Pasca dipulangkan oleh HRD yang nampaknya prihatin dengan bentukan Nani yang udah kek zombie, praktis seharian kemarin saya cuma leyeh leyeh dengan lemes di rumah selepas 3 jam berkutat dengan IGD – antrian Poli Penyakit Dalam – Apotek. Kondisi yang menyebalkan mengingat saya masih punya hutang pekerjaan dan tidak terbiasa bengong sampai seharian seperti itu.
Pelampiasannya, setumpuk buku milik Sapardi Djoko Damono yang dibeli paketan (isi 5 buku harga promo, mayan kak!) saya tuntaskan atas nama kepinginan untuk meromantiskan mood di hari itu. Tunai menamatkan Melipat Jarak sebagai buku terakhir, saya teringat pada sebuah buku pinjaman dari seorang kawan.
Kisah Kisah yang Menyelamatkan – Hajriansyah
Kumpulan Cerpen yang tidak seberapa tebal itu menyisakan sepertiga halaman belakang untuk dibaca. Mengingat banyaknya distraksi dalam pembacaan 2/3-nya sayapun mengulang melahap buku ini dan seketika terkenang pada suatu sore di beranda belakang rumah panggung kai di Tanjung, Banjarmasin.
Pasalnya, buku ini terasa sangat Banjarmasin sekali!
Hajriansyah, adalah penutur yang baik. Meski ini merupakan buku pertama beliau yang saya baca, saya sudah dibuat betah dengan narasi yang tertata, jalinan kisah yang berstruktur dengan alur sederhana namun sarat pesan moril (bagi yang bekenan untuk membedahnya, tentu saja hahaha), budaya bertutur yang menjadi ciri bagi warga pesisir dan pedalaman Kalimantan dituangkan dengan baik ke dalam tulisan sehingga satu jam berlalu tanpa terasa berkat sepuluh cerpen dalam buku ini.
Perbincangan soal tarekat-makrifat dan ilmu tasawuf disandingkan dengan obrolan soal harga cabe yang meninggi mungkin hanya bisa didapatkan di kalangan grassroot Banjarmasin. Nilai islam yang kental di kota itu membuat asimilasi antara budaya lokal dan islami sedemikian baur dan mengakar di masyarakat. Makanya jangan heran jika muncul stereotype soal Orang Banjar kuat agamanya.
Padahal sebagai keturunan Banjar saya kudu agree to disagree hahaha.
Penulis dengan santai mengupas perkara pencarian ketuhanan melalui kisah kisah yang secara terang menyentil soal Tasawuf. Ia masukkan unsur sehari hari dan menjadikan pencari Tuhan itu sebagai pribadi yang natural, berbaur dan membuat kita percaya mungkin saja tetangga kita sedang belajar kitab kuning dan menemukan kedalaman agama.
Terlepas dari tema yang diangkat, saya harus mengacungkan jempol pada kemampuan menulis Pak Hajriansyah. Meski skena sastra di Kalimantan tidak semegah di pulau lain, meski penjualan dan oplah saya yakini tidak mampu menunjang hidup penulis dengan laik, kualitas tulisan tidak kalah dengan buku buku besutan penerbit dan penulis tersohor. Diksi yang luas, jangkauan tema yang menarik, struktur kalimat yang runut dan perkara perkara teknis maupun nonteknis lain membuat saya percaya percaya saja jika seandainya penulis adalah anonimus-nya Ahmad Tohari :))
Membaca buku ini membuat saya rindu. Pada semilir angin panas di kaki bukit Dusun Namun, Desa Jaro, Kabupaten Tanjung tempat saya diungsikan pasca bangkrutnya usaha bapak selepas kerusuhan 2001. Rindu pada kai dan segenap cerita beliau tentang malaikat dan nabi nabi, juga senandung (gumaman bahasa yang tidak saya mengerti, tepatnya) nini saat meniup buluh bambu untuk menyalakan atang di pagi hari.
Buku yang baik adalah buku yang membawa perasaan hangat selepas membacanya.
Kisah Kisah yang Menyelamatkan adalah satu di antaranya.
Sampit, 23 Maret 2016
Di sela ngilu di punggung tangan kiri yang tidak kunjung pergi