Baru sebulan menggenapi usia 31, dua relapse sudah terjadi. Dulu sebelum rutin ke psikolog, aku kira normal untuk seseorang ujug-ujug merasakan kesedihan meruap-ruap yang begitu overwhelming sampai hanya bisa diredakan dengan menangis sejadi-jadinya. Setelah punya uang lebih untuk disisihkan ke psikolog dan psikiater beberapa tahun terakhir, sederet istilah sudah diberikan untuk kondisi-kondisi yang aku alami. Betapa mengganggunya kepala ini, dengan suara-suara dan narasi jahat kepada diri sendiri soal kepantasan untuk tetap berada di muka bumi.
Mungkin karena aku menua, ada yang terasa berubah dalam cara melihat diri sendiri dan sekitar. Kekeraskepalaan menampik perasaan-perasaan yang selama ini aku anggap lemah dan mustahil untuk kumiliki sudah berkurang hingga hampir nihil. Ternyata banyak keputusan yang kuambil dan perasaan yang kutanggung berakar dari kondisi kesepian.
Sebelumnya aku tidak pernah mau mengalah dan mengakui kalau aku kesepian, kuhibur diri dengan menyebut aku adalah orang hebat yang tidak akan kesepian hanya karena tidak memiliki siapa-siapa. Aku menganggap bahwa kesepian itu adalah milik mereka yang kodependen dan tidak punya kemandirian. Dan aku dengan sombongnya merasa aku jauh dari kedua hal itu.
Aku familiar dengan situasinya, sudah belasan tahun hidup seperti ini. Untuk hari-hari yang berlalu tanpa percakapan berarti, untuk menyelesaikan segala urusan sendiri, untuk tidak membagi kegelisahan apapun kepada siapapun. Aku paham sekali kalau ini konsekuensi (atau ya domino effect dari satu keadaan ke keadaan yang lain) dari keputusanku untuk memiliki hidup yang aku mau. Untuk keluar dari rumah dan sekarang aku sudah terlalu tua untuk pulang, pun sementara rumah itu tidak lagi ada.
Tapi aku tidak tahu kalau hidup itu sesunyi ini.
Aku kira formulanya saat aku “berhasil” menghidupi mimpi untuk keluar dari kota kecil, untuk memiliki pekerjaan impian, untuk menghidupi diri sendiri dan bisa berbagi dengan beberapa orang di sekitar, aku tidak akan kesepian lagi. Hidup akan menghadiahiku dengan pasangan yang tepat, yang mencintaiku dengan sangat, yang ingin menemani tanpa tapi.
Salahku adalah menjadikan itu sebagai khayalan penghibur saat dulu harus menyambung hidup dengan tiga pekerjaan berbeda hingga tidak tersisa waktu untuk mencicipi romansa. Salahku adalah menginginkan itu dengan amat sangat sehingga berubah ketetapannya dari sekadar khayalan menjadi keinginan.
Lalu seiring waktu berjalan, aku menua dan hidup telah mengantarkanku ke sini. Setelah mengakui kesepian adalah respon wajar –jika tidak penting– sebagai alarm agar segera mencari pack agar selamat dari ancaman (konteks: https://youtu.be/n3Xv_g3g-mA), aku akhirnya bisa melihat betapa banyak keputusan yang aku ambil karena kesepian.
Atas nama sunyi, kupersilakan siapapun, si a pa pun, untuk masuk dan mengambil apa saja yang mereka inginkan dariku. Kesepian membuatku begitu tersentuh dengan perlakukan alakadarnya dari orang-orang yang menyebut aku menarik hingga kuberikan apa saja yang kupunya. Sebagai alat tukar agar mereka tetap tinggal, menemani dan membuat hidup ini tidak lagi sepi. I just wanted to be loved.
Karena aku masih hidup dan (agak) waras sampai usia 31, aku rasa sudah kutamatkan teori soal mencintai diri sendiri, berdamai dengan keadaan, bersyukur atas apa yang dimiliki dan sederet prasyarat menjalani hidup lainnya. Aku tidak sedang menderita, tidak juga sedang menggugat keadaan yang tidak adil. Aku tidak sedang berlari dari diri sendiri, aku juga tidak sedang membuat ancaman kepada hidup.
Aku hanya kesepian.