Minggu yang lamban.
Sejak akhir pekan silam jumlah buku yang saya baca rasa rasanya tidak mengalami perubahan. Geming ia di F. Scott Fitzgerald – the Great Gatsby. Ada satu-dua judul yang disentuh, dirasa menarik lalu tersusun kembali ke rak buku lantaran adaaa saja yang harus dilakukan, yang harus dikerjakan. Kepada Mati, Bertahun yang Lalu – Soe Tjen Marching dan Suti – Sapardji Djoko Damono saya berhutang penyelesaian.
Beberapa buku yang menarik di bulan ini justru purna berisi penderitaan. Utamanya dari kelas akar rumput yang istilah kerennya baru bisa saya lafalkan dengan benar seminggu terakhir – setelah berkali kali menyebutnya sebagai protelar alih alih proletar –
Dimulai dari Nyanyian Akar Rumput – Wiji Thukul, Pecundang – Marxim Gorky hingga terakhir Gadis Pantai-nya Pram. Ketiga buku di atas begitu berkesan sebab saya semacam bernostalgia dengan keriaan pembelajaran atas hal hal berbau kiri 5 tahunan silam. Saat itu, Wiji Thukul dengan Aku Ingin Menjadi Peluru dan buku Trilogi Insidennya SGA banyak menyulut semangat menulis soal polemik kemanusiaan di Indonesia berpuluh tahun lewat.
Nyanyian Akar Rumput memuat beberapa puisi dari Aku Ingin Menjadi Peluru sehingga beberapa kali saya merasa “Aduh.. kangennya dengan Nani yang dulu” hahaha. Juga kosakata yang dimainkan Pram di buku yang ditulisnya sebelum tetralogi Pulau Buru itu membuat saya blingsatan berkaca kaca mengenang soal orang orang yang saya rindukan.
Gorky juga serupa, isi ketiga buku ini tidak jauh dari kemiskinan, kesengsaraan, penderitaan dan posisi akar rumput yang diam diam mendambakan pemberontakan. Yang menjadi garis besar ketiga buku ini (dua ding, Wiji kan kumpulan puisi) adalah ending yang pahit. Pahit, namun realistis. Pram menjabarkannya dengan Gadis Pantai yang kalah dari suaminya yang seorang priyayi, Gorky dengan bunuh diri dan Wiji yang selalu meninggalkan rasa getir di tiap puisinya.
Seolah ingin menyadarkan, bahwa memang, kadang perjuangan tidak melulu berbuah manis. Terminologi habis gelap terbitlah terang tidak berlaku pada setiap manusia, kadang yang gelap itu tak habis habis, melesap dan mematikan si empunya nasib. Khusus Pram, aku rasa sastrawan angkatannya memang tengah gemar menulis perkara penderitaan. Kita bisa lihat di judul judul buku lawas yang memang sarat penderitaan; Azab dan Sengsara, Katak Hendak Jadi Lembu, Tak Putus dirundung Malang, Perawan di Sarang Penyamun dan seterusnya.
Negara yang tidak merdeka, ribuan rakyat yang termarjinalisasi, entitas kebangsaan yang terenggut dengan tidak membanggakan, ditambah kesulitan kesulitan personal di tingkat dapur masing masing, saya rasa wajar adanya jika tidak muncul sebuah pengharapan dan ending dengan gempita kesuksesan. Ya begitulah, kadang penderitaan memang tidak habis habis, namanya juga hidup.
Tiga buku di bulan Maret memang terasa lamban mengingat di dua bulan terakhir masing masing sekurangnya sepuluh buku saya baca. Cibuk kak, beberapa event internal kantor digelar dan beberapa event eksternal di malam hari. Ditambah rutin delapan pagi hingga lima sore Senin hingga Jumat yang lama lama kok seperti menggugat pembebasan.
Buku buku yang cukup untuk menjadi alasan menepi dari tema depresif yang saya lakoni beberapa bulan belakangan. Menepi untuk melanjutkan perjalanan tentu saja, sebab resah, kegelisahan dan depresi itu konon harus dijaga -dikelola- agar ia menjadi alasan untuk menolak mengikuti ritme hidup yang monoton dan kian lamban.
Konon~~
Sampit, 18 Maret 2016
Sampit panasnya mulai ampun ampunan.