
Eka Kurniawan harus saya cintai untuk alasan ini:
Dia adalah pencipta karakter paling pahit yang pernah saya baca.
Holden Caufield-nya The Catcher in the Rye sampai Toru Watanabe-nya Haruki Murakami yang saya kira takaran pahitnya sudah di atas rata rata itu kalah oleh karakter karakter yang ada di dalam novel setebal 478 halaman ini. Saya dibuat menggumam “Anjrit..” berkali kali saat disuguhkan situasi yang menunjukkan betapa dingin dan tidak berperasaannya si tokoh utama.
Saya kira karakter demikian hanya dimiliki satu tokoh utama dengan tokoh tokoh lain sebagai penyeimbang. Dugaan ini seketika runtuh sebab pada halaman demi halaman yang melibatkan tokoh baru, saya selalu menemukan kekejaman dan kedinginan yang sama dengan karakter utama- Dewi Ayu-
Dimulai dari si Cantik, lalu Maman Gendeng, lalu Kamerad Kliwon, lalu Alamanda dan seterusnya. Silih berganti mereka menjelma menjadi sosok yang akan mematahkan hatimu tanpa ampun untuk kemudian tersenyum dan berlalu. Kisah percintaan laki laki paling tampan sedunia dan perempuan paling cantik sejagad raya itupun berakhir dengan Kamerad Kliwon yang menikahi Adinda, adik Alamanda. Pedih dan menyakitkan.
Kemudian cara Eka Kurniawan menyediakan ending cerita untuk si Cantik yang seolah berkata “Ga ada gunanya menunggu akhir yang bahagia, hidup ini fucked up, telan dan jalani saja”. Sebuah cara penyampaian cerita yang, sekali lagi, pedih dan menyakitkan. Seperti kebanyakan resensi atas buku ini, membaca Cantik itu Luka memang menyisakan perasaan yang gamang dan sejumlah gugatan. Namun terlepas dari itu semua, bagi saya Cantik itu Luka adalah vakansi yang menyenangkan karena rasa rasanya tidak pernah saya temukan karakter karakter sedingin, sekelam, sepahit mereka bahkan di dalam karya Seno Gumira Ajidarma.
Dewi Ayu adalah puncak performa kelihaian pak Kurniawan dalam menguntai kepahitan karakter. Di halaman halaman awal kita disuguhkan sesosok perempuan tua bekas pelacur yang melahirkan anak buruk rupa namun justru bersyukur atas itu. Lebih lebih, menginginkan agar si anak terlahir demikian. Ia lalu memutuskan untuk mati lalu hidup kembali 21 tahun kemudian. Ia begitu karena ia ingin begitu. Fak sekali kan? KAN??
Dalam novel novel yang terobsesi menyuguhkan pesan moral sebagai dagangan singkat rangkuman cerita di cover belakang, Dewi Ayu tentu akan dijabarkan sebagai perempuan baik baik, manis ramah kesayangan semua orang di masa silam yang lalu diubah oleh keadaan. Sayapun berprediksi demikian, sebab Cantik itu Luka adalah novel pop kekinian yang digemari banyak orang.
Kenyataannya? Dewi Ayu memang bersifat demikian sejak awal mula penciptaan. Gadis kecil dengan kecerdasan alami di atas rata rata yang membuatnya lebih tenang sebab mengetahui banyak hal dari orang sekitarnya. Ia memandang orang lain tidak memiliki kecerdasan yang setara dengannya sehingga mudah baginya menjadi berkuasa atas orang lain. Ia memiliki bakat pemimpin, ketenangan yang tidak main main ditambah ketabahan luar biasa yang ditempa oleh apa (ia sudah memiliki karakter ini sejak hari pertama tentara Jepang mengurungnya di penjara, sejak hari pertama ia dijadikan pelacur di rumah Mama Kalong)
Tanpa penjelasan susah payah soal mengapa si A berkarakter demikian, Eka justru menambah unsur magis novel ini. Membuat saya dan siapapun betah untuk duduk berlama lama, membaca lompatan peristiwa dengan sederet tokoh yang berkaitan satu sama lain meski dalam beberapa chapter agak jauh ia dituliskan.
Buku ini sekaligus menjadi penanda sebuah momentum. Sebulan terakhir saya menjadi bagian dari chapter menyenangkan bersama seseorang yang tidak kalah menyenangkan dari cerita yang saya susun di dalam kepala. Ia yang sedianya ada di dalam orbit saya bertahun tahun lamanya. Orbit yang kemudian berbenturan dan menjumput kebahagiaan. Banyak, berlimpah ruah.
Lalu seperti layaknya sebuah perjalanan, saya harus kembali menyusuri orbit itu. Meninggalkan momentum itu dan melayang untuk menemukan benturan benturan baru. Begitu seterusnya hingga usia gumpalan debu kosmis ini berakhir, saya rasa. Meski terdengan suram dan membosankan, namun setiap kita memang berhutang kewajiban untuk meneruskan perjalanan.
Sampit, 6 April 2016
Seperti Dewi Ayu, dingin dan kejam nampaknya memang sebuah pilihan yang menyenangkan.