
T/W: spoiler
Di tengah pandemi tepatnya 6 April 2021 Haruki Murakami merilis kumpulan cerita berjudul First Person Singular. Aku akhirnya berkesempatan membaca novel ini di bulan September awal, setelah bos kesayangan membelikan Kindle lengkap dengan uang jajan untuk membeli buku-buku bahagia.
Setelah menamatkan Dear Evan Hansen, First Person Singular menjadi buku kedua yang dibaca via Kindle. Pengalaman membaca menggunakan media elektronik seperti ini adalah sesuatu yang sama sekali asing. Sebelumnya pernah beberapa kali membaca .PDF jurnal dan artikel di laptop tapi sensasinya tentu berbeda dengan membaca untuk tujuan leisure di Kindle.
And yes, Kindle is very worth it. Teknologinya yang sangat ramah untuk mata membuat berjam-jam membaca buku menjadi tidak melelahkan. Anyway, let’s talk about Murakami’s latest book.
First Singular Person menjadi buku ke-21 Murakami yang aku baca. Dan mungkin karena aku sudah membaca semua buku beliau, aku jadi bisa melihat pola penulisan yang digunakan Murakami dan buku ini menjadi satu lagi kumpulan cerita tentang laki-laki dewasa penggemar jazz dan musik klasik yang terlibat dalam pengalaman absurd yang berkaitan dengan dimensi lain.
Terdapat delapan cerita pendek yang dirangkum menjadi novel sepanjang 248 halaman. Tidak terlalu tebal memang, kurang lebih seperti The Elephant Vanishes, kumpulan cerita pendek Murakami yang hanya 327 halaman. Untuk harga 23 dolar, well… ya udahlah ya. Namanya ngefans.
Favoritku ada di dua cerpen, With the Beatles dan Carnaval. Keduanya mengangkat cerita yang cukup segar dibanding lima lainnya yang dari dua paragraf awal sudah bisa ditebak endingnya bagaimana. Satu cerita berjudul The Yakult Swallows Poetry Collection (yang tadinya aku kira akan seheboh judul cerita Super-Frog Saves Tokyo) bahkan bukan cerita fiksi, tapi jurnal Murakami yang pernah menulis kumpulan puisi dan diterbitkan secara independen di awal-awal karirnya sebagai penulis.

Sentral cerita di First Singular Person adalah Confessions of Shinagawa Monkey, tentang laki-laki pendiam penyendiri yang memiliki kompleksitas pikiran dan sulit dimengerti apalagi dicintai, dan suka bepergian seorang diri dalam rangka spiritual pilgrimage. Mungkin karena cerpennya singkat, tidak ditambahkan kalau sosok pria ini menyukai jazz dan musik klasik dan menyukai buku-buku sastra klasik. Ia lalu bertemu dengan monyet yang bisa berbicara, tanpa keterkejutan berarti dia dan monyet ini ngobrol soal cinta sampai menjelang pagi. Udah deh.
Iya beneran udah deh. Lima tahun kemudian tokoh utamanya ketemu perempuan yang pernah ditaksir monyet ini dan dia kemudian memutuskan untuk menyimpan rahasia itu.
Dua cerpen yang aku sebut sebagai favoritku di atas juga memiliki tokoh utama yang Murakami banget. With The Beatles adalah perjalanan napak tilas kenangan seorang laki-laki ke masa SMA-nya saat dia menjadi penggemar musik jazz di tengah-tengah booming the Beatles. Cerita kemudian berlanjut tentang bagaimana dia jatuh cinta dengan sosok perempuan misterius yang tersenyum manis sekali sambil memegang record With The Beatles. Tentu sampai akhir cerita dia tidak pernah bertemu dengan perempuan itu, alih-alih berpacaran dengan perempuan yang tidak menyukai musik sama sekali dan kemudian bunuh diri dua belas tahun kemudian.
Soal laki-laki pendiam penyendiri yang suka sibuk dengan pikirannya sendiri dan menyukai jazz setengah mati dielaborasi dengan lebih detail di Carnaval. Pusat cerita adalah seorang laki-laki beristri yang menjadi dekat dengan perempuan jelek (yes, her ugliness is actually being emphasized in the story, regarding why she’s repulsively ugly and he won’t ended up being in any relationship with her) berkat kegemaran mereka terhadap nomor musik klasik Schumann berjudul Carnaval.
Perempuan itu kemudian menghilang, tokoh utamanya kehilangan sosok yang mengerti dirinya luar dalam berkat musik Schumann, tapi ia tidak melakukan apa-apa tentang itu. Tamat.
Mungkin masalahku adalah terlalu banyak membaca Murakami, sehingga tidak lagi menemukan keriaan yang sama seperti dulu saat pertama – keempat kali membaca karya beliau, saat membaca Kafka on The Shore, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage dan Sputnik Sweetheart yang membuat terkesima dengan betapa relate-nya diri ini dengan kesepian yang dirasakan karakter di dalamnya. He’s a damn good writer, for sure, tapi masalah dari terlalu kenal adalah rasa bosan. Dan meski sudah hampir setahun tidak membaca Murakami sejak menamatkan Killing Commendatore, First Singular Person membawa kejemuan yang sama saat menjejak paragraf kedua.
Tapi apakah akan berhenti membaca karya beliau selanjutnya? Tentu saja tidak.
Denpasar, 24 September 2021