1Q84 Membuat Saya Merasa Normal

Untitled.jpg

Dalam buku George Orwell yang ditulis pada tahun 1949, muncul sebuah prediksi masa depan atas seperti apa dunia di tahun 1984. Di buku ini, tuan Orwell menggambarkan totalitarian di mana bumi dikuasai oleh segelintir orang yang menyebut dirinya Big Brother. Mengingat tahun penulisannya, tuan Orwell sepertinya ingin mengingatkan sesama rekan penulis dan kaum intelektual mengenai bahaya komunisme.

Eniwei, bicara soal tema, 1Q84 mengadaptasi ide tuan Orwell tentang (sebagian) dunia yang dikuasai segelintir orang (Little People) yang sedemikian berkuasa dan mempengaruhi pengikutnya. Sakigake namanya, berada dalam realita alternatif di mana ada dua bulan  berwarna kuning dan hijau menggantung di cakrawala. Pak Murakami mungkin dapat mengendus kemungkinan buku ini akan dituding mengacu pada karya tuan Orwell, didampuklah Profesor Ebisuno untuk menjelaskan hal ini:

“George Orwell introduced the dictator Big Brother in his novel 1984, as I’m sure you know. The book was an allegorical treatment of Stalinism, of course. And ever since then, the term ‘Big Brother’ has functioned as a social icon.” – Professor Ebisune, page 338

Mungkin lantaran buku yang saya baca masih belum banyak dan temanya terbatas, penelurusan psikologis sedetil dan semenarik ini baru saya temukan di buku buku Murakami. Yang dituliskan tidak seperti cukilan dari buku buku psikologi atau menggurui seperti Paulo Coelho. Ia seperti menceritakan kembali sebuah pengalaman pribadi sehingga membuat yang membaca merasa terkoneksi dan membaca lebih lagi. Tidak heran jika kemudian banyak yang terobsesi dengan kehidupan pribadi pak Murakami dan memulai telaah sotoy soal apakah beliau mengalami depresi, lekat dengan ide bunuh diri dan seorang nihilist.

Dalam buku What I Talk About When I Talk About Running saya menangkap bahwa Murakami adalah orang paling simpel sedunia. Lihat bagaimana beliau menjabarkan latar hidupnya sampai akhirnya ia memutuskan untuk menjadi penulis. Penjelasan penjelasannya soal pertanyaan media/fans yang -tidak selengean penuh sarkasme seperti Seno Gumira- namun lebih seperti… menceritakan kembali. Tanpa penelaahan atau upaya menjadi misterius yang berlebihan.

1Q98 adalah buku Murakami paling panjang (sejauh ini) lantaran terdiri dari tiga buku terpisah. Totalnya 1318 halaman dengan satu potongan chapter yang tembus ke Newyorker Magazine berjudul Towns of Cats. Lagi lagi setelah Kafka on the Shore, Murakami ngobrol sama kucing di cerpen yang mengharukan ini hiks.

Membaca 1Q98 membawa kesenangan tersendiri bagi saya, meski sepanjang ini, tiga minggu terasa sebentar dan tau tau bukunya abis. Meski banyak yang menyebut buku ini belum bisa disebut sebagai magnum opusnya Murakami karena masih ada buku bukunya yang lain yang tidak kalah bagus, namun bagi saya yang baru membaca 14 judul Murakami, 1Q98 memenangkan kompetisi Buku Murakami yang Nani Paling Suka. Kompetisi yang tidak penting sekali hahaha.

Proporsinya pas sekali, jumlah tokoh tidak berlebihan dan permainan antara surealisme, plot twist, koneksi antar tokoh, semuanya pas. Rasanya bahagia sekali kalau bisa baca buku sebagus ini ya.

Meski sepenuhnya fiksi, soal pembunuh bayaran di sebuah dunia dengan dua bulan menggantung di cakrawala, penokohan yang dibangun Murakami sepenuhnya terasa nyata. Kita seolah mengenal baik Aomame dan Tengo di dunia nyata. Kepala saya bahkan tidak henti hentinya mengulang sosok Ayumi sebagai refleksi diri sendiri hingga berujung cengengesan dan gumaman “Hehehe, ada temennya hehe”

None of them know, Aomame thought. But I know. Ayumi had a great emptiness inside her, like a desert at the edge of the earth. You could try watering it all you wanted, but everything would be sucked down to the bottom of the world, leaving no trace of moisture. No life could take root there. Not even birds would fly over it. What had created such a wasteland inside Ayumi, only she herself knew. No, maybe not even Ayumi knew the true cause.But one of the biggest factors had to be the twisted sexual desires that the men around Ayumi had forced upon her. As if to build a fence around the fatal emptiness inside her, she had to create the sunny person that she had built, there was only an abyss of nothingness and the intense thirst that came with it. Though she tried to forget it, the nothingness

would visit her periodically – on a lonely rainy afternoon, or at dawn when she woke from a nightmare. What she need at such times was to be held by someone, anyone. – page 523

Setelahnya, saya merasa semua keanehan keanehan di muka bumi ini dapat terjelaskan dengan baik. Seharusnya saya lebih giat membaca buku sejak dulu. Meski akhirnya Ayumi ditemukan mati dalam keadaan telanjang setelah dicekik seseorang di kamar hotel, hidup memang seharusnya dijalani dengan kesederhanaan sikap dan pikiran, seperti yang telah berpuluh puluh tahun pak Murakami lakukan. Hahaha.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s