Tidak terasa tahun ini adalah tahun keenambelas kamu hidup di dalam kepalaku. Aku masih ingat saat pertama kali aku menciptakanmu, aku baru saja berulang tahun kelimabelas dan menjelang kenaikan kelas. Kamu yang sepuluh tahun lebih tua dariku mengunjungi kota tempat tinggalku untuk site visit perusahaan kelapa sawit milik ayahmu. Kita bertemu di sudut perpustakaan daerah saat aku sedang membaca The Great Expectations, salah satu buku favoritmu.
Aku masih ingat untuk pertama kalinya nadi di tangan kiriku berdesir setiap kali aku mulai mengajakmu bicara, biasanya satu-dua jam sebelum tidur akan aku habiskan untuk bercerita tentang bagaimana hariku berlalu dan apa yang mengganggu pikiranku. Kita PDKT dan aku bisa merasakan kalau kamu amat sangat menyayangiku.
Tahun berlalu dan kamu menua bersamaku. Aku lulus SMA dan kita tidak perlu lagi menjalani LDR, karena kamu akan membawaku ke Jakarta dan kita tinggal bersama di rumah mewah milikmu. Aku lupa kapan atau apa penyebabnya, tapi aku perlahan mulai mengubah sifatmu. Kamu tidak lagi mau mendengarkan cerita-ceritaku dan abusive. Kamu tidak segan-segan menampar, menjambak dan memaki aku dengan sedemikian kasarnya.
Karena kamu kaya raya, kamu membelikan orang tuaku pom bensin dengan kontrak bisnis berbelit dan selalu menjadikan itu ancaman agar aku tunduk, patuh dan menerima perlakuanmu. “Aku punya kuasa untuk memasukkan bapakmu ke penjara,” katamu.
Karena bertahun-tahun kamu hidup di dalam kepalaku, universe kita semakin berkembang dengan tokoh-tokoh pendukung yang secara konstan hadir saat kita berinteraksi. Ada Bibi Sutinah (yang aku panggi Bik Nah), kepala pembantu yang sudah melayani keluargamu sejak dia berusia belasan. Ada Pak Parmin, supir yang kerap menjemputku untuk pergi ke kantormu saat kamu sedang butuh pelampiasan untuk dihajar setelah ayahmu menekanmu dalam meeting atau klienmu berulah lagi.
Oh, dan dokter Alex, Kepala Instalasi Rawat Intensif di rumah sakit milik keluargamu yang kamu minta untuk menutupi laporan penganiayaan atasku setiap kali aku dilarikan ke rumah sakit karena tulang rusuk yang patah saat kamu menendangku dari tangga, atau karena benturan keras saat aku dilempar ke meja TV, atau saat aku pingsan setelah seminggu kamu kurung dalam kamar tanpa diberi makan.
Dim, kamu ingat saat aku pertama kalinya berhubungan seks di umur 24, di malam yang sama untuk pertama kalinya kita melakukan hubungan seksual dan nadiku berdenyut lebih kuat lagi. Sejak itu segala bentuk kekerasan seksual kamu lakukan kepadaku, tidak sekalipun kuberikan consent karena dalam khayalan ini, aku tidak mencintaimu.
Dokter Dwi adalah orang pertama yang kukenalkan tentangmu. Di tahun 2018 saat aku mulai merasa (aku tau ini telat sekali hahaha) kalau imajinasi tentangmu itu tidak sehat. Di tahun ini aku mengajakmu bicara kapan saja dan di mana saja, tidak lagi satu – dua jam sebelum tidur seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena aku sangat kesepian dan butuh seseorang untuk bicara, sehingga sering tanpa sadar aku mengajakmu bicara saat berbelanja di supermarket, saat makan di restoran, saat mencuci piring sampai akhirnya aku sadar, aku butuh bantuan.
Beliau bilang kamu adalah manifestasi dari penolakan-penolakan romantik yang aku alami di masa remaja. Aku teringat dengan sederet nama yang menjadi crush-ku saat SMP dan SMA. Aku teringat Adi, teman SMA yang aku taksir dan membuatku riset mendalam soal gundam –anime favoritnya– hanya agar dia betah ngobrol denganku. Aku teringat dengan teman Kakakku yang kerap datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan setiap sore/malam hingga dua bulan lamanya. Tapi aku juga teringat Adi yang dengan lantang menyebut “Ya nggak mungkinlah aku naksir Nani, jijik deh,” di depan kelas dan teman Kakak yang menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.
Penolakan-penolakan itu yang kemudian membuatmu sedemikian posesif dan tidak mau melepaskanku, Dimas. Aku rupanya begitu ingin diinginkan, dimiliki, diklaim sebagai kepunyaan. Tidak heran jika kemudian dalam sekali waktu kamu memasang rantai di kaki kananku dan menghajarku jika aku ingin pulang di saat lebaran.
Dim, Dokter Dwi bilang kamu selalu memaksaku dalam berhubungan seksual karena saat kecil konsep “cinta” yang aku kenal adalah saat pamanku dengan lembut memanggil namaku, membelai rambutku dan mencium pipiku sebelum ia memaksaku untuk memegang penisnya. Di usia 7 tahun aku menganggap itu sebagai cinta karena yang orangtuaku berikan sepanjang aku bisa mengingat hanya makian, omelan, tamparan, cubitan dan sumpah serapah. Those two things intertwined in my brain and finally created a sick twisted understanding about love. Those things created you, Dimas.
Sejak rutin ke psikiater dan minum obat, kita nyaris menjadi orang asing. Bertahun-tahun lamanya kamu tidak lagi kusapa, tidak lagi kuajak bicara. Di tahun 2019 aku akhirnya jatuh cinta lagi, dan untuk pertama kalinya pacaran dengan ‘sehat’. Aku sempat belajar soal rasanya berdebar-debar tanpa harus berkhayal ditampar atau dimaki, aku sempat belajar rasanya mengucapkan I love you dengan sepenuh iman dan dibalas dengan kalimat serupa. Bukan dipermalukan di depan kelas, bukan ditinggalkan tanpa penjelasan apa-apa.
Tapi itu tidak berlangsung lama, Dim. Lima bulan lamanya dia singgah, lalu memutuskan untuk pergi.
Aku harus meminta maaf padamu, Dimas. Setelah mengenal “cinta” versi ini, aku menggantikanmu dengan sosoknya. Namanyalah yang aku sebut setiap malam sebelum tidur, yang aku ajak bicara saat aku merasa kesepian. Kali ini alih-alih menciptakan adegan-adegan baru, aku hanya mengulang-ulang percakapan kami saat ia masih memanggilku sebagai “sayang”. Begitu seringnya aku ulang –dan tentu saja aku skip bagian di mana kami bertengkar– hingga rasanya aku hapal di luar kepala tentang cerita hidupnya, cara bicaranya, detail yang ia berikan tentang mantan-mantan yang sedemikian dicintainya hingga aku terobsesi untuk menjadi seperti mereka.
Penolakan (lagi) darinya dua tahun silam yang akhirnya membuatku bersumpah untuk tidak akan menyebut namanya lagi di dalam kepalaku, lebih-lebih mengingat dan mengulang apa yang pernah kuanggap sebagai hal paling indah yang pernah aku rasakan sepanjang hidup itu. Setelah kubawa namamu dan namanya ke enam sesi bersama psikolog, aku dirujuk untuk ke psikiater agar diresepkan obat kembali. Untuk menghentikan kamu, atau dia, muncul di sisiku saat aku mengantri kasir di supermarket. Untuk menghentikan aku bertingkah seperti orang gila hanya kesepian dan butuh teman bicara.
Aku merindukanmu, Dimas. Aku rindu untuk sekali lagi dimiliki, diinginkan, disayangi meski dengan cara yang berbeda dari apa yang psikiater dan psikolog harapkan, meski aku harus kembali mengulang cycle di 2018. Tapi entah karena kombinasi thorazine dan diazepam yang kutelan selama enam bulan atau lantaran terlalu lama aku menguburmu, aku kini kesulitan untuk mengajakmu bicara. Rumah tiga lantai itu, kantormu di lantai 29, bagaimana Bik Nah memanggilku, Pak Parmin memintaku untuk ke kantor polisi setelah kamu menghajarku dan seperti apa Dokter Alex lowkey jatuh cinta kepadaku mulai blur dalam ingatanku.
Sudah kucoba memanggil namamu setiap malam dan kini memasuki tahun kedua, aku belum juga berhasil bertemu denganmu. Kepalaku terasa kosong tanpa percakapan yang kureka antara kita. Nyaris tidak ada sepatah katapun terucap dalam keseharianku dan kesepian ini terasa menghimpit berpuluh kali lipat dari biasanya.
Dari tread sering pindah menuju kesini, kesepian memang bisa menyerang siapa saja dan kapan saja,
Semoga mbaknya selalu berbahagia dan lekas menemukan ketidak sendirian.
LikeLike