Buku ini lebih populer karena kisah tentang bukunya dibanding isi buku itu sendiri. Pembunuh John Lennon ditangkap saat sedang membawa buku ini, pun pelaku penembakan Rebecca Schaeffer di era 80an. Bukunya sempat dilarang beredar dan bahkan disebut sebut memprovokasi soal Komunisme. Alhasil, banyak review soal buku ini yang membubuhkan kata pemicu pembunuhan sebagai kalimat judul.
Saya sendiri, baru mulai membaca The Catcher in the Rye ini sebulan silam. Menemukannya di lapak dagangan onlen dan mendapati kalimat “Mengapa buku ini disukai para pembunuh?” di sampul belakang sebagai gantinya sinopsis. Kalimat ini retorikal sebab ia bukan menjelaskan isi buku, tapi turut mempertanyakan keterbetulan dua kasus pembunuhan selebritis yang melibatkan buku ini. Sepotong kalimat yang menyesatkan jika buku terbitan ini dibaca oleh yang tidak tau soal latar bukunya, atau 40-50 tahun dari sekarang.
Eniwei, buku ini berkisah soal Holden Caulfield, remaja berumur 16 tahun yang dikeluarkan dari sekolahnya dan memutuskan untuk pulang lima hari (semoga hitung hitungan saya tidak salah) lebih awal sebelum akhirnya ia pulang di hari Rabu ke apartment orang tuanya. Alasannya, ia berkelahi dengan Stradlater lantaran perempuan yang ia sukai berkencan dengan room mate-nya itu. Sisanya, adalah cerita soal apa saja yang Holden alami sebelum akhirnya pulang ke rumah dengan ending yang kentang, sejujurnya.
295 halaman dengan rentang waktu yang hanya lima hari. Bayangkan saja apa yang kira kira dibahas Salinger dalam buku ini kalau bukan monolog yang panjangnya ampun ampunan. Saya rasa buku dengan genre seperti ini menjadi popular sebab diterbitkan pada saat penulis penulis di zaman itu tengah mengulik genre yang bersifat gagasan, ideologi dan teori teori produk dari filsuf era 1900an. Ia menjadi menonjol sebab membahas psikologi klasik bernama alienasi.
Yang mana akan menjadi basi di era sekarang sebab Murakami keburu menjadi dewa atas tema semacam itu.
Holden adalah remaja pada umumnya, yang kebetulan sedikit lebih pemikir dibanding yang lain. Dua orang yang ada di lingkarannya bunuh diri sehingga sedikit banyak mempengaruhi caranya untuk melihat dunia secara optimistik. Ini adalah rangkaian kalimat umpatan yang relate dengan saya sebab begitulah saya melihat dunia. Yang lebih gemar melihat segalanya dengan sinis lagi pesimis. Yang merasa canggung dengan kebaikan dan gestur afeksi, namun sebenarnya memiliki keinginan untuk menjadi anak yang baik.
Di sepanjang buku kita akan setuju jika Holden adalah pemarah, sinis, pesimis bahkan cenderung vandal. Namun jika dibaca lebih jauh lagi, ia adalah sosok yang luar biasa sincere, baik hati, penyayang dan sangat peduli terhadap nilai nilai. Yang justru kontradiktif dengan umpatannya sendiri kepada gurunya -Spencer- saat lelaki itu menasehati Holden bahwa hidup haruslah patuh terhadap aturan aturan.
Ada satu bagian yang saya missed di buku ini. Soal Holden yang menyebutkan ia sudah belasan kali mendapat perlakuan serupa saat ada indikasi Pak Antolini gurunya menggerayanginya (hal. 267) saya sampai membaca ulang buku ini untuk memastikan apakah Holden pernah mengalami trauma seksual di masa kecilnya.
Sebab reaksi Holden setelah terbangun dan menemukan sang guru menepuk nepuk dahinya sangatlah berlebihan jika ia tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. You know, protection mode based on trial and error gitu. Ditambah dengan Holden yang mendadak sakit, mual luar biasa dan merasa aspal di jalanan menelannya hidup hidup.
Saya sendiri tersenyum simpul saat di halaman belasan menemukan Holden yang tengah menyusup ke kamar kawannya, bertindak seenaknya lalu dalam sepersekian menit menatap jendela dan merasa sangat sangat kesepian hingga rasanya ingin terjun saja.
Atau saat ia ingin membuktikan sesuatu, seperti merokok, minum alkohol bahkan melakukan dansa bodoh bersama perempuan kurang menarik dan mengundang pelacur ke kamar hotel hanya untuk mendengarkan ia bicara. Jadinya saya justru ingin memeluk Holden dan berkata semuanya baik baik saja, jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri. Sini tante jajanin.
Jadi jangan keburu lelah dengan pengulangan kata umpatan, runutan makian bahkan sikap tokoh utama yang seperti pecundang. Mungkin ia adalah kamu, adalah kita di masa lalu, masa kini atau masa mendatang. (*)