Syahdan, kawan kawan saya ingin ke Sumba sementara saya terjebak dengan training asuransi di HO Jakarta. Sungguh sebuah ketidakadilan yang tidak bisa dibiarkan! Meski sebenarnya selain terbentur jadwal, saya tetap tidak bisa pergi karena cuti sudah minus dua sejak pulang dari KL kemarin. Tapi di mana ada kemauan di situ ada jalan, bukan? Setelah dua hari mengikuti training, sayapun bolos ke Bali untuk menunggu teman teman yang menyusul 2 hari kemudian. Huahahaha.
Yang saya lupa, saya cuma packing untuk keperluan training berupa 3 blouse dan 2 celana panjang. Tapi bukan sia sia saya menerima sematan McGyver saat sendal jepit putus dan saya berhasil menyambungnya dengan mediasi seutas bobby pin di tengah tengah Pulau Komodo setahun silam. Akhirnya celana jeans dipotong jadi shorts, blouse jadi flowy tank top dan (mau tidak mau) membeli 3 kaos dan 3 celana baru di Krisna, toko oleh oleh kesayangan kita semua karena sebiji celana harganya 20 ribu saja~
Kamis siang kami berangkat dari Denpasar menuju bandara Waikabubak di Tambolaka, Sumba Barat Daya. Kondisi kota Kabupaten ini seperti jalan lintas provinsi pada umumnya. Kesan yang muncul adalah gersang, berdebu dan gerah ketika melintasi jalan raya utama yang menghubungkan Tambolaka dengan beberapa spot wisata di Kecamatan itu. Kalau harus mengkomparasi dengan Kalteng, Tambolaka ini mirip seperti Cempaga dengan jalan aspal yang sedikit lebih banyak.
Seminggu setelah pulang saya baru ngeuh kalau kami datang di musim penghujan sehingga dapat disebut itu adalah periode terbaik dalam setahun di wilayah itu. Namun kesan gersang masih ada meski hujan nyaris setiap hari. Bayangkan bagaimana kondisi masyarakat di sana saat musim kering tiba mengingat Indonesia wilayah timur dikenal dengan curah hujan setahun yang sedikit.
Kami berlima mengambil private tour sehingga lebih fleksibel soal jadwal. Di Sumba Barat Daya kami baru mengetahui kalau hotel yang kami tempati sudah termasuk salah satu hotel paling top di sana. Yang mana bentukannya… lebih mirip seperti penginapan Melati di pinggir kota kalau di Sampit. Baru kali ini saya pergi ke luar kota dan merasa bangga dengan Sampit yang setidaknya punya satu hotel bintang 4 itu hahaha. Terlepas dari itu semua, Kabupaten Sumba Barat Daya adalah surga tersembunyi yang akhirnya terkuak (dan assesible) berkat film Marlina dan Susah Sinyal :))
Kita akan melalui sebuah Kecamatan bernama Kodi Bangedo jika ingin menuju Pantai Bawana. Sepanjang jalan memang telah beraspal, namun akan titik di mana kamu akan bergumam “Persetan dengan pembangunan jalan kalau warganya masih berak dengan menggali tanah begini” sebab apa artinya memiliki halaman belakang instagramable kalau setiap hari dihantui kelaparan? Yep, Kodi adalah kecamatan paling miskin di Kabupaten Sumba Barat Daya, bahkan seluruh Sumba.

Pantai Bawana, Kodi. Akan ada belasan orang yang menemanimu menuruni tebing yang licin dan curam untuk upah 20 ribu rupiah. Kesel kan?
Saat menulis ini saya sedang membaca baca berita terkait Kecamatan ini, yang ternyata jalan aspal baru dibangun tahun 2015. Anggaran yang tidak sedikit mengingat dari Tambolaka ke Pantai Bawana saja nyaris 3 jam perjalanan. Duit yang bisa dipakai untuk pengembangan UKM dan pengadaan air bersih, misalnya. Perjalanan ke Sumba menghasilkan mixed feeling yang lumayan kampret sih. Di satu sisi saya terpuaskan sekali dengan keindahan alamnya sementara sisi lain rasanya marah sekali terhadap turis seperti saya yang membuat Pemda lupa prioritas dalam mengelola daerah.
Tapi mungkin kelak Kecamatan Kodi dan Kabupaten Sumba Barat Daya akan berkembang seperti ‘kakaknya’ Labuan Bajo dan moga moga menjadi seperti Bali. Sebab jika kita tidak bisa hidup sejahtera dari tanah gersang dan terik matahari, setidaknya masih ada harapan dari sektor wisata.
Karena energi saya untuk ngomel sudah habis, selamat menghabiskan bandwidth untuk foto foto cakep berikut ini..

Pantai Bawana yang sepi, bersih dan luas. 20 menit lebih bengong dan nyaris nangis terbawa suasana. Untungnya saya pribadi yang tegar.

Bukit Bulu Halus, duh namanya~

Setiap hari disuguhkan ikan yang satu porsinya segede ini, gimana bentuk ikannya semasa hidup ya..

Senja keemasan di Dancing Tree Pantai Walakiri, Sumba Timur

Sekali lagi, ini bukan dari Google.

Desa Adat di Waingapu.

Juklak turis

Pantai Mandorak, Waingapu yang aduhai banyak airnya~
Sampit, 08 Maret 2018
Taun depan Wakatobi~
Wow! tempatnya bagus banget.. pengen kesana… BTW biayanya berkisar berapaan?
LikeLike
Paket turnya 2,9 juta dengan meeting point di Waikabubak
LikeLike
Pingback: 2018, Wrapped – for the benefit of mr. kite