Be Right Back and How Grieving Works

Menarik bagaimana kemajuan teknologi bergeser dari fungsinya sebagai perangkat untuk mempermudah aktivitas fisik manusia menjadi tools on emotional level. Pada era revolusi industri misalnya, teknologi digunakan untuk bagaimana memperbanyak hasil panen, menerangi seluruh kota, membangun mesin ini dan mesin itu hingga akhirnya mungkin saat semuanya settled manusia menemukan ide soal:

Bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan eksistensial melalui kemajuan teknologi di bidang komunikasi.

Saya baru ngeuh soal ini saat pertama kali nonton Her, circa 2014. Film ini kemudian saya tonton berulang ulang dalam interval sebulan-dua bulan setelahnya, one of my favorite movie sebab gosh suara mbak Scarlett di film ini sudah lebih dari cukup untuk membuat saya turned on bahkan tanpa kehadiran fisik sempurna mbaknya. Lebih dari itu, plot dan bagaimana The Moon Song selaku score film membuat saya memahami bagaimana rasanya kesepian khas kaum urban. When there’s nothing wrong and everything is fine on the surface, but you just felt.. empty.

Lonely.

Film dengan ambient serupa kemudian saya temukan di Love for Sale, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Brooklyn dan seterusnya. Namun mari bergeser ke series yang baru saja saya tonton tadi malam agar tetap relevan dengan premis awal tulisan ini : Black Mirror season 2, Be Right Back dan bagaimana perkembangan teknologi menjadi perangkat untuk memahami perasaan manusia.

Image result for black mirror be right back posterBercerita soal Ash dan Martha, pasangan baru menikah dan sedang lucu lucunya. Di suatu hari, Ash meninggal dunia karena kecelakaan. Long story short, pada durasi setengah jam kemudian saya mendapati Martha yang grieving dan dwelling atas kematian Ash dalam keadaan hamil. Latar waktu film pendek ini (FYI Black Mirror ini seperti omnibus, kumpulan film pendek tapi ga pendek pendek amat apasih Nan) adalah masa depan yang jauh sekali hingga cup kopi ada lampunya dan laptop bisa dioperasikan pakai hand gesture. 

Di masa depan yang jauh sekali itu, ada artificial intelligence yang bisa mengumpulkan data dari media sosial dan video yang diunggah untuk dipelajari pattern-nya dan ‘menghidupkan’ kembali seseorang yang sudah meninggal melalui media chatting, video-call bahkan Android. Di film ini eskalasinya dirunut dengan baik, saat Martha merasa text saja tidak cukup, AI menawarkan video call hingga puncaknya, chipset ditanamkan dalam robot Android dan diwujudkan dalam tubuh seorang Ash. Literally membangkitkan orang mati tanpa konsep mistis sama sekali hahaha.

***SPOILER ALERT***

Hingga film berakhir dengan Martha yang jadi delusional dan menerima Android Ash sebagai bagian dari hidupnya, film ini memberi tahu how grieving works dengan berbicara soal kematian yang tidak direlakan akan tinggal selamanya. Dan kata ‘tinggal selamanya’ dimaknai literal dengan Android Ash yang benar benar tinggal selamanya di loteng rumah Martha. Ada fase tarik-ulur soal merelakan-tidak merelakan ini sebenarnya, saat Martha sadar bahwa Android Ash kehilangan personal trait yang tak peduli sebanyak apapun sumber informasi yang disedot AI, ia tidak akan bisa seunik Ash sebagai manusia. Saat Martha menyuruh Android Ash untuk terjun dari tebing di hometown Ash misalnya, atau saat mbaknya tiba tiba pundung karena reaksi Android Ash tidak seperti what real Ash would do.

Saya rasa soal menerima kematian, semua orang punya caranya sendiri. Shah Jahan yang membangun Taj Mahal untuk istrinya, beberapa berita soal istri/suami/pacar yang dijadikan mummy dan diletakkan di ruang tamu, regular visit to psychologist, termasuk cara ibu Ash saat adik dan ayahnya meninggal dunia : memindahkan semua foto dan memorabilia mendiang ke attic and shut the door. Detil yang hanya disebut dalam 2 kalimat di menit awal ini muncul kembali di akhir film dengan adanya Android Ash yang dikunci di sana selama periode Martha hamil-melahirkan-hingga anaknya toddler. 

Banyak detil menarik di Be Right Back ini yang semula hanya muncul satu-dua kalimat dalam percakapan yang sepertinya biasa saja. Soal attic, jumping cliff dan pola komunikasi Ash yang lebih menyukai media sosial ketimbang berbicara soal rasa-rasa pada Martha. Dari segi teknis, sinematiknya bagus sekali, warnanya mengingatkan pada Her (well, warna warna pastel kayaknya sudah didampuk menjadi khas film alternatif sih ya) dan sinematografinya sepintas mirip Blue Jasmine. Scoringnya juga uwuwuwuw sehingga cocok buat saya yang sedang ingin rehat dari non-stop action di serial Ozárk.

Meski peradaban belum sampai pada konsep menghidupkan orang mati seperti di Be Right Back, kita sebenarnya sudah melesat jauh dari titik awal perkembangan teknologi di bidang komunikasi. Let’s assume ground break-nya saat telepon ditemukan. Kemudian milestone selanjutnya adalah saat internet diciptakan, konsep komunikasi sederhana berupa the imparting or exchanging of information or news, bergeser menjadi tempat penitipan eksistensi, wadah propaganda, bahkan pencarian pasangan seperti yang aplikasi perjodohan lakukan.

Dari yang semula sebagai “Halo, gini nih mau ngabarin aja kalau Rabu depan pasukan Jepang mau ke Pearl Harbour so be prepared ya xixixi” menjadi “Hey, walaupun kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi aku mencintaimu melebihi apapun di muka bumi ini” perubahan ini in a way indah sebenarnya. Namun ketika perkembangan teknologi membuat kita terlalu mudah untuk overcome grieving seperti di Be Right Back, rasanya kok ada yang salah aja.

Saya tidak menyebut bahwa ketika seseorang meninggal kita harus weeping and dwelling and being sad all the time, namun proses grieving ada ‘pakem’nya. Saya juga tidak bisa menaksir soal kewarasan Martha yang akhirnya menerima Android Ash karena filmnya berhenti tanpa menjelaskan soal perubahan psychological state mbaknya (walaupun sebenarnya di Bicentennial Man soal percintaan antara dua entitas berbeda ini sudah dipaparkan dan bagi saya ya indah indah saja mas Andrew dan mbak Amanda akhirnya bersama) namun ketika kematian di-tresspass dengan ‘semudah’ itu, kesedihan itu tidak akan benar benar pergi, di Be Right Back soal ‘kesedihan yang tidak benar benar pergi’ dituang dalam scene mbak Martha yang menerawang ke arah jendela meski sudah having a mind blowing sex with Android Ash.

Dan jika tujuan awal teknologi adalah mempermudah urusan kehidupan, sejauh mana ia akan turut andil untuk mempengaruhi manusia dalam berperasa?

 

Sampit, 14 Januari 2019

My favorite line from the film:

“How Deep Is Your Love Cheesy”

“Come on”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s