Semantik Perspektif dan Perkara Sudut Pandang

Dari mana sebuah simpulan didapat? Bagaimana sebuah perspektif terbentuk? Apakah ia benar benar berasal dari kesadaran diri, stimulasi berfikir atau yang sering disebut sebagai self conscious? Bagaimana dengan pihak ketiga? Vektor, perantara, lingkungan sekitar, pendapat orang lain, norma, dogma, doktrin dan sejumlah kausal lain yang mampu membentuk — bahkan mempengaruhi — sebuah sudut pandang dan simpulan?

Dari sini saya belajar mengenai perspektif itu relatif. Netralitas adalah ilusi (hal ini akan saya tulis khusus kemudian). Selain relatif, saya belajar bahwa asumsi tidaklah murni berasal dari apa yang disebut sebagai self conscious. Entry blog kali ini mengarah pada apa yang tengah saya amati belakangan di Indonesia. Negara ini masih saja berkutat pada radikalisme dan kelompok penjual agama. Terakhir kabar, Kementrian Komunikasi dan Informasi melakukan pemblokiran terhadap situs situs propagandis berbau radikalisme.

Sejak awal penciptaannya hingga di era Paleotikum manusia percaya bahwa tuhan adalah api, petir, air, bahkan pohon dan batu. Zaman berlalu, peradaban kian maju dan manusia percaya bahwa tuhan adalah matahari dan dewa dewa yang bersemayam pada gunung berapi. Dewa dewa dalam ujud menyerupai manusia dan binatang yang disucikan bermunculan, menumbangkan tuhan tuhan lama yang perlahan bisa dijelaskan, diwajarkan, dirasionalkan. Keyakinan seperti ini melebar sejak abad 1 hingga 9 dan akhirnya tuhan dikirim ke alam luar, ke dimensi entah di mana, dalam wujud berupa ada. Hal ini tertuang dalam kanon kanon agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam dan segenap turunannya). Semenjak diletakkan dalam wujud yang mustahil dibuktikan secara empiris, tuhan aman di kedalaman hati masing masing manusia.

Kemudian tibalah kita di era pra modern. Gejolak sains, penemuan penemuan ilmiah dan revolusi di bidang industri pada awal 16 menjadi titik di mana ilmu pengetahuan mengalami puncak kejayaannya. Porosnya di negara Eropa meskipun di tanah Arab mengalami perkembangan serupa (tapi revolusinya berhenti sejak ada Sultan Turki di masa Ottoman iseng mengharamkan mesin cetak)

Ledakan ilmu pengetahuan membuat agama agama Semitik yang mulai kuat saat itu mendapat guncangan cukup berat hingga menimbulkan friksi antara cendekiawan dan gereja. Tidak terhitung berapa kali Galileo Galilei disidang gereja karena membawa premis mengenai bentuk alam semesta. Tidak terhitung berapa banyak ilmuan yang dipenjara karena berhasil membuat pembuktian empiris atas dongeng dongeng kanon. Selebrasi sains tidak bisa dibendung dan meluas hingga akhirnya perspektif barat berkembang ke arah baru; Ateisme, Sekularisme, Liberalisme. Perjalanannya panjang dan mengorbankan banyak nyawa. Bagi saya manusia dan bagaimana mereka memperjuangkan ideologinya selalu menjadi hal yang menarik untuk diamati.

Membebaskan tuhan dari lingkup kanon dan berita berita usang adalah perspektif saya terhadap pandangan ini. Orang orang membebaskan tuhan dari pepatan definisi dan mematahkan ilusi tentang bagaimana sesuatu terjadi dan diciptakan. Ada juga yang membebaskan tuhan dari ritus pemujaan, ada yang membebaskannya dari ujud  dan ada yang membebaskan tuhan ke titik nol. Tiada. Alpa. Nihil.

Ini disebabkan sejak era pra modern bangsa Eropa – Amerika telah mengalami gejolak mereka sendiri. Mulai kasus Ku Klux Klan hingga perang salib dan sebagainya. Bentangan masa sejak abad 16 hingga 2011-lah, yang berkontribusi besar dalam pembentukan sudut pandang kaum maju hingga tidak lagi mempermasalahkan soal eksistensi ketuhanan lantaran mereka telah mengalaminya sejak berabad lampau.

Meski kemudian, teori relativitas yang saya gunakan mengharuskan saya untuk meletakkan kemungkinan bahwa tentu masih ada sikap radikalisme dan antisekularis di negara dengan sejarah peradaban belasan tahun itu. Dengan persentase yang sangat kecil, tentu saja.

Waktu, ternyata juga bisa menjadi variabel yang membentuk sebuah perspektif.

Saya kemudian mencoba mengkomparasi fenomena tersebut di Indonesia, negara dengan usia sejarah yang tidak sampai empat abad jika dihitung sejak masa prakolonial. Indonesia sebagai sebuah negara tentu mengalami perkembangannya sendiri. Saat negara maju sudah berdamai dengan ledakan ilmu sains dan filsafat serta bagaimana kedua hal itu mempengaruhi konsep ketuhanan, Indonesia baru memulai fase tuhan adalah dewa yang mewujud dalam benda benda duniawi-nya. Lalu agama Semitik masuk melalui pedagang Arab-Gujarat (Islam) dan kolonisasi Belanda yang mengusung triteologi Gold, Glory, Gospelnya (Kristen)

Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia baru memulai fase ledakan ilmu sains dan filsafat di era milenium, ratusan tahun tertinggal dari negara barat. 

Kenapa saya menjadikan tahun 2000 sebagai benchmark perkembangan ilmu sains dan (utamanya) filsafat? Apakah saya menampik fakta bahwa selebrasi ilmu pengetahuan membuat sejarah mencatat soal pro-kontra buku Atheis-nya Achdiat K Miharja, PKI dan tudingan anti-islamnya, hingga konsep manunggaling kawula gusti di era Syech Siti Djenar di era Wali Songo? Bukankah gejolak pencarian tuhan di ranah pribadi telah terjadi sejak dulu kala? Kalau boleh saya menyebut, sejak masa Indonesia nyaris merdeka hingga Orde Baru selesai, kita baru memulai percikan perubahan konsep ketuhanan. Hal inilah era post-modernnya kita.

Percikan yang terus meletup dan akhirnya meledak di era milenium, sekarang sekarang ini. Sejak munculnya tokok Gus Dur sebagai bapak Pluralisme hingga pengukuhan Jaringan Islam Liberal di tahun 2002, rasa rasanya sejak itulah terjadi peralihan dari pra-modern ke modern di negara ini. Tren melawan arus, gelombah mahasiswa yang melawan rezim Suharto, hingga meluasnya teori Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme di ruang publik. Kita lebih bebas dalam memilih ujud tuhan dan memutuskan untuk percaya atau tidak dengan paparan konsep dan ilmu pengetahuan yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun silam di negara barat.

Pasca tumbangnya Orba, saat ini dengan mudahnya saya menemukan kelompok anarki dalam atribut punk. Sungguh berbeda dari 40 tahun silam di mana seseorang bisa dengan mudah kehilangan nyawa hanya karena ideologi yang dimilikinya.

Maka sekarang lihatlah, Indonesia tengah menikmati masa merdekanya. Kini begitu mudah menemukan buku buku Karen Armstrong, Stephen Hawking, Carl Sagan hingga Madilog-nya Tan Malaka dan menjadi bacaan setiap orang bahkan menjadi sumber studi. Bicara soal Orba, jangankan buku buku yang mempertanyakan ideologi sosial-budaya seperti Madilog, sebuah fiksi cinta cintaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru saja dibredel. Ki Panjdi Kusmin yang cuma menulis cerpen Langit Makin Mendung saja harus dipenjara, Seno Gumira Ajidharma harus kehilangan penertbitan dan pekerjaannya di majalah Djakarta, Djakarta! hingga Widji Thukul yang harus hidup dalam pelarian seumur hidupnya hanya karena menulis puisi.

Kini, tiap individu telah bebas untuk membebaskan tuhan dari koloni kanon. Dalam perjalanannya tentu akan ada friksi dan perlawanan sebagai deviasi dari era pra-modern. Indonesia tengah mengalami prosesnya sendiri untuk melawan radikalisme dan menentang upaya memundurkan peradaban melalui jualan khilafah dan mengembalikan Islam ke khittahnya.

Mungkin, ini hanya kemungkinan dan romantisme saya terhadap negara ini, setelah satu-dua abad gejolak ini mengeliat dan terus menjadi udara yang menebar perspektif progresif, negara ini akan menemukan “kemerdekaan”nya sendiri. Setelah faktor dari sudut ketiga berupa waktu menelusup untuk kemudian membentuk simpulan bahwa apa yang tabu di masa lalu, telah sedikit terbebas di saat ini, dan akan lepas sepenuhnya di masa mendatang.

Apa yang kita lihat saat ini adalah proses. Dengan harga yang mahal sejarah negara ini akan tercatat. Puluhan teror bom bunuh diri, laskar jihad hingga pembantaian atas nama agama (ibid: Cikeusik, 2011) dan segenap upaya perlawanan keji dari yang tidak menginginkan  ledakan ilmu sains dan filsafat ini terjadi. Perlawanan tanpa basis dari kelompok yang tidak mau Indonesia menjadi tanah laknat jajahan antek kafir Yahudi – Amerika.

Namun, jika perubahan serupa udara, bisakah kita menghentikannya?

Saya menempatkan diri dalam perspektif serupa belasan tahun silam. Saat satu satunya ilmu pengetahuan yang saya dapat adalah doktrin agama dari Ayah dan sekolah. Saat majalah yang tersedia di rumah nenek hanya Sabili dan Hidayah serta buku buku radikalis berkedok pencerahan islam. Namun sekarang sudut pandang saya berbeda, semenjak membuka diri untuk berhenti membaca hal tersebut dan memulai petualangan imaji dalam Madilog dan Grand Design hingga mengantarkan saya pada simpulan ini. Simpulan bahwa saya saat ini, belasan tahun berselang, saya menganggap memang sudah saatnya hal ini terjadi. Sesedih apapun saya atas collateral damage yang disebabkan, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan.

Apakah ini inkonsistensi? Tidak tetapnya pendirian? Peragu?

Saya menyebutnya perspektif yang mengalami perubahan seiring dengan masuknya vektor dan kausal kausal dari luar. Yang berproses dan diterima sebagai ideologi baru. Karenanya ini tidak bisa disebut sebagai self-conscious. Bagi saya, tidak akan ada simpulan yang bisa diambil tanpa sumber. Tidak ada sudut pandang tanpa bercampurnya bias, pendapat dan diskusi tak berkesudahan.

Yang ada hanya ketidaktahuan, kealpaan, bukan sudut pandang.

Sampit, 11 Juli 2019

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s