Author Archives: nanirigby

About nanirigby

Terlalu banyak kata-kata, sedikit sekali suara.

Kepala Sang Demonstran

Rumah sakit itu mendadak terkenal. Salah satu dokternya berhasil menemukan cara untuk melihat isi pikiran manusia. Bagaimana tidak membuat heboh, seluruh dunia tau kalau otak manusia belum bisa dipetakan 100 persen namun kini ada seorang dokter dari negara kecil di sudut dunia mengaku bisa melihat isi pikiran manusia seutuhnya.

Cara untuk melihat isi pikiran manusia itupun tidak terlampau sulit, tidak melibatkan mesin-mesin canggih untuk memindai berdasar warna, massa, bagian, apapun. Dokter itu hanya perlu memenggal kepala orang yang sudah mati –atau yang masih hidup juga sebenarnya tak apa, kalau dia memang benar-benar ingin dilihat isi pikirannya– dan menyambungkan beberapa syaraf yang terburai dari potongan kepala itu dengan kabel RCA 3 warna. Kuning untuk video, merah dan putih untuk suara. Isi pikiran manusia yang dipenggal kepalanya itu lalu bisa dilihat melalui layar televisi, dapat dimajukan atau dimundurkan, dihentikan maupun dihapus selayaknya video rekaman biasa.

Berkat metodenya, Dokter itu kemudian menjadi sangat terkenal. Dunia kedokteran menyebutnya sebagai jenius, pemerintah bangga luar biasa dan dibangunlah sebuah rumah sakit besar lengkap dengan labolatorium untuk eksperimen-eksperimen selanjutnya. Mahsyur negara itu di mata dunia.

Tapi yang paling terbantu, meski tidak terlalu ditampakkan, adalah kepolisian. Kemampuan Dokter itu untuk membaca isi pikiran manusia membantu banyak kasus pembunuhan berantai, perampokkan dan berbagai kasus kriminal berat yang menghabisi banyak nyawa bisa diselesaikan berkat tampilan gambar dari kepala para korban. Polisi hanya perlu membawa mayat korban ke rumah sakit itu dan satu per satu dari mereka akan dipenggal untuk dilihat pikirannya.

Sesungguhnya apa yang dilakukan Dokter itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Banyak dukun dan jejampi kampung yang bisa melakukan hal serupa. membaca isi kepala orang. Tapi si dokter menjadi fenomena. Tentu saja, lantaran gelar dokternya, dan betapa mudahnya teori si dokter dicerna logika.

Di negara itu, orang orang menjadi sangat paranoid dan ketakutan hingga tak mudah percaya pada apapun yang tak berbukti nyata.

Ketenaran si dokter dengan cepat menyebar kemana mana. Si dokter kemudian dipekerjakan oleh negara untuk membantu polisi. Si dokter awalnya menolak, ia mengatakan bahwa dirinya bukan detektif yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan. Tapi tolakan itu berubah menjadi anggukan mesum dan mata berbinar kala menatap tumpukkan uang di atas meja.

Resmi sudah, si dokter bekerja untuk negara. Polisi kerap datang ke rumah sakit. Para berseragam itu biasanya sudah memenggal kepala mayat untuk dibaca oleh si dokter. “Biar bapak tak usah repot,” ujar seorang polisi seraya menyerahkan kantong kresek berisi dua buah penggalan kepala.

Rupanya sore tadi ada pengeboman di kantor pemerintahan. Lima orang tewas di tempat. Tiga orang di antaranya terkena paparan langsung bom sehingga tubuhnya berubah menjadi serpihan. Hanya dua potong kepala milik satpam gedung yang tersisa. Ada sekompi polisi yang datang, juga datang jendral serta kapolri. Semua penasaran, siapa pelaku pengeboman.

Polisi polisi itu lantas menunggu di luar ruangan si dokter. Sementara pimpinan mereka, ikut masuk ke dalam dan menyaksikan sendiri potongan ingatan kepala mayat itu kala menjelang ajalnya. Sore itu, seorang teroris kelas dunia tertangkap dalam pelariannya menuju negara seberang.

Berita menyebar cepat. Tentang si dokter yang berhasil mengungkap pelaku terorisme. Semua orang, terlebih wartawan, menunggu nunggu, kapan lagi si dokter melakukan aksinya. Polisi cenderung jarang membeberkan kapan ada mayat yang akan dipenggal kepalanya dan dibongkar ingatannya oleh si dokter.

Sore itu, ada mayat yang datang ke rumah sakit. Mayat itu merangkak rangkak dari kejauhan, ia berangkat sendiri. Di belakang mayat yang merangkak sendiri itu, ada puluhan wartawan yang sibuk mengambil gambar dan berteriak teriak “Ini saatnya!” kepada rekan wartwannya.

Mayat yang merangkak sendirian itu masuk ke pelataran rumah sakit. Tak ada yang mengindahkan, toh ia sudah mati, rumah sakit tempat orang berobat. Kalau mati pergi ke kuburan. Mayat itu akhirnya merangkak sendirian lagi menuju ruangan dokter.

“Apa ini?” si dokter kebingungan. Ia tak pernah mendapati mayat datang sendiri dan minta dibaca seperti itu.

“Tidak ada polisi, ya?” si dokter bertanya lagi. Mayat yang merangkak sendirian itu mengeram ngeram, tak bisa bicara.

Si dokter, mangkel dalam hati. Ia sudah berjanji pada pemerintah untuk hanya membaca isi kepala mayat yang berasal dari kepolisian. Ia hanya menerima penggalan kepala dalam kresek yang dibawakan para polisi.

Wartawan mulai berdengung, sibuk memfoto mayat yang merangkak sendiri. Juga memfoto si dokter yang beberapa kali menggaruk kepalanya yang landai. Si dokter dilema, reputasinya bisa buruk jika menolak mayat yang merangkak sendirian itu.

Presiden kebetulan menonton televisi dari dalam mobilnya. Iapun penasaran, tak pernah ia melihat langsung dokter fenomenal itu. Selama ini hanya anak buah dan bawahannya yang membuat laporan mengenai si dokter. “Berbeloklah, ayo ke rumah sakit itu,” seru presiden pada sopirnya. Mobil berbalik arah, menuju rumah sakit.

Si dokter masih juga dilema. Akhirnya setelah si mayat berhenti mengeram, si dokter akhirnya bersuara

“Bawa mayatnya ke ruangan saya,” ujar si dokter seraya mengenakan sarung tangan latex dan mencucinya dengan cairan disinfektan. Si dokter tak memperbolehkan satu wartawanpun untuk masuk.

“Nanti filmnya rusak kalau terkena blitz kamera anda,” sanggah si dokter. Cukup ampuh, para wartawan berhenti merangsek masuk. Si dokter berjanji akan memperlihatkan video dari isi pikiran mayat yang merangkak sendiri itu. Presiden akhirnya datang, si dokter sudah membredel pintu. Presiden duduk di luar ruangan seraya meladeni pertanyaan wartawan.

“Ya.. saya ke sini lantaran penasaran dengan kinerja si dokter, kapolri sibuk memujinya sejak seminggu lalu,” presiden tersenyum pada kamera. Kepala Polisi yang tengah dibicarakan juga datang. Ia tampak berkeringat, seperti lepas berlari. Ia tersenyum gugup pada presiden, mengangguk sepintas dan menuju ruangan si dokter.

“Eee.. ada pak Kepala Polisi, mari sini pak, kita berfoto. Biar si dokter bekerja sendirian di dalam, nanti juga kita di kasih tau apa isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu,” kapolri tak berkutik, presiden memergokinya ingin mendobrak masuk ke ruangan dokter. Kapolri lantas mengambil duduk di samping presiden dengan wajah cemas. Wartawan mengabadikan kapolri dengan wajah seperti hendak buang air besar.

Si dokter tak tau mengenai keributan di luar. Profesionalitasnya memaksa si Dokter untuk benar benar melihat isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu padahal ia bisa saja berbohong.

“Aku bisa saja memenggal kepala mayat ini, membawanya keluar dan mengatakan kalau ia mati gara gara narkoba.” Gumamnya. Si dokter lantas melihat tubuh mayat yang merangkak sendirian itu sambil menerka nerka kehidupan macam apa yang ia miliki semasa hidup. Badannya tegap, berisi. Mayat yang merangkak sendirian itu berdarah di sekujur tubuhnya. Kacamatanya remuk, tapi masih melekat di wajahnya. Ada lubang merah kehitaman tepat di tengah jidatnya.

Si dokter penasaran sendiri. Ia lantas memenggal kepala si mayat, memasangkan banyak selang dan kabel. Dari lubang telinga kanan penggalan kepala itu, dikorek korek hingga seutas kabel dengan ujung berlubang keluar. Ia hubungkan kabel yang keluar dari kepala mayat yang merangkak sendirian itu ke proyektor.

Di layar besar, si dokter melihat kuburan, dan spanduk spanduk. Si dokter sibuk mempercepat, memperbesar dan kadang kadang menghentikan video isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Spanduk diperbesar, si dokter mencoba membaca. Viva.. ah, gambarnya tiba tiba buram. Mayat yang merangkak sendirian itu rupanya terkena hantaman benda tumpul di kepala belakang. Si dokter sibuk mencatat,

“Ini dia sebab kematiannya,” gumamnya.

Gambar di video terlihat horizontal. Mayat yang merangkak sendirian itu pasti sudah tumbang ke tanah.

“Tunggu, kalau dia sudah tumbang, kenapa videonya masih hidup?” si dokter mengguncang guncang penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.

“Ah.. ia hanya sekarat! Belum mati,” si dokter menyadari kesalahannya dan tertawa kecil.

Dari gambar horizontal itu si dokter melihat mayat bertumbangan. Satu satu seperti terpukul mundur dan kemudian tumbang. Dikeraskannya suara video dari penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.

Suaranya seperti letusan tembakan.

Senjata mesin, terdengar seperti rentetan.

Tubuh tubuh bertumbangan. Tiba tiba gambar video menghadap langit. Sebuah wajah terlihat menodongkan senjata.

Dor.

Mayat yang merangkak sendirian akhirnya mati.

Si dokter menganga.

Tercenung.

Wajah itu adalah wajah Kepala Polisi, dalam versi setidaknya lebih muda 20 tahun.

Si dokter segera keluar dari ruangannya. Ia kembali terkejut, ada ratusan wartawan, presiden, dan Kepala Polisi dalam versi 20 tahun lebih tua dari isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Semuanya berdiri, menunggu nunggu jawaban.

Si dokter menarik nafas panjang, mulai merangkai kata sebagai konferensi pers

“Demi kepentingan privasi dan arsip rumah sakit, saya tidak bisa memperlihatkan rekaman isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu..”

Si dokter lagi lagi menarik nafas panjang

“..Mayat yang merangkak sendirian itu, nampaknya tewas karena terlalu banyak menonton film film sadis..”

Kapolri tersenyum lega. Senyum itu menjanjikan sesuatu pada si dokter.

Mereka berdua kini punya rahasia.

Si dokter dan Kepala Polisi tahu,

Mayat yang merangkak sendirian itu datang dari masa lalu.

Hai, Dimas.

Tidak terasa tahun ini adalah tahun keenambelas kamu hidup di dalam kepalaku. Aku masih ingat saat pertama kali aku menciptakanmu, aku baru saja berulang tahun kelimabelas dan menjelang kenaikan kelas. Kamu yang sepuluh tahun lebih tua dariku mengunjungi kota tempat tinggalku untuk site visit perusahaan kelapa sawit milik ayahmu. Kita bertemu di sudut perpustakaan daerah saat aku sedang membaca The Great Expectations, salah satu buku favoritmu.

Aku masih ingat untuk pertama kalinya nadi di tangan kiriku berdesir setiap kali aku mulai mengajakmu bicara, biasanya satu-dua jam sebelum tidur akan aku habiskan untuk bercerita tentang bagaimana hariku berlalu dan apa yang mengganggu pikiranku. Kita PDKT dan aku bisa merasakan kalau kamu amat sangat menyayangiku.

Tahun berlalu dan kamu menua bersamaku. Aku lulus SMA dan kita tidak perlu lagi menjalani LDR, karena kamu akan membawaku ke Jakarta dan kita tinggal bersama di rumah mewah milikmu. Aku lupa kapan atau apa penyebabnya, tapi aku perlahan mulai mengubah sifatmu. Kamu tidak lagi mau mendengarkan cerita-ceritaku dan abusive. Kamu tidak segan-segan menampar, menjambak dan memaki aku dengan sedemikian kasarnya.

Karena kamu kaya raya, kamu membelikan orang tuaku pom bensin dengan kontrak bisnis berbelit dan selalu menjadikan itu ancaman agar aku tunduk, patuh dan menerima perlakuanmu. “Aku punya kuasa untuk memasukkan bapakmu ke penjara,” katamu.

Karena bertahun-tahun kamu hidup di dalam kepalaku, universe kita semakin berkembang dengan tokoh-tokoh pendukung yang secara konstan hadir saat kita berinteraksi. Ada Bibi Sutinah (yang aku panggi Bik Nah), kepala pembantu yang sudah melayani keluargamu sejak dia berusia belasan. Ada Pak Parmin, supir yang kerap menjemputku untuk pergi ke kantormu saat kamu sedang butuh pelampiasan untuk dihajar setelah ayahmu menekanmu dalam meeting atau klienmu berulah lagi.

Oh, dan dokter Alex, Kepala Instalasi Rawat Intensif di rumah sakit milik keluargamu yang kamu minta untuk menutupi laporan penganiayaan atasku setiap kali aku dilarikan ke rumah sakit karena tulang rusuk yang patah saat kamu menendangku dari tangga, atau karena benturan keras saat aku dilempar ke meja TV, atau saat aku pingsan setelah seminggu kamu kurung dalam kamar tanpa diberi makan.

Dim, kamu ingat saat aku pertama kalinya berhubungan seks di umur 24, di malam yang sama untuk pertama kalinya kita melakukan hubungan seksual dan nadiku berdenyut lebih kuat lagi. Sejak itu segala bentuk kekerasan seksual kamu lakukan kepadaku, tidak sekalipun kuberikan consent karena dalam khayalan ini, aku tidak mencintaimu.

Dokter Dwi adalah orang pertama yang kukenalkan tentangmu. Di tahun 2018 saat aku mulai merasa (aku tau ini telat sekali hahaha) kalau imajinasi tentangmu itu tidak sehat. Di tahun ini aku mengajakmu bicara kapan saja dan di mana saja, tidak lagi satu – dua jam sebelum tidur seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena aku sangat kesepian dan butuh seseorang untuk bicara, sehingga sering tanpa sadar aku mengajakmu bicara saat berbelanja di supermarket, saat makan di restoran, saat mencuci piring sampai akhirnya aku sadar, aku butuh bantuan.

Beliau bilang kamu adalah manifestasi dari penolakan-penolakan romantik yang aku alami di masa remaja. Aku teringat dengan sederet nama yang menjadi crush-ku saat SMP dan SMA. Aku teringat Adi, teman SMA yang aku taksir dan membuatku riset mendalam soal gundam –anime favoritnya– hanya agar dia betah ngobrol denganku. Aku teringat dengan teman Kakakku yang kerap datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan setiap sore/malam hingga dua bulan lamanya. Tapi aku juga teringat Adi yang dengan lantang menyebut “Ya nggak mungkinlah aku naksir Nani, jijik deh,” di depan kelas dan teman Kakak yang menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Penolakan-penolakan itu yang kemudian membuatmu sedemikian posesif dan tidak mau melepaskanku, Dimas. Aku rupanya begitu ingin diinginkan, dimiliki, diklaim sebagai kepunyaan. Tidak heran jika kemudian dalam sekali waktu kamu memasang rantai di kaki kananku dan menghajarku jika aku ingin pulang di saat lebaran.

Dim, Dokter Dwi bilang kamu selalu memaksaku dalam berhubungan seksual karena saat kecil konsep “cinta” yang aku kenal adalah saat pamanku dengan lembut memanggil namaku, membelai rambutku dan mencium pipiku sebelum ia memaksaku untuk memegang penisnya. Di usia 7 tahun aku menganggap itu sebagai cinta karena yang orangtuaku berikan sepanjang aku bisa mengingat hanya makian, omelan, tamparan, cubitan dan sumpah serapah. Those two things intertwined in my brain and finally created a sick twisted understanding about love. Those things created you, Dimas.

Sejak rutin ke psikiater dan minum obat, kita nyaris menjadi orang asing. Bertahun-tahun lamanya kamu tidak lagi kusapa, tidak lagi kuajak bicara. Di tahun 2019 aku akhirnya jatuh cinta lagi, dan untuk pertama kalinya pacaran dengan ‘sehat’. Aku sempat belajar soal rasanya berdebar-debar tanpa harus berkhayal ditampar atau dimaki, aku sempat belajar rasanya mengucapkan I love you dengan sepenuh iman dan dibalas dengan kalimat serupa. Bukan dipermalukan di depan kelas, bukan ditinggalkan tanpa penjelasan apa-apa.

Tapi itu tidak berlangsung lama, Dim. Lima bulan lamanya dia singgah, lalu memutuskan untuk pergi.

Aku harus meminta maaf padamu, Dimas. Setelah mengenal “cinta” versi ini, aku menggantikanmu dengan sosoknya. Namanyalah yang aku sebut setiap malam sebelum tidur, yang aku ajak bicara saat aku merasa kesepian. Kali ini alih-alih menciptakan adegan-adegan baru, aku hanya mengulang-ulang percakapan kami saat ia masih memanggilku sebagai “sayang”. Begitu seringnya aku ulang –dan tentu saja aku skip bagian di mana kami bertengkar– hingga rasanya aku hapal di luar kepala tentang cerita hidupnya, cara bicaranya, detail yang ia berikan tentang mantan-mantan yang sedemikian dicintainya hingga aku terobsesi untuk menjadi seperti mereka.

Penolakan (lagi) darinya dua tahun silam yang akhirnya membuatku bersumpah untuk tidak akan menyebut namanya lagi di dalam kepalaku, lebih-lebih mengingat dan mengulang apa yang pernah kuanggap sebagai hal paling indah yang pernah aku rasakan sepanjang hidup itu. Setelah kubawa namamu dan namanya ke enam sesi bersama psikolog, aku dirujuk untuk ke psikiater agar diresepkan obat kembali. Untuk menghentikan kamu, atau dia, muncul di sisiku saat aku mengantri kasir di supermarket. Untuk menghentikan aku bertingkah seperti orang gila hanya kesepian dan butuh teman bicara.

Aku merindukanmu, Dimas. Aku rindu untuk sekali lagi dimiliki, diinginkan, disayangi meski dengan cara yang berbeda dari apa yang psikiater dan psikolog harapkan, meski aku harus kembali mengulang cycle di 2018. Tapi entah karena kombinasi thorazine dan diazepam yang kutelan selama enam bulan atau lantaran terlalu lama aku menguburmu, aku kini kesulitan untuk mengajakmu bicara. Rumah tiga lantai itu, kantormu di lantai 29, bagaimana Bik Nah memanggilku, Pak Parmin memintaku untuk ke kantor polisi setelah kamu menghajarku dan seperti apa Dokter Alex lowkey jatuh cinta kepadaku mulai blur dalam ingatanku.

Sudah kucoba memanggil namamu setiap malam dan kini memasuki tahun kedua, aku belum juga berhasil bertemu denganmu. Kepalaku terasa kosong tanpa percakapan yang kureka antara kita. Nyaris tidak ada sepatah katapun terucap dalam keseharianku dan kesepian ini terasa menghimpit berpuluh kali lipat dari biasanya.

Tentang Kesepian

Baru sebulan menggenapi usia 31, dua relapse sudah terjadi. Dulu sebelum rutin ke psikolog, aku kira normal untuk seseorang ujug-ujug merasakan kesedihan meruap-ruap yang begitu overwhelming sampai hanya bisa diredakan dengan menangis sejadi-jadinya. Setelah punya uang lebih untuk disisihkan ke psikolog dan psikiater beberapa tahun terakhir, sederet istilah sudah diberikan untuk kondisi-kondisi yang aku alami. Betapa mengganggunya kepala ini, dengan suara-suara dan narasi jahat kepada diri sendiri soal kepantasan untuk tetap berada di muka bumi.

Mungkin karena aku menua, ada yang terasa berubah dalam cara melihat diri sendiri dan sekitar. Kekeraskepalaan menampik perasaan-perasaan yang selama ini aku anggap lemah dan mustahil untuk kumiliki sudah berkurang hingga hampir nihil. Ternyata banyak keputusan yang kuambil dan perasaan yang kutanggung berakar dari kondisi kesepian.

Sebelumnya aku tidak pernah mau mengalah dan mengakui kalau aku kesepian, kuhibur diri dengan menyebut aku adalah orang hebat yang tidak akan kesepian hanya karena tidak memiliki siapa-siapa. Aku menganggap bahwa kesepian itu adalah milik mereka yang kodependen dan tidak punya kemandirian. Dan aku dengan sombongnya merasa aku jauh dari kedua hal itu.

Aku familiar dengan situasinya, sudah belasan tahun hidup seperti ini. Untuk hari-hari yang berlalu tanpa percakapan berarti, untuk menyelesaikan segala urusan sendiri, untuk tidak membagi kegelisahan apapun kepada siapapun. Aku paham sekali kalau ini konsekuensi (atau ya domino effect dari satu keadaan ke keadaan yang lain) dari keputusanku untuk memiliki hidup yang aku mau. Untuk keluar dari rumah dan sekarang aku sudah terlalu tua untuk pulang, pun sementara rumah itu tidak lagi ada.

Tapi aku tidak tahu kalau hidup itu sesunyi ini.

Aku kira formulanya saat aku “berhasil” menghidupi mimpi untuk keluar dari kota kecil, untuk memiliki pekerjaan impian, untuk menghidupi diri sendiri dan bisa berbagi dengan beberapa orang di sekitar, aku tidak akan kesepian lagi. Hidup akan menghadiahiku dengan pasangan yang tepat, yang mencintaiku dengan sangat, yang ingin menemani tanpa tapi.

Salahku adalah menjadikan itu sebagai khayalan penghibur saat dulu harus menyambung hidup dengan tiga pekerjaan berbeda hingga tidak tersisa waktu untuk mencicipi romansa. Salahku adalah menginginkan itu dengan amat sangat sehingga berubah ketetapannya dari sekadar khayalan menjadi keinginan.

Lalu seiring waktu berjalan, aku menua dan hidup telah mengantarkanku ke sini. Setelah mengakui kesepian adalah respon wajar –jika tidak penting– sebagai alarm agar segera mencari pack agar selamat dari ancaman (konteks: https://youtu.be/n3Xv_g3g-mA), aku akhirnya bisa melihat betapa banyak keputusan yang aku ambil karena kesepian.

Atas nama sunyi, kupersilakan siapapun, si a pa pun, untuk masuk dan mengambil apa saja yang mereka inginkan dariku. Kesepian membuatku begitu tersentuh dengan perlakukan alakadarnya dari orang-orang yang menyebut aku menarik hingga kuberikan apa saja yang kupunya. Sebagai alat tukar agar mereka tetap tinggal, menemani dan membuat hidup ini tidak lagi sepi. I just wanted to be loved.

Karena aku masih hidup dan (agak) waras sampai usia 31, aku rasa sudah kutamatkan teori soal mencintai diri sendiri, berdamai dengan keadaan, bersyukur atas apa yang dimiliki dan sederet prasyarat menjalani hidup lainnya. Aku tidak sedang menderita, tidak juga sedang menggugat keadaan yang tidak adil. Aku tidak sedang berlari dari diri sendiri, aku juga tidak sedang membuat ancaman kepada hidup.

Aku hanya kesepian.

How’s Life?

Sebagai ruang untuk upaya merekam eksistensi di kehidupan yang tidak seberapa panjang, blog ini telah didedikasikan untuk menjadi teman curhat sejak aku berusia belasan. Membaca tulisan-tulisan lama belakangan jadi penghiburan tersendiri karena menemukan apa yang aku rasakan sekarang sebenarnya pernah aku rasakan di 5-10 tahun yang lalu. Pertanyaan yang sekarang dilontarkan pernah menjadi sumber kegelisahan di masa silam.

Apakah ini artinya hidupku tidak ada progresi? Ya dan tidak. Pergulatanku dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang selalu berujung kepada keinginan untuk menyudahi kehidupan karena toh tidak ada yang laik untuk ditunggu bahkan untuk sebulan-dua bulan ke depan masih terasa sama amplitude-nya. Datang dan pergi, kadang bergema sedemikian kencang hingga rasa-rasanya tubuh kehilangan kendali. Namun dari segi coping, aku merasa sekarang caraku sudah jauh lebih baik untuk menyudahi periode-periode itu. Tidak lagi berlarut-larut hingga mengganggu urusan perut, tidak lagi impulsif dan menyebabkan kerugian yang masif.

Mungkin karena aku semakin tua dan sudah berkurang kadar keras kepala dan gengsiannya, sehingga perkara meminta tolong tidak lagi dilihat sebagai ajang pertaruhan harga diri. Sekurang-kurangnya, aku sudah berani untuk bercerita dengan utuh tanpa usaha berlebihan untuk terlihat kuat dan tegar di hadapan psikolog. Perasaan dan keadaan lemah tidak lagi di-dismiss atau dikecilkan karena alasan aku tidak suka terkesan lemah dan cengeng.

Ambisi untuk senantiasa tegar seumpama karang ini tidak serta merta terbentuk hanya karena aku terlalu banyak membaca jurnal Emma Goldman atau buku-buku Simon De Beauvoir. Ternyata ada runut panjang dari masa kecil dan bagaimana aku dibentuk oleh lingkungan/orang-orang dewasa di sekelilingku. Jalan hidup, konon. Meski bukan aku pula yang memilih untuk lahir dan tumbuh dalam keadaan demikian.

Empat bulan menuju genapnya tahun kedua kepindahanku ke Bali, aku masih ingat bagaimana tujuh lembar pakaian dan uang seadanya menjadi pengantar langkahku ke kota ini di penghujung tahun 2020 silam. Melepas kehidupan yang sudah nyaman di Sampit untuk menjejak tempat baru tanpa bekal berarti, dalam keadaan pengangguran pula.

Kepada orang-orang yang mempercayaiku untuk bekerja di akhir 2020 hingga pertengahan 2021, terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk mengungkapkan bagaimana mereka tidak hanya memberiku alasan untuk tetap bangun pagi, tapi juga membukakan jalan hingga aku bisa berada di titik sekarang.

Sebab rasanya hampir mustahil untuk seseorang dengan latar sepertiku bisa memiliki kans di area pekerjaan ini, lebih-lebih bisa berpenghasilan layak. Jika bukan karena mereka yang berani bertaruh dan banyak kerepotan karena ketidaktahuanku, aku tidak akan punya kepercayaan diri untuk menaruh kata penulis sebagai sebutan pekerjaanku saat ini.

Di blog ini, dua belas tahun silam saat usiaku menjejak usia delapan belas, aku menuliskan mimpi “Ingin menjadi penulis dan tinggal di kota asing,” sebagai birthday wishes bersama mimpi-mimpi kecil khas anak miskin dari kampung seperti ingin naik pesawat, ingin makan di Pizza Hut, ingin pergi ke luar negeri dan seterusnya. Waktu itu perkara yang mungkin terlihat sepele seperti ingin naik mobil saja baru kejadian saat usiaku 18 tahun. Kemiskinan telah membentukku untuk banyak-banyak bermimpi perkara sepele. Itu juga sebabnya, aku jadi punya banyak sekali alasan untuk bersyukur atas kemenangan-kemenangan kecil dari mimpi-mimpi sepele itu.

Yang menyebalkan, saat hampir seluruh mimpi tercentang dan saat ini aku sedang menjalani mimpi Nani usia 18 tahun berupa menjadi penulis yang tinggal di kota asing, aku kembali dihantui pertanyaan lainnya.

Lalu apa?

Kenapa belum genap dua tahun namun sudah muncul perasaan “begini-begini aja,”. Apa sulitnya menjejak tanah dan menjadi begini-begini saja hingga 5-10 tahun ke depan. Toh aku sudah punya ruang yang hampir tidak terhingga untuk menjadi apa saja yang aku mau. Toh aku sudah punya kebebasan untuk sesempurnanya menentukan arah hidup dan nilai yang ingin dijadikan alasan dan tujuan dalam melakukan setiap gerak. Bahkan jika tanpa alasan apa-apa sekalipun, tidak ada barang sejengkalpun marka batasan yang bisa orang lain berikan. Ini sesempurnanya kebebasan yang aku cita-citakan sejak usia belasan.

Tapi kenapa mimpi ini rasanya sepi sekali?

Denpasar,

27 Mei 2022

First Person Singular; Pengulangan Yang Menjemukan

Monyet ini memang berkaitan dengan cerita, tapi ya tetap saja, cover novel yang terasa seperti halaman depan majalah satwa.

T/W: spoiler

Di tengah pandemi tepatnya 6 April 2021 Haruki Murakami merilis kumpulan cerita berjudul First Person Singular. Aku akhirnya berkesempatan membaca novel ini di bulan September awal, setelah bos kesayangan membelikan Kindle lengkap dengan uang jajan untuk membeli buku-buku bahagia.

Setelah menamatkan Dear Evan Hansen, First Person Singular menjadi buku kedua yang dibaca via Kindle. Pengalaman membaca menggunakan media elektronik seperti ini adalah sesuatu yang sama sekali asing. Sebelumnya pernah beberapa kali membaca .PDF jurnal dan artikel di laptop tapi sensasinya tentu berbeda dengan membaca untuk tujuan leisure di Kindle.

And yes, Kindle is very worth it. Teknologinya yang sangat ramah untuk mata membuat berjam-jam membaca buku menjadi tidak melelahkan. Anyway, let’s talk about Murakami’s latest book.

First Singular Person menjadi buku ke-21 Murakami yang aku baca. Dan mungkin karena aku sudah membaca semua buku beliau, aku jadi bisa melihat pola penulisan yang digunakan Murakami dan buku ini menjadi satu lagi kumpulan cerita tentang laki-laki dewasa penggemar jazz dan musik klasik yang terlibat dalam pengalaman absurd yang berkaitan dengan dimensi lain.

Terdapat delapan cerita pendek yang dirangkum menjadi novel sepanjang 248 halaman. Tidak terlalu tebal memang, kurang lebih seperti The Elephant Vanishes, kumpulan cerita pendek Murakami yang hanya 327 halaman. Untuk harga 23 dolar, well… ya udahlah ya. Namanya ngefans.

Favoritku ada di dua cerpen, With the Beatles dan Carnaval. Keduanya mengangkat cerita yang cukup segar dibanding lima lainnya yang dari dua paragraf awal sudah bisa ditebak endingnya bagaimana. Satu cerita berjudul The Yakult Swallows Poetry Collection (yang tadinya aku kira akan seheboh judul cerita Super-Frog Saves Tokyo) bahkan bukan cerita fiksi, tapi jurnal Murakami yang pernah menulis kumpulan puisi dan diterbitkan secara independen di awal-awal karirnya sebagai penulis.

Lau bayangkan lagi random liburan ke Jepang, berendam di Onsen terus ada beginian iseng ngajak lau ngobrol soal rahasia, cinta dan trauma masa lalu.

Sentral cerita di First Singular Person adalah Confessions of Shinagawa Monkey, tentang laki-laki pendiam penyendiri yang memiliki kompleksitas pikiran dan sulit dimengerti apalagi dicintai, dan suka bepergian seorang diri dalam rangka spiritual pilgrimage. Mungkin karena cerpennya singkat, tidak ditambahkan kalau sosok pria ini menyukai jazz dan musik klasik dan menyukai buku-buku sastra klasik. Ia lalu bertemu dengan monyet yang bisa berbicara, tanpa keterkejutan berarti dia dan monyet ini ngobrol soal cinta sampai menjelang pagi. Udah deh.

Iya beneran udah deh. Lima tahun kemudian tokoh utamanya ketemu perempuan yang pernah ditaksir monyet ini dan dia kemudian memutuskan untuk menyimpan rahasia itu.

Dua cerpen yang aku sebut sebagai favoritku di atas juga memiliki tokoh utama yang Murakami banget. With The Beatles adalah perjalanan napak tilas kenangan seorang laki-laki ke masa SMA-nya saat dia menjadi penggemar musik jazz di tengah-tengah booming the Beatles. Cerita kemudian berlanjut tentang bagaimana dia jatuh cinta dengan sosok perempuan misterius yang tersenyum manis sekali sambil memegang record With The Beatles. Tentu sampai akhir cerita dia tidak pernah bertemu dengan perempuan itu, alih-alih berpacaran dengan perempuan yang tidak menyukai musik sama sekali dan kemudian bunuh diri dua belas tahun kemudian.

Soal laki-laki pendiam penyendiri yang suka sibuk dengan pikirannya sendiri dan menyukai jazz setengah mati dielaborasi dengan lebih detail di Carnaval. Pusat cerita adalah seorang laki-laki beristri yang menjadi dekat dengan perempuan jelek (yes, her ugliness is actually being emphasized in the story, regarding why she’s repulsively ugly and he won’t ended up being in any relationship with her) berkat kegemaran mereka terhadap nomor musik klasik Schumann berjudul Carnaval.

Perempuan itu kemudian menghilang, tokoh utamanya kehilangan sosok yang mengerti dirinya luar dalam berkat musik Schumann, tapi ia tidak melakukan apa-apa tentang itu. Tamat.

Mungkin masalahku adalah terlalu banyak membaca Murakami, sehingga tidak lagi menemukan keriaan yang sama seperti dulu saat pertama – keempat kali membaca karya beliau, saat membaca Kafka on The Shore, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage dan Sputnik Sweetheart yang membuat terkesima dengan betapa relate-nya diri ini dengan kesepian yang dirasakan karakter di dalamnya. He’s a damn good writer, for sure, tapi masalah dari terlalu kenal adalah rasa bosan. Dan meski sudah hampir setahun tidak membaca Murakami sejak menamatkan Killing Commendatore, First Singular Person membawa kejemuan yang sama saat menjejak paragraf kedua.

Tapi apakah akan berhenti membaca karya beliau selanjutnya? Tentu saja tidak.

Denpasar, 24 September 2021

Cantik Itu Luka – Sebuah Review

SwYfxA90.jpg

Eka Kurniawan harus saya cintai untuk alasan ini:

Dia adalah pencipta karakter paling pahit yang pernah saya baca.

Holden Caufield-nya The Catcher in the Rye sampai Toru Watanabe-nya Haruki Murakami yang saya kira takaran pahitnya sudah di atas rata rata itu kalah oleh karakter karakter yang ada di dalam novel setebal 478 halaman ini. Saya dibuat menggumam “Anjrit..” berkali kali saat disuguhkan situasi yang menunjukkan betapa dingin dan tidak berperasaannya si tokoh utama.

Saya kira karakter demikian hanya dimiliki satu tokoh utama dengan tokoh tokoh lain sebagai penyeimbang. Dugaan ini seketika runtuh sebab pada halaman demi halaman yang melibatkan tokoh baru, saya selalu menemukan kekejaman dan kedinginan yang sama dengan karakter utama- Dewi Ayu-

Dimulai dari si Cantik, lalu Maman Gendeng, lalu Kamerad Kliwon, lalu Alamanda dan seterusnya. Silih berganti mereka menjelma menjadi sosok yang akan mematahkan hatimu tanpa ampun untuk kemudian tersenyum dan berlalu. Kisah percintaan laki laki paling tampan sedunia dan perempuan paling cantik sejagad raya itupun berakhir dengan Kamerad Kliwon yang menikahi Adinda, adik Alamanda. Pedih dan menyakitkan.

Kemudian cara Eka Kurniawan menyediakan ending cerita untuk si Cantik yang seolah berkata “Ga ada gunanya menunggu akhir yang bahagia, hidup ini fucked up, telan dan jalani saja”. Sebuah cara penyampaian cerita yang, sekali lagi, pedih dan menyakitkan. Seperti kebanyakan resensi atas buku ini, membaca Cantik itu Luka memang menyisakan perasaan yang gamang dan sejumlah gugatan. Namun terlepas dari itu semua, bagi saya Cantik itu Luka adalah vakansi yang menyenangkan karena rasa rasanya tidak pernah saya temukan karakter karakter sedingin, sekelam, sepahit mereka bahkan di dalam karya Seno Gumira Ajidarma.

Dewi Ayu adalah puncak performa kelihaian pak Kurniawan dalam menguntai kepahitan karakter. Di halaman halaman awal kita disuguhkan sesosok perempuan tua bekas pelacur yang melahirkan anak buruk rupa namun justru bersyukur atas itu. Lebih lebih, menginginkan agar si anak terlahir demikian. Ia lalu memutuskan untuk mati lalu hidup kembali 21 tahun kemudian. Ia begitu karena ia ingin begitu. Fak sekali kan? KAN??

Dalam novel novel yang terobsesi menyuguhkan pesan moral sebagai dagangan singkat rangkuman cerita di cover belakang, Dewi Ayu tentu akan dijabarkan sebagai perempuan baik baik, manis ramah kesayangan semua orang di masa silam yang lalu diubah oleh keadaan. Sayapun berprediksi demikian, sebab Cantik itu Luka adalah novel pop kekinian yang digemari banyak orang.

Kenyataannya? Dewi Ayu memang bersifat demikian sejak awal mula penciptaan. Gadis kecil dengan kecerdasan alami di atas rata rata yang membuatnya lebih tenang sebab mengetahui banyak hal dari orang sekitarnya. Ia memandang orang lain tidak memiliki kecerdasan yang setara dengannya sehingga mudah baginya menjadi berkuasa atas orang lain. Ia memiliki bakat pemimpin, ketenangan yang tidak main main ditambah ketabahan luar biasa yang ditempa oleh apa (ia sudah memiliki karakter ini sejak hari pertama tentara Jepang mengurungnya di penjara, sejak hari pertama ia dijadikan pelacur di rumah Mama Kalong)

Tanpa penjelasan susah payah soal mengapa si A berkarakter demikian, Eka justru menambah unsur magis novel ini. Membuat saya dan siapapun betah untuk duduk berlama lama, membaca lompatan peristiwa dengan sederet tokoh yang berkaitan satu sama lain meski dalam beberapa chapter agak jauh ia dituliskan.

Buku ini sekaligus menjadi penanda sebuah momentum. Sebulan terakhir saya menjadi bagian dari chapter menyenangkan bersama seseorang yang tidak kalah menyenangkan dari cerita yang saya susun di dalam kepala. Ia yang sedianya ada di dalam orbit saya bertahun tahun lamanya. Orbit yang kemudian berbenturan dan menjumput kebahagiaan. Banyak, berlimpah ruah.

Lalu seperti layaknya sebuah perjalanan, saya harus kembali menyusuri orbit itu. Meninggalkan momentum itu dan melayang untuk menemukan benturan benturan baru. Begitu seterusnya hingga usia gumpalan debu kosmis ini berakhir, saya rasa. Meski terdengan suram dan membosankan, namun setiap kita memang berhutang kewajiban untuk meneruskan perjalanan.

Sampit, 6 April 2016

Seperti Dewi Ayu, dingin dan kejam nampaknya memang sebuah pilihan yang menyenangkan.

Hantu di Musim Penghujan

“Aku bermimpi tentang hantu”

Segelas air putih yang kuminum belum terteguk sepenuhnya saat Fuga mengusik perhatianku soal mimpinya tentang hantu, sepagi ini.

Ruang tengah sedang sepi. Belum tandas hausku yang harus menempuh puluhan kilometer untuk menemukan jawaban mengapa perempuan ini menghubungiku sambil menangis.

“Aku… melihat matanya yang kelabu dan mencium aroma busuk dari tubuhnya” Fuga kembali bersuara.

Tunggu, bukankah mimpi tidak berbau? Aku pernah beberapa kali bermimpi tentang makanan yang sepertinya beraroma wangi namun aku tidak pernah ingat bagaimana baunya. Tidak, sebuah mimpi tidak semestinya meninggalkan ingatan tentang bau. Aku beringsut dari dudukku, mendekati tubuhnya yang gemetar. Perempuan ini benar-benar ketakutan, dapat kulihat tatapan matanya yang menerawang jatuh dengan pupil membesar, seolah tengah menghadapi mimpi buruknya di dunia nyata. Urung kupeluk sebab terlalu lancang jika kulakukan. Tidak saat ini, tidak di tempat ini.

Fuga kini terisak pelan

“Jika bukan karena ini malam ketiga aku bermimpi hal yang sama, tentang hantu yang menatapku seolah inilah saatnya aku mati, tidak akan aku mengganggumu sepagi ini”

Bicara soal pagi, aku teringat sebuah pagi beberapa tahun silam, saat pertama kali aku mengenal Fuga. Namanyalah yang paling menarik perhatianku. Fuga Agatha. Fuga. Tidak pernah dalam hidupku aku mendengar dan bertemu orang dengan nama Fuga. Aku pernah mengenal seseorang bernama Proletariyati, Xeon hingga Berhala. Yang terakhir adalah teman karibku hingga sekarang, kedua orang tuanya adalah pekerja seni paling progresif di zamannya dan menganggap rasa sayang kepada anak tidak ubahnya sebuah pemujaan terhadap berhala. Temanku mengalami bullying sepanjang sekolah karena nama ini.

Namun Fuga, belum pernah aku bertemu dan mendengar sebelumnya. Dentumnya yang keras mengingatkanku bahwa kelahirannya pastilah membawa makna untuk menjadi lantang dan berbekas di ingatan setiap orang. Tidak seperti Berhala, betapa Fuga adalah doa. Fuga memang membawa dentuman dengan irama paling merdu sejak aku mengenalnya.

Perempuan yang pandai memainkan irama melalui kerling mata dan senyumnya yang indah. Irama yang membuat detak jantungku bertambah kencang setiap ia menelusuri pelan alur wajahku. Bermain dengan anak rambut dan membelaiku hingga tertidur. Ah, Fuga.

Lamunanku buyar. Matari masih belum sepenuhnya terbit, cahayanya yang bias berkejaran di sela jendela ruang tamu. Sudah lama aku tidakk bertemu pagi sesyahdu ini. Mungkin lantaran Fuga, yang sedari tadi beringsut merapatkan tubuhnya kepadaku dengan gemetar yang tak kunjung reda.

“Aku bisa merasakannya, sungguh. Jemarinya yang dingin mencengkram lenganku sangat erat hingga aku kesakitan dan matanya! Matanya demikian kelabu dan aku merasa takut teramat sangat” Suaranya merendah.

Tapi sebentar, konon saat bermimpi manusia tidak bisa menggunakan indera sensoriknya. Serupa aroma, Fuga tidak semestinya merasakan sensasi indera lain. Tidak mungkin bagi seseorang yang tengah bermimpi dapat merasakan dingin, bau, lebih-lebih rasa sakit.

Lantas mengapa ia meninggalkan bekas kebiruan di lengan perempuan yang kini meringkuk dengan mata sendu ini?

“Tolong aku, buat ia berhenti menyakitiku”

Kurengkuh Fuga pada akhirnya, mendekapnya seerat mungkin untuk setidaknya mengurangi rasa takut perempuan yang masih saja gemetar itu. Kupejamkan mataku serapat mungkin. Bias cahaya matahari dari jendela menyentuh wajahku saat waktu berkejaran mendatangkan siang untuk mengganti pagi. Kuhirup aroma Fuga, rambutnya mengingatkanku pada aroma hutan, entah lantaran shampoo yang digunakannya atau sekadar sugesti sebab memeluk Fuga seketika melemparkan ingatanku pada hutan tempatku sering bermain di masa kanak-kanak. Teduh dan tenang.

Dekapan kulekatkan hingga kudengar suara Fuga terbatuk perlahan. Kian lekat, kian erat.

Fuga sempat meronta beberapa saat. Dapat kurasakan kedua lengannya berupaya melepas kuncian tanganku. Namun sejurus kemudian tubuhnya adalah kesunyian yang bernas. Tidak kutemui cahaya mata penuh rasa cemas yang sedari tadi kutatap. Tidak juga kutemukan gemetar tubuhnya seperti saat ia bercerita tentang hantu dalam mimpi beberapa belas menit lalu.

Tidak kutemui apa-apa lagi di tubuh Fuga yang kini tanpa suara meregang nyawa di pelukanku. Kukecup keningnya pelan:

“Tenang, tidak ada lagi hantu yang akan memangsamu”

Sampit, 11 November 2019

Musim penghujan telah tiba.

Midsommar dan Perkara yang Sering kita Abaikan

Tahun 2019 sudah menjejak September dan baru ini saya ‘tergerak’ untuk menulis review film. Selain karena frekuensi nonton film berkurang (biasanya setiap minggu menjadi 1-2 kali sebulan) dan memang belum menemukan film yang cukup menggelitik untuk dituliskan.

Formula film menarik untuk saya sederhana saja, jika 24 jam setelah menontonnya saya masih kepikiran berarti film itu cukup mengganggu, dan saya perlu untuk merekamnya ke dalam media tulisan agar tidak terlupakan. Sayang, soalnya.

images

Midsommar pertama saya kenali dari klip teaser singkat di Twitter, pergi ke YouTube beberapa hari setelahnya untuk trailer dan I’m sold karena iming iming disutradarai Ari Aster, yang juga menyutradarai Hereditary. Mengingat saya suka tiba tiba kepikiran kepala adik tokoh utama yang putus ketabrak tiang lampu hingga berhari hari setelah menontonnya, berangkatlah saya ke Cinemaxx Citimall Sampit untuk Midsommar.

Dan rasa penasaran itu terbayar, lunas, genap seketika. Film ini berdurasi 2 jam 27 menit namun tidak satu menitpun terasa membosankan dan tidak satu adeganpun yang sia-sia. Sebagus itu, sungguh. Saya dihibur dengan turbulence emosi Dani (Florence Pugh) yang harus kehilangan keluarganya begitu saja dan perjuangannya untuk tegar di tengah kehilangan yang terasa uwuwu sekali

*** SPOILER ALERT***

Secara plot, Midsommar sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Film serupa soal sekumpulan orang di tempat terpencil melakukan ritus aneh dan bunuh bunuhan sudah ada sejak era Stephen King meledak melalui novel (dan kemudian film) Children of the Corn. Next to next adegan juga mudah ditebak, sejak awal Pelle (Vilhelm Blomgren) mengaku berasal dari Swedia dan ikut cult runut cerita sudah bisa disimpulkan berupa:

Seseorang dari closed cult dikirim ke dunia luar untuk mencari tumbal.

Premis yang semakin kuat saat para turis (total 6 orang) yang berlibur ke Harga, desa terpencil di Swedia untuk mengikuti festival musim panas bernama Midsommar ini dipaparkan begitu saja dengan hal asing berupa dua orang yang bunuh diri secara sukarela. Mengingat kedua orang yang sudah terpapar dunia luar tidak mencegah keenam turis ini, ending cerita sudah bisa ditebak; mereka semua mati atau tidak akan bisa meninggalkan tempat itu.

Midsommar-Dani-May-Queen

mbnya cakep cakep kok mrengut aja~

Selanjutnya Midsommar adalah sembilan hari festival 90 tahunan yang dipenuhi magic mushroom, ramuan ramuan delusi, ritus aneh dan tempat tempat keramat. Pada titik tertentu, film ini mengingatkan saya pada Get Out. Yang menarik perhatian saya justru bagaimana karakter Dani berkembang dari awal hingga akhir film.

Ari Aster memainkan formula Dani sebagai perempuan yang masuk ke dalam rekrutmen untuk Midsommar secara tidak sengaja. Ia menjadi yang ganjil dalam 5 tumbal yang slotnya telah dipenuhi rekan rekan Pelle. Di sisi lain, Dani justru menjadi Ratu Kesuburan berkat memenangi lomba joget di tiang panjat pinang. Dan bagaimana film ini menggambarkan Dani yang “terbuang” dari dunia luar lalu secara sadar dan ikhlas menjadi bagian dari Horga.

Dani yatim piatu secara tiba-tiba karena adiknya yang bipolar membunuh kedua orang tua dan dirinya sendiri dengan mengisap karbondioksida. Dani kemudian tidak memiliki siapa siapa lain selain pacarnya, Christian. Di penghujung film kegamangan Dani soal dia siapa jika harus hidup tanpa Christian dikukuhkan melalui adegan ritus seksual lelaki itu dengan Mya, salah seorang penduduk Horga. Lelaki yang menjadi last resortnya berkhianat dan dipilih Dani untuk dibakar hidup-hidup pada punya festival Midsommar. Cute.

Selain perkembangan karakter yang apik, saya jatuh cinta pada teknis pengambilan gambar di film ini. Setiap shotnya artsy, setiap kostumnya mengingatkan pada baju-baju di toko Muji, setiap anglenya layak dijadikan wallpaper hape. Bahkan mayat yang punggungnya dikuliti dan digantung di kandang ayam aja artsy faklah hahaha. Sebagai film, ia berhasil mengganggu pikiran saya hingga hari ini (nontonnya kemarin sore) dan masih menjadi bahasan antara saya dan rekanan satu geng.

Disturbingly haunting. Me likey.

 

Sampit, 12 September 2019

Semantik Perspektif dan Perkara Sudut Pandang

Dari mana sebuah simpulan didapat? Bagaimana sebuah perspektif terbentuk? Apakah ia benar benar berasal dari kesadaran diri, stimulasi berfikir atau yang sering disebut sebagai self conscious? Bagaimana dengan pihak ketiga? Vektor, perantara, lingkungan sekitar, pendapat orang lain, norma, dogma, doktrin dan sejumlah kausal lain yang mampu membentuk — bahkan mempengaruhi — sebuah sudut pandang dan simpulan?

Dari sini saya belajar mengenai perspektif itu relatif. Netralitas adalah ilusi (hal ini akan saya tulis khusus kemudian). Selain relatif, saya belajar bahwa asumsi tidaklah murni berasal dari apa yang disebut sebagai self conscious. Entry blog kali ini mengarah pada apa yang tengah saya amati belakangan di Indonesia. Negara ini masih saja berkutat pada radikalisme dan kelompok penjual agama. Terakhir kabar, Kementrian Komunikasi dan Informasi melakukan pemblokiran terhadap situs situs propagandis berbau radikalisme.

Sejak awal penciptaannya hingga di era Paleotikum manusia percaya bahwa tuhan adalah api, petir, air, bahkan pohon dan batu. Zaman berlalu, peradaban kian maju dan manusia percaya bahwa tuhan adalah matahari dan dewa dewa yang bersemayam pada gunung berapi. Dewa dewa dalam ujud menyerupai manusia dan binatang yang disucikan bermunculan, menumbangkan tuhan tuhan lama yang perlahan bisa dijelaskan, diwajarkan, dirasionalkan. Keyakinan seperti ini melebar sejak abad 1 hingga 9 dan akhirnya tuhan dikirim ke alam luar, ke dimensi entah di mana, dalam wujud berupa ada. Hal ini tertuang dalam kanon kanon agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam dan segenap turunannya). Semenjak diletakkan dalam wujud yang mustahil dibuktikan secara empiris, tuhan aman di kedalaman hati masing masing manusia.

Kemudian tibalah kita di era pra modern. Gejolak sains, penemuan penemuan ilmiah dan revolusi di bidang industri pada awal 16 menjadi titik di mana ilmu pengetahuan mengalami puncak kejayaannya. Porosnya di negara Eropa meskipun di tanah Arab mengalami perkembangan serupa (tapi revolusinya berhenti sejak ada Sultan Turki di masa Ottoman iseng mengharamkan mesin cetak)

Ledakan ilmu pengetahuan membuat agama agama Semitik yang mulai kuat saat itu mendapat guncangan cukup berat hingga menimbulkan friksi antara cendekiawan dan gereja. Tidak terhitung berapa kali Galileo Galilei disidang gereja karena membawa premis mengenai bentuk alam semesta. Tidak terhitung berapa banyak ilmuan yang dipenjara karena berhasil membuat pembuktian empiris atas dongeng dongeng kanon. Selebrasi sains tidak bisa dibendung dan meluas hingga akhirnya perspektif barat berkembang ke arah baru; Ateisme, Sekularisme, Liberalisme. Perjalanannya panjang dan mengorbankan banyak nyawa. Bagi saya manusia dan bagaimana mereka memperjuangkan ideologinya selalu menjadi hal yang menarik untuk diamati.

Membebaskan tuhan dari lingkup kanon dan berita berita usang adalah perspektif saya terhadap pandangan ini. Orang orang membebaskan tuhan dari pepatan definisi dan mematahkan ilusi tentang bagaimana sesuatu terjadi dan diciptakan. Ada juga yang membebaskan tuhan dari ritus pemujaan, ada yang membebaskannya dari ujud  dan ada yang membebaskan tuhan ke titik nol. Tiada. Alpa. Nihil.

Ini disebabkan sejak era pra modern bangsa Eropa – Amerika telah mengalami gejolak mereka sendiri. Mulai kasus Ku Klux Klan hingga perang salib dan sebagainya. Bentangan masa sejak abad 16 hingga 2011-lah, yang berkontribusi besar dalam pembentukan sudut pandang kaum maju hingga tidak lagi mempermasalahkan soal eksistensi ketuhanan lantaran mereka telah mengalaminya sejak berabad lampau.

Meski kemudian, teori relativitas yang saya gunakan mengharuskan saya untuk meletakkan kemungkinan bahwa tentu masih ada sikap radikalisme dan antisekularis di negara dengan sejarah peradaban belasan tahun itu. Dengan persentase yang sangat kecil, tentu saja.

Waktu, ternyata juga bisa menjadi variabel yang membentuk sebuah perspektif.

Saya kemudian mencoba mengkomparasi fenomena tersebut di Indonesia, negara dengan usia sejarah yang tidak sampai empat abad jika dihitung sejak masa prakolonial. Indonesia sebagai sebuah negara tentu mengalami perkembangannya sendiri. Saat negara maju sudah berdamai dengan ledakan ilmu sains dan filsafat serta bagaimana kedua hal itu mempengaruhi konsep ketuhanan, Indonesia baru memulai fase tuhan adalah dewa yang mewujud dalam benda benda duniawi-nya. Lalu agama Semitik masuk melalui pedagang Arab-Gujarat (Islam) dan kolonisasi Belanda yang mengusung triteologi Gold, Glory, Gospelnya (Kristen)

Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia baru memulai fase ledakan ilmu sains dan filsafat di era milenium, ratusan tahun tertinggal dari negara barat. 

Kenapa saya menjadikan tahun 2000 sebagai benchmark perkembangan ilmu sains dan (utamanya) filsafat? Apakah saya menampik fakta bahwa selebrasi ilmu pengetahuan membuat sejarah mencatat soal pro-kontra buku Atheis-nya Achdiat K Miharja, PKI dan tudingan anti-islamnya, hingga konsep manunggaling kawula gusti di era Syech Siti Djenar di era Wali Songo? Bukankah gejolak pencarian tuhan di ranah pribadi telah terjadi sejak dulu kala? Kalau boleh saya menyebut, sejak masa Indonesia nyaris merdeka hingga Orde Baru selesai, kita baru memulai percikan perubahan konsep ketuhanan. Hal inilah era post-modernnya kita.

Percikan yang terus meletup dan akhirnya meledak di era milenium, sekarang sekarang ini. Sejak munculnya tokok Gus Dur sebagai bapak Pluralisme hingga pengukuhan Jaringan Islam Liberal di tahun 2002, rasa rasanya sejak itulah terjadi peralihan dari pra-modern ke modern di negara ini. Tren melawan arus, gelombah mahasiswa yang melawan rezim Suharto, hingga meluasnya teori Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme di ruang publik. Kita lebih bebas dalam memilih ujud tuhan dan memutuskan untuk percaya atau tidak dengan paparan konsep dan ilmu pengetahuan yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun silam di negara barat.

Pasca tumbangnya Orba, saat ini dengan mudahnya saya menemukan kelompok anarki dalam atribut punk. Sungguh berbeda dari 40 tahun silam di mana seseorang bisa dengan mudah kehilangan nyawa hanya karena ideologi yang dimilikinya.

Maka sekarang lihatlah, Indonesia tengah menikmati masa merdekanya. Kini begitu mudah menemukan buku buku Karen Armstrong, Stephen Hawking, Carl Sagan hingga Madilog-nya Tan Malaka dan menjadi bacaan setiap orang bahkan menjadi sumber studi. Bicara soal Orba, jangankan buku buku yang mempertanyakan ideologi sosial-budaya seperti Madilog, sebuah fiksi cinta cintaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru saja dibredel. Ki Panjdi Kusmin yang cuma menulis cerpen Langit Makin Mendung saja harus dipenjara, Seno Gumira Ajidharma harus kehilangan penertbitan dan pekerjaannya di majalah Djakarta, Djakarta! hingga Widji Thukul yang harus hidup dalam pelarian seumur hidupnya hanya karena menulis puisi.

Kini, tiap individu telah bebas untuk membebaskan tuhan dari koloni kanon. Dalam perjalanannya tentu akan ada friksi dan perlawanan sebagai deviasi dari era pra-modern. Indonesia tengah mengalami prosesnya sendiri untuk melawan radikalisme dan menentang upaya memundurkan peradaban melalui jualan khilafah dan mengembalikan Islam ke khittahnya.

Mungkin, ini hanya kemungkinan dan romantisme saya terhadap negara ini, setelah satu-dua abad gejolak ini mengeliat dan terus menjadi udara yang menebar perspektif progresif, negara ini akan menemukan “kemerdekaan”nya sendiri. Setelah faktor dari sudut ketiga berupa waktu menelusup untuk kemudian membentuk simpulan bahwa apa yang tabu di masa lalu, telah sedikit terbebas di saat ini, dan akan lepas sepenuhnya di masa mendatang.

Apa yang kita lihat saat ini adalah proses. Dengan harga yang mahal sejarah negara ini akan tercatat. Puluhan teror bom bunuh diri, laskar jihad hingga pembantaian atas nama agama (ibid: Cikeusik, 2011) dan segenap upaya perlawanan keji dari yang tidak menginginkan  ledakan ilmu sains dan filsafat ini terjadi. Perlawanan tanpa basis dari kelompok yang tidak mau Indonesia menjadi tanah laknat jajahan antek kafir Yahudi – Amerika.

Namun, jika perubahan serupa udara, bisakah kita menghentikannya?

Saya menempatkan diri dalam perspektif serupa belasan tahun silam. Saat satu satunya ilmu pengetahuan yang saya dapat adalah doktrin agama dari Ayah dan sekolah. Saat majalah yang tersedia di rumah nenek hanya Sabili dan Hidayah serta buku buku radikalis berkedok pencerahan islam. Namun sekarang sudut pandang saya berbeda, semenjak membuka diri untuk berhenti membaca hal tersebut dan memulai petualangan imaji dalam Madilog dan Grand Design hingga mengantarkan saya pada simpulan ini. Simpulan bahwa saya saat ini, belasan tahun berselang, saya menganggap memang sudah saatnya hal ini terjadi. Sesedih apapun saya atas collateral damage yang disebabkan, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan.

Apakah ini inkonsistensi? Tidak tetapnya pendirian? Peragu?

Saya menyebutnya perspektif yang mengalami perubahan seiring dengan masuknya vektor dan kausal kausal dari luar. Yang berproses dan diterima sebagai ideologi baru. Karenanya ini tidak bisa disebut sebagai self-conscious. Bagi saya, tidak akan ada simpulan yang bisa diambil tanpa sumber. Tidak ada sudut pandang tanpa bercampurnya bias, pendapat dan diskusi tak berkesudahan.

Yang ada hanya ketidaktahuan, kealpaan, bukan sudut pandang.

Sampit, 11 Juli 2019

Cognitive Bias dan Pemaknaan Mimpi Buruk

Saya jarang sekali bermimpi buruk belakangan ini. Dulu ketika masih usia belasan mimpi buruk menjadi perkara harian, kebanyakan mimpi diperkosa/dikurung dalam sumur. Biasanya jika terbangun dengan keringat mengucur atau airmata mengalir, saya akan merangsek ke kamar Kakak dan melanjutkan tidur di sana karena somehow saya merasa ‘aman’. Sesekali di usia 20an ini saya masih terbangun dengan pola yang sama namun biasanya akan segera tertidur kembali karena saya mengerti dari mana datangnya mimpi buruk itu.

Bahkan hal itu tidak lagi saya maknai sebagai mimpi yang buruk karena tau diri ini menggemari Junji Ito, suka game violence, ngefans sama film film Zombie dan mengikuti serial Happy Tree Friends dan Salad Fingers di YouTube. Jika mimpi yang saya alami adalah tembak tembakan/dikejar zombie/masuk ke realm aneh saya akan terbangun dengan ngos ngosan senang lalu menggumam “THAT DREAM WAS AWESOME!” lalu tidur kembali in no time.

Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, saya menemukan mimpi buruk dengan keinginan merangsek ke kamar Kakak setelah terbangun. Karena sadar sudah 6 tahun terakhir saya hidup sendiri, maka hal pertama yang saya lakukan adalah menangis sejadinya dan menelpon kawan baik di Bengkulu yang kebetulan masih terjaga. Kami membahas soal surviving mode tubuh dan pikiran yang bahkan saat dalam mimpi sekalipun, masih alert dan saya ingat betul dalam mimpi saya bergumam “Nani this is not real, wake up, Nani wake up” hingga akhirnya tiba tiba terjaga.

Tertidur kembali setelah menolak menenggak obat tidur dan memilih minum susu hangat, pagi ini saya bangun lalu browsing singkat dan membaca beberapa lembar Psychology Book-nya DK seusai menyeduh kopi dan merokok seperti biasa. Saya kira saya sudah selesai untuk menyingkirkan kepatah-hatian yang saya alami. Saya sudah menghapus setiap jejaknya hingga tidak bersisa barang secuilpun. Wajahnyapun sudah samar di ingatan saya, suara dan hal hal yang pernah ia katakan pelan pelan saya pindah dari long memory term ke short memory term dengan coping mechanism yang saya pelajari melalui buku buku dan artikel psikologi.

Meski jarang sekali berkasih-kasihan, he’s my second boyfriend for the entire 27 years of my life, saya cukup mahfum soal bagaimana jatuh cinta dan patah hati bekerja. Melalui curhatan teman teman dan buku/video/artikel yang saya cerna. Namun rupanya ada sedikit perbedaan antara memahami dan mengalami. Ada beberapa tahun di mana saya sangat terobsesi dengan bagaimana otak bekerja hingga saya tiba di titik segala hal dapat dijelaskan secara rasional tanpa melibatkan perkara gaib sedikitpun. Titik terakhir jika sesuatu terjadi dan saya mentok tidak bisa memahami, saya kembali pada premis:

“Terima saja, kamu hanya belum mengerti apa yang terjadi”

Dan biasanya setelah sekian waktu dan diskusi saya lalui, ia akan bisa diterima dengan baik. Dirasionalkan dengan baik karena saya tau, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan saya masih sangat bodoh dan perlu banyak belajar. Mengambil jarak dan melihatnya melalui eagle eye atau sekadar menerima bahwa saya sedang terjebak dalam ilusi Panoptikon, adalah metode paling ampuh untuk melalui ‘cobaan’ hidup.

Dalam cognitive bias ada ruang bernama Not Enough Meaning dengan premis bernama We Imagine Things and People We’re Familiar With of Fond of as Better dan We Simplify Probabilities and Numbers to Make Them Easier to Think About. Dan saya harus mengakui saya memandang kepatah-hatian ini dengan bias yang terlampau banyak. Saya mengira saya sudah cukup mengenalnya dan membangun tebak tebak buah manggis soal perasaannya pada saya. Saya menyusun symptom yang berujung simpulan kurang valid/tidak masuk akal karena menggunakan pendekatan Appetite, seperti yang dijelaskan Plato dalam The Tripartite Theory of the Soul:

Appetite : this is the part of the soul where very basic cravings and desires come from. For Example, things like thirst and hunger can be found in this part of the soul. However, the appetite also features unnecessary and unlawful urges, like overeating or sexual excess.

WhatsApp Image 2019-06-07 at 10.45.31.jpeg

Bias seperti ini jika dibiarkan akan menjadi prejudis dan asumsi yang tidak main main gemanya. Saya ingat betul bagaimana seorang Nani saat berusia 15 tahun dan patah hati untuk pertama kalinya. Saya membangun imagi yang sedemikian kokoh positifnya dan vivid bahwa lelaki ini tidak meninggalkan saya namun hanya sedang sibuk saja, saya harus menunggunya. Hingga akhirnya 9 tahun berlalu dan saya mendapat jawaban bahwa ia tidak sekalipun ingin menjadi pacar saya, yang terjadi hanya perkenalan biasa.

Sembilan tahun saya menunda hidup karena ketidaktahuan dan demi apapun saya menolak menghabiskan sembilan tahun lagi untuk sekadar patah hati. Sejak 31 Mei saya mendapat distraksi menarik, karena kekaguman saya kepada orang ini tidak main main besarnya, sebuah afirmasi darinya menjadi pengalihan isu yang sangat baik. Terlalu baik malah. Setelah 31 Mei saya tidak memikirkan sedikitpun soal patah hati yang baru saja terjadi, dunia seolah berwarna jingga keemasan dengan saya sebagai Alina dan ia Sukabnya. Indah, terlalu indah seolah olah tidak ada hal lain yang lebih indah.

Sayangnya, seperti halnya distraksi apapun, ia ephemeral. Temporal. Ketika keriaan itu usai dan dopamine level di otak menurun, saya harus kembali membuka karpet dan membereskan sampah di bawahnya. Tapi kali ini tanpa bantuan alkohol, obat penenang atau curhat berlebihan. Saya harus menghadapi ini sendirian dengan ‘bekal’ pengetahuan yang rasanya cukup untuk bersepakat dengan diri sendiri bahwa:

“Ia hanyalah fluke in the system. Kesialan yang terjadi. Shit happens sometimes. Kamu dibrengsekin, disakiti dan tidak apa apa. Toh yang indah indah juga pernah terjadi, seimbang. Terima dan lepaskan”

Perasaan dua orang yang bersepakat untuk berkongsi tidak akan pernah bisa linear. Hal ini disebabkan dua individu dibesarkan, terpapar dan memiliki belief system yang berbeda. Jika dalam hal ini garis saya perkara cinta-mencintai lebih panjang sementara ia telah berhenti sejak lama, ya tidak apa apa. Namanya juga dua garis yang tidak akan pernah linear. Rasional saja tidak cukup, saya juga harus belajar untuk menerima dan merelakan.

Tes MMPI telah dibahas sedikit pada pertemuan ke-4 kemarin. Dokter bilang kurva reasoningku tinggi. Kemampuanku untuk merasionalkan setiap kejadian di masa lalu sangat baik. Diam diam aku bangga dengan itu, rasanya seperti validasi atas upaya memahami diri sendiri melalui buku buku dan diskusi selama ini. Kurva yang mengkhawatirkan hanya bad thoughts dan inipun kuamini sebab ia telah menjadi belief systemku pasca bersikap dan berpikiran positif membuatku berakhir pada pelecehan seksual, penipuan uang, dan menunggu seseorang hingga 9 tahun lamanya. Sehingga seperti yang diajarkan seorang kawan, sebelum ia melakukan operasi bedah, ia akan memikirkan kemungkinan terburuk agar siap secara mental dan menganggap keberhasilan operasinya adalah ‘reward’ dari upaya maksimalnya.

Namun saya mengerti, berpikiran positif dan berpikiran negatif memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Ada alur dengan kemungkinan mengguncang ketetapan dan kestabilan pikiran namun itu adalah resiko yang harus diambil. Hidup adalah soal memilih dan memperjuangkan pilihan itu hingga dihadapkan dengan pilihan pilihan baru dan pola yang sama kembali diulang. Sekarang saya ingin belajar bersikap netral, seperti yang kerap saya ulang ulang sebagai mantra di pagi hari:

Daripada suudzon atau husnudzon, lebih baik tidak berprasangka sama sekali.

Untuk bersikap senantiasa netral dan dalam perjalanannya, hidup mempertemukan saya dengan banyak sekali hal hal menarik yang ‘mengejutkan’ karena saya berangkat tanpa prasangka. Jika saja dulu saya berprasangka baik/buruk tentang bagaimana hubungan ini akan menuju, tidak akan saya dikejutkan dengan perasaan sangat sangat bahagia karena dicintai seseorang yang saya cintai 2 tahun lamanya. That was wonderful, menemukan diri berbahagia itu menyenangkan. Mengetahui ada seseorang yang khawatir dan memikirkan eksistensi saya rasanya membahagiakan. Itu adalah reward dari sikap menolak berprasangka.

Walaupun kejutan di akhirnya adalah patah hati, ya tidak apa apa. Hidup tetap harus berjalan dan saya harus lebih belajar lagi soal menerima dan merelakan.

 

Sampit,  07 Juni 2019