dalam penulis lirik juga kan ya boleh ya ya ya. Hahaha. Ugaran Prasad temukan di blog yang kerap mengupdate tulisan tulisan yang masuk dalam kompas. Mulai dari SGA, Gunawan Muhammad hingga Djenar Maesa Ayu. Prasad, menyempil di antara nama nama itu dengan cerpennya Sepatu Tuhan, kisah soal Maradonna dan fenomena tangan Tuhan dengan ending yang apik.
Lama berselang dan aku mendapat kiriman album Anamnesis milik Melancholic Bitch dan tebak siapa vokalisnya? Yep. Ugaran Prasad. Tulisan tulisannya yang aku sukai itu mewujud dalam deretan lirik yang subhanallah membuatku bersemangat untuk bergumam “Anjrit ini bagus banget”
Chie Watari
Kenapa Nani punya selera horor yang lumayan eksentrik? salahkan Chie Watari :)) kesehatan jiwa anak muda manapun bakal terganggu jika sepanjang waktu luangnya dihabiskan untuk membaca komik horor dengan plot cerita yang buangsat dan ilustrasi yang gore nan graphic semacam Misteri Sepotong Tangan misalnya. Kenapa tidak aku habiskan masa muda dengan nonton anak seusiaku main basket dan pacaran, misalnya. Kenapa??
Jane Austen
Another romantic author. Buku buku Jane, utamanya Emma dan Pride and Prejudice mengusung tema feminisme tanggung yang membuatku terkadang gemes sendiri dengan konflik yang dihadapi Emma dan Elizabeth. Di buku Mansfield Park dan Sense and Sensibility barulah aku paham bagaimana Austen ingin menalarkan kegelisahannya sebagai perempuan di abad 18. Kebutuhan feminisme memang sesepele itu mengingat kondisi sosial budaya yang melatari kisah kisahnya. Tentu tidak akan countable jika dijadikan default untuk masyarakat sekarang. Hm.
Charles Dickens
Seperti semua orang, perjalanan mengenal Dickens dimulai dari A Christmast Carol. Meski bersekolah di SD Muhammadiyah, perpustakaan SDku ternyata menyimpan buku usang bertema natal itu. Lalu beralih ke Oliver Twist, lalu Three Ghost Story dan terakhir The Great Expectations.
So, am I took this tagging game too seriously?