
Sekalian pamer kalo kerjaan saya banyak, sampe dikerjain di cafe. Huft.
Novel ini saya terima pada awal bulan, berbarengan dengan empat buku Eka Kurniawan lainnya; Corat Coret di Toilet, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Ia menjadi buku Eka Kurniawan kelima yang saya baca bulan ini. Semua lantaran dipacu oleh perasaan kagum berlebih lebih dan kesenangan absolut karena telah menemukan penulis dengan karya sebagus beliau.
O, adalah novel dengan irisan peristiwa dan jumlah karakter yang tidak main main banyaknya. Mulai dari O dan Entang Kosasih, Kaleng Sarden, Betalumur si pawang Topeng Monyet, Mimi Jamilah pengamen waria yang mencintai Bruno lelaki yang memanfaatkannya, Rini Juwita dan suami abusifnya, Sobran polisi beristri dan Dara kekasih begal Toni Barong, Kirik yang mencari ibunya, Rudi Gudel, Wulandari, si Kutu, Kiai yang buta, Manikmaya pembaca tanda tanda dan kekasih dengan penis bertotol totolnya, dan sederet tokoh lain yang saya lupa namanya saat menulis ini.
Menjelang halaman halaman akhir, tempo yang diberikan semakin cepat dan cenderung “Yuk ah cepetan kelar ini satu satu nasib tokohnya”, karena saya suka dengan Eka jelas jelas lantaran alasan bias, personal nan subjektif, maka kepentingan untuk menyebut tokoh terlalu banyak dan beberapa tidak penting, ending yang terkesan diburu buru dan kritik lainnya seperti yang dituliskan kawan kawan di Goodreads saya kesampingkan. Seperti hubungan saya dan Nasi Padang, saya suka Eka Kurniawan no matter what :’)
Eniwei, irisan irisan kejadian yang segunung itu dapat saya pahami keberadaannya setelah di halaman terakhir Eka menuliskan rentang penulisan novel ini. 2008-2015, tujuh tahun pengendapan yang tentu saja akan berpengaruh banyak pada perkembangan tokoh dan cerita di dalamnya. Terlepas dari pemahaman itu, saya suka suka aja sih, bahkan dibikin ternganga dengan kemampuan Eka menalikan semua peristiwa itu kepada peristiwa utama tokoh utama : O dan Entang Kosasih, dua monyet yang ingin menjadi manusia.
Berkat gegabah mencari cari spoiler sebelum menamatkan sendiri 500an halaman O, saya dibikin waswas dengan ending “Akhirnya O menikah dengan Betalumur dan ga pernah ketemu dengan Entang Kosasih” kan bikin males ya hahaha. Saya sendiri suka sekali dengan permainan takdir yang dijalin Eka untuk mempertemukan kembali O dan Entang, sambil terus mempermainkan teori evolusi yang dibaurkan dengan konsep reinkarnasi. Di tengah itu, bisa bisanya ia menyelipkan unsur mistis dengan karakter Betalumur yang menjadi BabiNgepet!
O jelas mengalusi Animal Farm-nya George Owell (eh tapi ini beneran menarik loh, saya semacam dihantarkan untuk membaca buku buku Eka Kurniawan. Dulu sebelum memesan Cantik Itu Luka, saya sudah lebih dulu menamatkan Sastra Realisme Sosialis-nya Pram. Lalu bahkan sebelum tau bahwa O berkisah soal fabel dan sindiran sosial atas manusia yang kebinatang kebinatangan, saya lebih dulu mendapat kiriman Animal Farm dan menjejak sepertiga bukunya sebelum terdistraksi oleh O). Eka bahkan mengutip buku itu di ending cerita O dan Entang.
Kelima lima buku Eka Kurniawan yang saya baca, semuanya berisi dendam dan kepahitan kepahitan yang dibayar demi pemenuhan atas dendam tersebut. Corat Coret di Toilet mungkin tidak semenggebu itu pahitnya lantaran ia kumcer. Selebihnya? persiapkan saja hatimu bakal patah dengan jalan nasib yang disiapkan Eka atas tokoh rekaannya. Persiapan mental itu sudah saya bangun sejak Cantik itu Luka dan hasilnya, meski Margio si anak manis kudu membunuh Anwar Sadat dan menghancurkan hati Maharani atau Iteung yang digelandang dua polisi saat Ajo Kawir akhirnya bisa ngaceng. Dan tak perlulah saya jabarkan bagaimana nasib ciptaan Eka memporak porandakan fondasi keluarga besar Ayu Dewi dalam Cantik itu Luka. MEH!
Hanya saja, Eka membuat saya yang kapasitas penelaahannya minim ini paham dengan mudah soal sarkasme, sindiran halus, alegori alegori dan personifikasi soal kebinatangan manusia dengan dimasukkannya konten konten lokal bahkan -sekali lagi- unsur mistik lokalan semacam santet, babi ngepet dan ngaji ilmu kebatinan. Oh ya, sementara banyak penulis kekinian menggunakan nama nama karakter yang sastrawi, sansekertawi dan berbau dewa dewa Yunani, Eka Kurniawan dengan semena mena menyebut gadis paling cantik dengan nama Rosalina, Iteung, Rini Juwita, atau lelaki paling tampan dengan Kamerad Kliwon, Edi Gendeng, Ajo Kawir, Entang Kosasih. Saya cuma bisa merengut dan kesulitan menyampirkan nama nama tersebut pada figur yang dijabarkan dalam satu-dua paragraf soal bentuk fisik tokoh yang dimaksud.
Jika Seno memiliki ciri khas tulisan dengan banyak menyebut sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar, maka Eka akan menulisnya menjadi sesuatu yang benar dan tidak salah dan paling benar dan tiada lain yang lebih benar. Hahaha. Dan iya, Eka berhasil menyamai, bahkan melampaui Pram (penulis favoritnya, saya duga, didukung dengan beberapa kebiasaan menulis Pram seperti dalam mengganti kata tobat/sadar menjadi insyaf), seperti yang didengung dengungkan banyak lembaga literasi kelas dunia. Karyanya bahkan disandingkan dengan Salman Rushdie, Gabriel Marquez sampai Mark Twain! Mark fucking Twain!
Maka bukan sebuah kekhilafan jika saya menyukai Eka Kurniawan semata mata bias, subjektif dan jauh dari titik netral :)))
Sebulan ini rasanya (lagi lagi) tidak banyak buku yang saya tamatkan. Hutang bacapun masih bertumpuk hingga belasan buku. Namun temuan atas Eka Kurniawan sungguh sangat membuat bulan April bertransformasi menjadi bulan yang menyenangkan ❤
Sampit, 21 April 2016
Selamat Hari Kartini, perempuan perempuan yang gabisa hidup tanpa lelaki :3