Saya ingat sewaktu SMP saya sering sekali membaca majalah gosip langganan tante di rumah nenek. Isinya, tentu saja, gosip terkini soal artis. Di halaman tengah akan ada resep masakan -bagian favorit saya- dan di halaman halaman akhir akan ada berita berita in-depth yang menyayat perasaan. Seperti pengakuan keluarga korban tabrakan pesawat, atau penyataan isteri-anak korban kecelakaan maut dan sebagainya.
Sekali waktu, saya ingat betul, saya membaca soal perempuan yang diculik ayahnya sendiri di usia belasan lalu disekap di basement hingga 23 tahun (yes, 23 freakin years) hingga melahirkan beberapa orang anak (beberapa lainnya meninggal) dan anak perempuan mengalami perlakuan serupa seperti ibunya.
Membaca itu, saya cuma membayangkan soal ruangan gelap, sempit, dan bertahun tahun tanpa berkomunikasi dengan orang lain. Dan hari hari dilewati dengan pikiran soal apakah akan diselamatkan atau berakhir dengan kondisi seperti itu.
Room, adalah sebuah film yang mewujudkan penggambaran saya soal artikel majalah gosip berusia belasan tahun itu. Walau sejujurnya, kondisi kamar 10 kali 10 yang sebelumnya merupakan gudang itu masih jauh lebih manusiawi dibanding yang ada di pikiran saya. Brie Larson (Scott Pilgrim Vs the World) sebagai Joy Newsome sangat apik mengimpersonate seorang perempuan berusia 24 tahun yang telah disekap tujuh tahun lamanya.
Tidak ada glamorisasi berupa sikap optimis dibuat buat atau penghambaan pasrah dengan airmata di sana sini. Kehidupan di dalam kamar nyaris normal kecuali kenyataan bahwa Jack, sang anak yang berusia 5 tahun harus tidur di dalam lemari setiap malam dan mendengarkan ibunya dipukuli.
Joy marah, menangis, frustasi namun menjadi ibu untuk Jack selama lima tahun di dalam ruangan sesempit itu adalah alasan kenapa film ini kalau bisa saya kasih dua ratus jempol, saya kasih dua ratus jempol deh. Jika ingin mencari cari bloopers, ada banyak pertanyaan soal kenapa dia tidak mencoba menggeser lemari dan memecahkan atap kaca dan keluar dari sana, atau kenapa tidak mencoba menjebol dinding yang rapuh tempat tikus keluar masuk, atau kenapa begini kenapa begitu.
Saya diajak nangis saat Jack yang berusia 5 tahun mulai mempertanyakan soal apa yang nyata dan apa yang tidak. Yawla kek gimana rasanya jadi emaknya yawla.
Saya sangat, sangat beryukur karena tidak ada adegan seks di film ini. Sebab meskipun film adaptasi novel Emma Donoghue ini sepenuhnya fiksi, ceritanya mirip dengan beberapa kasus penyekapan di era 80an yang akan mematahkan hati korban jika film ini menginterpretasi trauma seksual dengan segamblang itu.
Dua pertiga film ini berisi soal kehidupan setelah Joy dan Jack berhasil diselamatkan. Iya, porsi scene demi scene yang mematahkan hati itu nampaknya memang sengaja sedikit ditampilkan. Sisanya adalah bagaimana korban menjalani hidup setelah selamat dari peristiwa memilukan semacam itu -hal yang justru sering kita lupakan-
Soal bagaimana Jack perlahan membuka diri terhadap dunia nyata (saya suka sekali sama pemeran bocah ini, narasi kepolosannya dapet, ga seperti anak anak besutan teater bablas yang kalau narasi kek lagi deklamasi puisi), bagaimana ia menghadapi manusia lain selain ibu yang dikenalnya sejak usia nol sementara manusia lain yang ia kenal hanyalah Old Nick (penculik) yang melulu menjahati ibunya. Jugasoal bagaimana Joy menghadapi pascatraumanya dan sorotan media. KEREN.
Penempatan ending yang seperti itu juga indah sekali, secara simbolik keduanya berpamitan pada Room yang telah -bagaimanapun juga- menjadi taman bermain untuk Jack lima tahun lamanya. Hiks. (*)