Lobus Temporal

Otak manusia dibagi menjadi 4 lobus; frontal, parietalis, oksipital dan temporal. 2013 adalah tahun di mana saya somehow terobsesi mempelajari kinerja otak melalui kanal wikipedia dan artikel artikel kedokteran di webmd. Oh saya ingat, saya lakukan itu untuk riset sebelum menulis cerpen Logika, walopun hasilnya alakadarnya tapi begitulah, ada beberapa yang masih saya ingat dari maraton membaca artikel bebas di internet itu.

Melalui lobus temporal, apa yang ditangkap oleh reseptor reseptor indera perasa (sistem limbik) diolah menjadi ingatan sensorik. Di sini terdapat hipokampus yang mengolah bau, suara, rasa, rangsangan syaraf dan tentu saja, gambar menjadi ingatan. Kenangan, yang kerap disandarkan sebagai sumber segala kebahagiaan itu adalah produk hipokampus. Pernah lagi senyam senyum abis gajian terus tetiba dunia hancur lebur gara gara mencium parfum mantan? nah berterimakasihlah pada hipokampus.

071718_scivis_fly-brain_feat

What a beauty

Di lobus temporal pula, kenangan dapat diminimalisir. Prosesnya seperti menghapal RPUL, lagu kesayangan atau detil kecil soal kencan pertama, mata menerima apa yang dilihatnya dan memprosesnya sebagai ingatan jangka pendek. Stimulasi hipotalamuslah yang membuatnya menjadi ingatan jangka panjang bahkan patahan patahannya bisa melompat ke jalur subconscious atau memori bawah sadar. Ingatan jangka pendek yang diulang, diulang, diulang dan diulang hingga tiap kamu melihat wajahnya di mana saja, yang menghambur bukan sekedar identifikasi nama, tapi tarakdungcesdararamdararamsyalalala mampuslah kau dikoyak koyak kenangan.

Bagaimana proses pengolahan rasa hingga ia bisa menjadi pemicu emosi, penyebab seseoang galau atau bahkan menjadi pengambil keputusan keputusan besar dalam hidup. Beruntungnya, saya tidak banyak bersinggungan dengan perkara emosional sejak usia bekerja sehingga rasa rasanya beberapa keputusan besar dalam hidup saya ambil dengan logika yang insya Allah logis. Tidak ada momentum saya memutuskan untuk berhenti bekerja atau pindah ke luar kota lantaran disuruh pacar, misalnya. Atau karena marah dengan orang tertentu, atau karena secara batiniah tertekan. Untungnya saya diberi kekuatan untuk tidak baper secara serius.

Ah ya, itu istilahnya. Baper.

Menarik untuk memikirkan bahwa saat ini, tepat di momen ini, ada ribuan neuron dan syaraf yang bekerja di dalam kepala kita sedemikian hebohnya. Ada ribuan kilometer perjalanan darah dalam pembuluh dan ada ribuan potongan ingatan yang sedang diolah menjadi kenangan di dalam sistem limbik beserta amigdala dan hipokampus dan sederet reseptor lainnya. Dengan semua kehebohan di dalam sana, yang tampak di luar hanyalah kamu yang sedang menatap layar komputer sambil ngupil.

Lalu jika perkara kenangan yang menyayat hati nyatanya sesederhana itu, kenapa ada rasa sakit yang tidak bisa dijabarkan saat kenangan itu menyerbu? Kenapa muncul perasaan seperti darah yang mendesir, dada yang sesak, feels like a pinch in a heart, kepala yang wombling bahkan ada yang serangan jantung karena kaget misalnya.

Perkenalkan, amigdala.

Saya ingat pernah berdiskusi perkara ini, soal temuan sains bahwa psychological pain dan social / physical pain sebenarnya memiliki sirkuit yang sama. Saya sebutkan bahwa amigdala mungkin mempengaruhi kelenjar kelenjar penghasil hormon yang kemudian menstimulasi organ untuk bereaksi terhadap rangsangan tersebut. Sederhananya, saat kamu lagi galau, amigdala memproses emosi menjadi sedih. Somehow, mungkin, rangsangan emosi dari amigdala ini bersinggungan dengan kelenjar penghasil protein ACTH (hipotipis, hipopipis?) yang membuat seseorang menangis dan menangis dan menangis hingga boom! dadanya sesak lantaran jalur oksigen masuk tertutupi kelenjar ingus. Lalu asma, lalu mati.

Namun argumen yang ia ajukan lebih menarik, dibanding merunutnya sebagai perkara sebab-akibat, ia menyebut bahwa secara logika psychological pain dan physical pain adalah sama. Sebab ketika seseorang sakit secara fisik, obat yang diberikan adalah zat kimia yang jika bersinergi dengan kelenjar hormon, sistem syaraf dan lobus lobus otak, maka ia akan menyeimbangkan yang kurang dan menihilkan sirkuit rasa sakit.

Jadi semisal sedang sedih sedihnya, minumlah esilgan 😀 😀 😀

Eh jangan ding, seriusan jangan. hahaha.

Dalam Madilog-nya Tan Malaka pernah membahas soal dialektika adalah penentu perkembangan mental manusia. Kemampuan untuk menangkap setiap kejadian melalui reseptor reseptor indera tubuh dan mengolahnya melalui cortex logika. Memisahkan mana yang penting dan tidak melalui hiptalamus lalu menyerapnya menjadi kenangan di hipokampus dan dikeluarkan sebagai emosi oleh amigdala. Bijak dalam berdialektika, adalah kunci. You can reads all the books in the world, or having a non-stop hour of langitan conversation, its all means nothing if you’re not loved. Kata Lennon begitu kak.

Maaf. Posting ini ujungnya ternyata cuma begini doang :))) 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s