How’s Life?

Sebagai ruang untuk upaya merekam eksistensi di kehidupan yang tidak seberapa panjang, blog ini telah didedikasikan untuk menjadi teman curhat sejak aku berusia belasan. Membaca tulisan-tulisan lama belakangan jadi penghiburan tersendiri karena menemukan apa yang aku rasakan sekarang sebenarnya pernah aku rasakan di 5-10 tahun yang lalu. Pertanyaan yang sekarang dilontarkan pernah menjadi sumber kegelisahan di masa silam.

Apakah ini artinya hidupku tidak ada progresi? Ya dan tidak. Pergulatanku dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang selalu berujung kepada keinginan untuk menyudahi kehidupan karena toh tidak ada yang laik untuk ditunggu bahkan untuk sebulan-dua bulan ke depan masih terasa sama amplitude-nya. Datang dan pergi, kadang bergema sedemikian kencang hingga rasa-rasanya tubuh kehilangan kendali. Namun dari segi coping, aku merasa sekarang caraku sudah jauh lebih baik untuk menyudahi periode-periode itu. Tidak lagi berlarut-larut hingga mengganggu urusan perut, tidak lagi impulsif dan menyebabkan kerugian yang masif.

Mungkin karena aku semakin tua dan sudah berkurang kadar keras kepala dan gengsiannya, sehingga perkara meminta tolong tidak lagi dilihat sebagai ajang pertaruhan harga diri. Sekurang-kurangnya, aku sudah berani untuk bercerita dengan utuh tanpa usaha berlebihan untuk terlihat kuat dan tegar di hadapan psikolog. Perasaan dan keadaan lemah tidak lagi di-dismiss atau dikecilkan karena alasan aku tidak suka terkesan lemah dan cengeng.

Ambisi untuk senantiasa tegar seumpama karang ini tidak serta merta terbentuk hanya karena aku terlalu banyak membaca jurnal Emma Goldman atau buku-buku Simon De Beauvoir. Ternyata ada runut panjang dari masa kecil dan bagaimana aku dibentuk oleh lingkungan/orang-orang dewasa di sekelilingku. Jalan hidup, konon. Meski bukan aku pula yang memilih untuk lahir dan tumbuh dalam keadaan demikian.

Empat bulan menuju genapnya tahun kedua kepindahanku ke Bali, aku masih ingat bagaimana tujuh lembar pakaian dan uang seadanya menjadi pengantar langkahku ke kota ini di penghujung tahun 2020 silam. Melepas kehidupan yang sudah nyaman di Sampit untuk menjejak tempat baru tanpa bekal berarti, dalam keadaan pengangguran pula.

Kepada orang-orang yang mempercayaiku untuk bekerja di akhir 2020 hingga pertengahan 2021, terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk mengungkapkan bagaimana mereka tidak hanya memberiku alasan untuk tetap bangun pagi, tapi juga membukakan jalan hingga aku bisa berada di titik sekarang.

Sebab rasanya hampir mustahil untuk seseorang dengan latar sepertiku bisa memiliki kans di area pekerjaan ini, lebih-lebih bisa berpenghasilan layak. Jika bukan karena mereka yang berani bertaruh dan banyak kerepotan karena ketidaktahuanku, aku tidak akan punya kepercayaan diri untuk menaruh kata penulis sebagai sebutan pekerjaanku saat ini.

Di blog ini, dua belas tahun silam saat usiaku menjejak usia delapan belas, aku menuliskan mimpi “Ingin menjadi penulis dan tinggal di kota asing,” sebagai birthday wishes bersama mimpi-mimpi kecil khas anak miskin dari kampung seperti ingin naik pesawat, ingin makan di Pizza Hut, ingin pergi ke luar negeri dan seterusnya. Waktu itu perkara yang mungkin terlihat sepele seperti ingin naik mobil saja baru kejadian saat usiaku 18 tahun. Kemiskinan telah membentukku untuk banyak-banyak bermimpi perkara sepele. Itu juga sebabnya, aku jadi punya banyak sekali alasan untuk bersyukur atas kemenangan-kemenangan kecil dari mimpi-mimpi sepele itu.

Yang menyebalkan, saat hampir seluruh mimpi tercentang dan saat ini aku sedang menjalani mimpi Nani usia 18 tahun berupa menjadi penulis yang tinggal di kota asing, aku kembali dihantui pertanyaan lainnya.

Lalu apa?

Kenapa belum genap dua tahun namun sudah muncul perasaan “begini-begini aja,”. Apa sulitnya menjejak tanah dan menjadi begini-begini saja hingga 5-10 tahun ke depan. Toh aku sudah punya ruang yang hampir tidak terhingga untuk menjadi apa saja yang aku mau. Toh aku sudah punya kebebasan untuk sesempurnanya menentukan arah hidup dan nilai yang ingin dijadikan alasan dan tujuan dalam melakukan setiap gerak. Bahkan jika tanpa alasan apa-apa sekalipun, tidak ada barang sejengkalpun marka batasan yang bisa orang lain berikan. Ini sesempurnanya kebebasan yang aku cita-citakan sejak usia belasan.

Tapi kenapa mimpi ini rasanya sepi sekali?

Denpasar,

27 Mei 2022

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s