Category Archives: Books

First Person Singular; Pengulangan Yang Menjemukan

Monyet ini memang berkaitan dengan cerita, tapi ya tetap saja, cover novel yang terasa seperti halaman depan majalah satwa.

T/W: spoiler

Di tengah pandemi tepatnya 6 April 2021 Haruki Murakami merilis kumpulan cerita berjudul First Person Singular. Aku akhirnya berkesempatan membaca novel ini di bulan September awal, setelah bos kesayangan membelikan Kindle lengkap dengan uang jajan untuk membeli buku-buku bahagia.

Setelah menamatkan Dear Evan Hansen, First Person Singular menjadi buku kedua yang dibaca via Kindle. Pengalaman membaca menggunakan media elektronik seperti ini adalah sesuatu yang sama sekali asing. Sebelumnya pernah beberapa kali membaca .PDF jurnal dan artikel di laptop tapi sensasinya tentu berbeda dengan membaca untuk tujuan leisure di Kindle.

And yes, Kindle is very worth it. Teknologinya yang sangat ramah untuk mata membuat berjam-jam membaca buku menjadi tidak melelahkan. Anyway, let’s talk about Murakami’s latest book.

First Singular Person menjadi buku ke-21 Murakami yang aku baca. Dan mungkin karena aku sudah membaca semua buku beliau, aku jadi bisa melihat pola penulisan yang digunakan Murakami dan buku ini menjadi satu lagi kumpulan cerita tentang laki-laki dewasa penggemar jazz dan musik klasik yang terlibat dalam pengalaman absurd yang berkaitan dengan dimensi lain.

Terdapat delapan cerita pendek yang dirangkum menjadi novel sepanjang 248 halaman. Tidak terlalu tebal memang, kurang lebih seperti The Elephant Vanishes, kumpulan cerita pendek Murakami yang hanya 327 halaman. Untuk harga 23 dolar, well… ya udahlah ya. Namanya ngefans.

Favoritku ada di dua cerpen, With the Beatles dan Carnaval. Keduanya mengangkat cerita yang cukup segar dibanding lima lainnya yang dari dua paragraf awal sudah bisa ditebak endingnya bagaimana. Satu cerita berjudul The Yakult Swallows Poetry Collection (yang tadinya aku kira akan seheboh judul cerita Super-Frog Saves Tokyo) bahkan bukan cerita fiksi, tapi jurnal Murakami yang pernah menulis kumpulan puisi dan diterbitkan secara independen di awal-awal karirnya sebagai penulis.

Lau bayangkan lagi random liburan ke Jepang, berendam di Onsen terus ada beginian iseng ngajak lau ngobrol soal rahasia, cinta dan trauma masa lalu.

Sentral cerita di First Singular Person adalah Confessions of Shinagawa Monkey, tentang laki-laki pendiam penyendiri yang memiliki kompleksitas pikiran dan sulit dimengerti apalagi dicintai, dan suka bepergian seorang diri dalam rangka spiritual pilgrimage. Mungkin karena cerpennya singkat, tidak ditambahkan kalau sosok pria ini menyukai jazz dan musik klasik dan menyukai buku-buku sastra klasik. Ia lalu bertemu dengan monyet yang bisa berbicara, tanpa keterkejutan berarti dia dan monyet ini ngobrol soal cinta sampai menjelang pagi. Udah deh.

Iya beneran udah deh. Lima tahun kemudian tokoh utamanya ketemu perempuan yang pernah ditaksir monyet ini dan dia kemudian memutuskan untuk menyimpan rahasia itu.

Dua cerpen yang aku sebut sebagai favoritku di atas juga memiliki tokoh utama yang Murakami banget. With The Beatles adalah perjalanan napak tilas kenangan seorang laki-laki ke masa SMA-nya saat dia menjadi penggemar musik jazz di tengah-tengah booming the Beatles. Cerita kemudian berlanjut tentang bagaimana dia jatuh cinta dengan sosok perempuan misterius yang tersenyum manis sekali sambil memegang record With The Beatles. Tentu sampai akhir cerita dia tidak pernah bertemu dengan perempuan itu, alih-alih berpacaran dengan perempuan yang tidak menyukai musik sama sekali dan kemudian bunuh diri dua belas tahun kemudian.

Soal laki-laki pendiam penyendiri yang suka sibuk dengan pikirannya sendiri dan menyukai jazz setengah mati dielaborasi dengan lebih detail di Carnaval. Pusat cerita adalah seorang laki-laki beristri yang menjadi dekat dengan perempuan jelek (yes, her ugliness is actually being emphasized in the story, regarding why she’s repulsively ugly and he won’t ended up being in any relationship with her) berkat kegemaran mereka terhadap nomor musik klasik Schumann berjudul Carnaval.

Perempuan itu kemudian menghilang, tokoh utamanya kehilangan sosok yang mengerti dirinya luar dalam berkat musik Schumann, tapi ia tidak melakukan apa-apa tentang itu. Tamat.

Mungkin masalahku adalah terlalu banyak membaca Murakami, sehingga tidak lagi menemukan keriaan yang sama seperti dulu saat pertama – keempat kali membaca karya beliau, saat membaca Kafka on The Shore, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage dan Sputnik Sweetheart yang membuat terkesima dengan betapa relate-nya diri ini dengan kesepian yang dirasakan karakter di dalamnya. He’s a damn good writer, for sure, tapi masalah dari terlalu kenal adalah rasa bosan. Dan meski sudah hampir setahun tidak membaca Murakami sejak menamatkan Killing Commendatore, First Singular Person membawa kejemuan yang sama saat menjejak paragraf kedua.

Tapi apakah akan berhenti membaca karya beliau selanjutnya? Tentu saja tidak.

Denpasar, 24 September 2021

Cantik Itu Luka – Sebuah Review

SwYfxA90.jpg

Eka Kurniawan harus saya cintai untuk alasan ini:

Dia adalah pencipta karakter paling pahit yang pernah saya baca.

Holden Caufield-nya The Catcher in the Rye sampai Toru Watanabe-nya Haruki Murakami yang saya kira takaran pahitnya sudah di atas rata rata itu kalah oleh karakter karakter yang ada di dalam novel setebal 478 halaman ini. Saya dibuat menggumam “Anjrit..” berkali kali saat disuguhkan situasi yang menunjukkan betapa dingin dan tidak berperasaannya si tokoh utama.

Saya kira karakter demikian hanya dimiliki satu tokoh utama dengan tokoh tokoh lain sebagai penyeimbang. Dugaan ini seketika runtuh sebab pada halaman demi halaman yang melibatkan tokoh baru, saya selalu menemukan kekejaman dan kedinginan yang sama dengan karakter utama- Dewi Ayu-

Dimulai dari si Cantik, lalu Maman Gendeng, lalu Kamerad Kliwon, lalu Alamanda dan seterusnya. Silih berganti mereka menjelma menjadi sosok yang akan mematahkan hatimu tanpa ampun untuk kemudian tersenyum dan berlalu. Kisah percintaan laki laki paling tampan sedunia dan perempuan paling cantik sejagad raya itupun berakhir dengan Kamerad Kliwon yang menikahi Adinda, adik Alamanda. Pedih dan menyakitkan.

Kemudian cara Eka Kurniawan menyediakan ending cerita untuk si Cantik yang seolah berkata “Ga ada gunanya menunggu akhir yang bahagia, hidup ini fucked up, telan dan jalani saja”. Sebuah cara penyampaian cerita yang, sekali lagi, pedih dan menyakitkan. Seperti kebanyakan resensi atas buku ini, membaca Cantik itu Luka memang menyisakan perasaan yang gamang dan sejumlah gugatan. Namun terlepas dari itu semua, bagi saya Cantik itu Luka adalah vakansi yang menyenangkan karena rasa rasanya tidak pernah saya temukan karakter karakter sedingin, sekelam, sepahit mereka bahkan di dalam karya Seno Gumira Ajidarma.

Dewi Ayu adalah puncak performa kelihaian pak Kurniawan dalam menguntai kepahitan karakter. Di halaman halaman awal kita disuguhkan sesosok perempuan tua bekas pelacur yang melahirkan anak buruk rupa namun justru bersyukur atas itu. Lebih lebih, menginginkan agar si anak terlahir demikian. Ia lalu memutuskan untuk mati lalu hidup kembali 21 tahun kemudian. Ia begitu karena ia ingin begitu. Fak sekali kan? KAN??

Dalam novel novel yang terobsesi menyuguhkan pesan moral sebagai dagangan singkat rangkuman cerita di cover belakang, Dewi Ayu tentu akan dijabarkan sebagai perempuan baik baik, manis ramah kesayangan semua orang di masa silam yang lalu diubah oleh keadaan. Sayapun berprediksi demikian, sebab Cantik itu Luka adalah novel pop kekinian yang digemari banyak orang.

Kenyataannya? Dewi Ayu memang bersifat demikian sejak awal mula penciptaan. Gadis kecil dengan kecerdasan alami di atas rata rata yang membuatnya lebih tenang sebab mengetahui banyak hal dari orang sekitarnya. Ia memandang orang lain tidak memiliki kecerdasan yang setara dengannya sehingga mudah baginya menjadi berkuasa atas orang lain. Ia memiliki bakat pemimpin, ketenangan yang tidak main main ditambah ketabahan luar biasa yang ditempa oleh apa (ia sudah memiliki karakter ini sejak hari pertama tentara Jepang mengurungnya di penjara, sejak hari pertama ia dijadikan pelacur di rumah Mama Kalong)

Tanpa penjelasan susah payah soal mengapa si A berkarakter demikian, Eka justru menambah unsur magis novel ini. Membuat saya dan siapapun betah untuk duduk berlama lama, membaca lompatan peristiwa dengan sederet tokoh yang berkaitan satu sama lain meski dalam beberapa chapter agak jauh ia dituliskan.

Buku ini sekaligus menjadi penanda sebuah momentum. Sebulan terakhir saya menjadi bagian dari chapter menyenangkan bersama seseorang yang tidak kalah menyenangkan dari cerita yang saya susun di dalam kepala. Ia yang sedianya ada di dalam orbit saya bertahun tahun lamanya. Orbit yang kemudian berbenturan dan menjumput kebahagiaan. Banyak, berlimpah ruah.

Lalu seperti layaknya sebuah perjalanan, saya harus kembali menyusuri orbit itu. Meninggalkan momentum itu dan melayang untuk menemukan benturan benturan baru. Begitu seterusnya hingga usia gumpalan debu kosmis ini berakhir, saya rasa. Meski terdengan suram dan membosankan, namun setiap kita memang berhutang kewajiban untuk meneruskan perjalanan.

Sampit, 6 April 2016

Seperti Dewi Ayu, dingin dan kejam nampaknya memang sebuah pilihan yang menyenangkan.

The Subtle Art of Not Giving A Fuck

Mark Manson adalah orang favorit terbaru saya. Dalam skenario tea party imajiner yang saya gelar pada sore sore yang senggang beliau saya tempatkan tepat di samping Neil DeGrasse Tyson, bersisian dengan Christoper Nolan dan Murakami. Dalam skenario tersebut kami ngobrol soal alam semesta sambil minum teh dan ngemil profiteroles. Tidak, ini tidak berakhir dengan orgy what the fuck is wrong with you.

Di sela kesibukan push rank di PUBG (sudah Crown II yay), marathon How To Get Away With Murder di Netflix dan baru baru ini setengah mati bimbang haruskah menekuni Fortnite di Nintendo Switch karena faklah saya tertarik tapi gengsi hahaha, saya menemukan buku Pak Manson tengah diskon 20 persen di Periplus Juanda Surabaya. Dalam perjalanan pulang buku ini nyaris habis dan resmi tamat dua hari kemudian.

Isinya jauh dari buku buku self-help seperti yang sering saya temukan di akun Instagram Junita Liesar. Juga jauh dari tema motivasional seperti yang sering diposting orang orang sehat di media sosial. Secara sederhana The Subtle Art of Not Giving a Fuck (yang untuk kepentingan jemari akan disingkat sebagai TSANGF) ini bertutur soal: life sucks, yaudah jalani aja.

WhatsApp Image 2018-10-01 at 08.29.13

Tidak saya temukan soal “There will be a silver lining on every pain” atau “Embrace your hard time because it lead to something beautiful” atau “Jangan khawatir miskin kalau nikah dan punya anak sebelum mapan, rezeki Allah yang jamin” di buku ini. Buku ini cocok untuk seorang unique snowflake yang merasa berhak atas kemudahan kemudahan hidup karena kespesialan itu tadi. Yang merasa jalan hidupnya berat dan society telah berlaku sangat tidak adil. Bahwa sistem yang sudah berjalan ratusan tahun ini salah dan tidak fleksibel for my own needs. Bahwa tidak ada satupun ideologi yang bisa merangkul pemikiran seorang introvert ini dan nobody gets me.

No, we are not special.

Satu satunya yang membuat kita spesial kalau kata Pak Neil DeGrasse Tyson adalah kita terbuat dari unsur yang sama dengan bintang bintang di angkasa; karbon, nitrogen dan oksigen. Sisanya, seluruh peradaban dari tahun 0 hingga sekarang beserta segenap kebudayaan dan teknologi yang ada di dalamnya hanyalah a speck of dust on this universe. Pak Tyson juga bilang bahwa satu satunya alasan kita dan peradaban ini masih eksis adalah karena belas kasihan alam semesta. Coba bayangkan jika saat ini di galaksi tetangga tengah ada rangkaian ledakan bintang yang akan bersinggungan dengan galaksi kita dan membuat seluruh bumi beserta isinya meledak tanpa sisa dalam yet another big bang dan kita tidak bisa menebaknya karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita punya sekarang belum mampu melakukan observasi sejauh itu.

We’ll be erased. We will be forgotten.

Dengan premis A Counterintuitive Approach to Living a Good life Pak Manson terasa sangat berhati hati untuk berjalan tidak memberikan pesan yang salah soal “Ayo anak anak kita jadi nihilis saja karena susah payah mengejar kebahagiaan buat apa karena kita semua akan mati juga pada akhirnya~” untung Pak Doni tidak menulis buku motivasi hahaha. Hal ini ditulis secara gamblang di halaman preface soal Not Giving a Fuck tidak sama dengan being indifferent. Hanya saja kita lebih selektif dalam memilih ‘konflik’ hidup, disebutkan skala prioritas penting untuk menentukan sebanyak apa porsi emosi yang dikeluarkan untuk siapa atas hal apa.

Ini menarik sebab seusai membaca buku ini saya menjadi reflektif soal diri sendiri dan observatif terhadap orang lain. Pengelolaan emosi yang terlalu represif akan membuat seseorang triggered dengan hal hal sepele. Seperti Pak Manson, saya juga pernah mendapati orang marah marah dengan kasir Alfamart hanya karena label harga tidak sesuai. Atau meng-anjing-babi-kan orang yang mengambil spot parkir yang dikehendaki (padahal bukan reserved parking eniwei) diambil orang. Kalau kata Pak Manson, kondisi ini melelahkan karena kita stress dan beremosi berlebihan kepada hal hal yang tidak perlu.

Di Jepang ada istilah shikata ga nai (仕方がない) atau yang sering disingkat shouganai untuk merujuk soal “It can’t be helped”, yaudahlahya. Saya sering sekali menggumam kata yaudahlahya ini beberapa tahun belakangan sampai berubah menjadi shouganai sejak mengetahui hal ini saat kemarin pergi ke Jepang. Saya melihat sendiri soal betapa ‘shouganai’nya orang Jepang saat antrian toiletnya diselak turis Cina, atau saat saya jalan sambil main handphone hingga sering nyaris nabrak nabrak, mereka akan minta maaf (padahal yang salah saya) dan terus berjalan tanpa menunjukkan emosi. Kalau mau melihatnya dari perspektif berbeda ya orang orang Jepang (utamanya di kota besar seperti Tokyo dan Osaka) memang seperti zombie. Dan shouganai-nya mereka mungkin lebih ke arah “Aku sibuk sekali dan ga punya waktu untuk berurusan dengan hal hal sepele seperti memarahi turis yang kalau jalan sambil main hape”

But hey, it works either way.

Chapter chapter awal buku ini memaparkan soal permasalahan kita yang terlalu banyak giving a fuck. Pak Manson juga melakukan dekonstruksi soal kenapa kita sering merasa kita adalah an unique snowflake dan entitled to things. Di saat selebtwit dan selebgram menggempur kita soal kampanye you’re special so the world should pay attention and respect to you, Pak Manson malah mati matian meruntuhkan tower ego itu agar kita tidak merasa bahwa dunia dan masyarakat berhutang sesuatu kepada kita. Entitlement itu anak tirinya ego. Dan menjadi orang egois hanya boleh dilakukan kalau kamu anaknya Jack Ma. Kalau udah mizkin, merasa spesial dan minta diperlakukan istimewa yha udha mz u mati ajha~

WhatsApp Image 2018-10-01 at 08.29.17

Di buku ini juga dijelaskan soal kecenderungan kita untuk romanticizing pain. Di media sosial bertebaran orang orang yang tiap hari galau but never try to get help. Saya juga bertemu dengan yang berada dalam hubungan tidak sehat dan terus curhat soal itu tapi tidak pernah mengiyakan (dan melakukan) saat disuruh putus dan keluar dari hubungan itu. Kita memuja rasa sakit seolah itu memang bagian dari diri kita –lebih buruk lagi, merasa itu adalah takdir– seolah ia bagian dari tubuh yang kalau dilepas setara dengan harus kehilangan kaki kanan, ga ikhlas dan ga mampu.

Padahal rasa sakit baik psycological atau physical adalah reaksi tubuh atas reseptor neuron yang mengatakan “Hey, there’s something wrong here” dan tugas kita adalah to fix it. Seperti saat tangan keiris pisau, kita merasakan sakit lalu mencari cara untuk menyembuhkannya. Kasih obat merah, minum Paramex, lilit perban, apapun agar rasa sakitnya hilang. Begitu juga dengan rasa sakit yang muncul akibat cinta yang tidak berbalas, habis nonton drama Korea atau saat Poussey mati kegencet Sipir di Orange is the New Black (this part made me cried for 2 whole days) dan perasaan perasaan sedih sejenis. When we get sad, try to get out and be happy, get help and let yourself be helped. Terdengar sederhana tapi kita lebih suka menimpa kesedihan dengan kelaraan lain. Kesedihan, somehow, membuat kita merasa spesial. Dan kespesialan itu membuat kita merasa entitled.

The Feedback Loop from Hell-nya Pak Manson juga menarik sebab ia menyentil soal kebiasaan kita untuk overthinking dan overanalyze terhadap perkara yang sebenarnya sederhana saja. Bukan bermaksud mengecilkan nilai depresi, anxiety dan penyakit mental lainnya hanya saja kadang kita terlalu cepat menyimpulkan kesedihan kita sebagai depresi. Ditambah sulit untuk memilah mana kesedihan yang murni dan kesedihan demi konten di era sekarang ini. Tapi ya shouganai, berempati saja tanpa harus mencari motif.

Eniwei, karena entry ini sudah terasa panjang sekali, setelah seminggu membaca buku ini hingga tamat dan mengulang kembali dari kemarin, saya menemui simpulan soal hidup yang singkat ini laluilah dengan biasa saja. Prioritaskan keluarga dan teman yang baik, cut toxic people from your life (mereka beneran ada, bukan hanya mitos), tolong diri sendiri saat merasa sedih dan terjebak dalam anxiety. And life can’t be beautiful if we don’t want to see it that way.

 

Sampit, 01 Oktober 2018

A Sad Sad World of Murakami

cropped

Penyebab Nani jadi sering makan Indomie

Perkenalan pertama pada buku Haruki Murakami adalah saat saya menemukan Norwegian Wood di tumpukan best seller Periplus dalam perjalanan ke Malang, 2015 silam. Sebelumnya, saya cuma tau soal penulis Jepang yang merajai laman utama Goodreads ini melalui seorang kawan yang menyebut namanya saat saya tanya tengah membaca apa. Lantaran judulnya seperti judul lagu The Beatles, sayapun membeli dan menghabiskannya saat liburan di Malang usai.

Saya ingat perasaan mencelos seusai membacanya lantaran dengan kejam Murakami menjabarkan secara detail soal perasaan kesepian. Bagaimana dengan santainya ia menulis soal it just another morning I woke up with an empty feeling seolah kemuraman itu sebuah kewajaran dalam keseharian orang orang Jepang. Saya lalu bertemu Kafka on the Shore, melanjutkan dengan Colorless Tsukuru Tazaki and His Pilgrimage Years, Strange Library dan What I Talk About When I Talk About Running (judulnya kek kumcer Raymond Carver aww) dalam kurun sebulan kemudian.

Akhirnya di bulan April saya dengan semena mena mengklik order SEMUA buku Murakami yang Periplus Online jual tanpa terkecuali. Saya memberdayakan gerakan Mari Makan Indomie demi Beli Buku Yang disukai selama nyaris sebulan dan mempertanyakan kenapa ga belinya pas THR udah keluar hahaha. Dua bulan kemudian datanglah 17 judul buku buku Murakami langsung dari Penguin Press.

Menginjak bulan kedelapan perkenalan dengan penulis yang kalau jogging gemar bertelanjang dada dan koloran doang ini, saya baru membaca tujuh dan menyisakan sepuluh lainnya untuk dibaca hingga akhir tahun. Hasilnya: stress :))))

Tiap menginjak halaman halaman menjelang ending, saya menyiapkan diri untuk menghadapi akhir yang kentang. Murakami tidak pernah menyediakan ending yang membuat kita menghela nafas lega karena tau tokoh utama akan baik baik saja. Ada kekhawatiran yang subtil soal “Duh mati bunuh diri nih abis ini nih” terhadap unnamed character di Dance Dance Dance, Toru Okada dan Tsukuru Tazaki sampai Kafka Tamura yang baru berumur 15 tahun. Semua tokoh utama laki laki ini digambarkan telah menemukan dan menyelesaikan apa yang mereka cari atau hadapi tapi ya tetap saja saya kuatir soal jangan jangan ending ini adalah cara Murakami mengisyaratkan bahwa mereka akan bunuh diri. 

Kesuraman ini saya dapatkan paling kuat di Kafka on the Shore. Bocah 15 tahun yang harus kabur dari rumah, terlibat kasus pembunuhan, meniduri ibu dan kakak perempuannya berdasarkan ramalan bapaknya. Segalanya serba gelap dan mencekam hingga saya meragukan kewarasan pak Murakami saat menulis cerita cerita ini.

Vivid detail of gruesome events! astaga! baru membaca tujuh buku saja saya sudah beberapa kali bermimpi soal kucing yang dibelah hidup hidup di Kafka on the Shore, lelaki yang dikuliti hidup hidup dan inevitable pain of Creta Kano di buku The Wind-Up Bird Chronicle. Dan Murakami yang dengan santainya menjabarkan perkara perkara telak soal kesepian, kesendirian, rutin yang membosankan seolah itu adalah hal normal yang membuat saya sedikit banyak kagum dan mengubah perspektif saya yang selama ini menganggap hal itu besar dan seluruh dunia kudu mengerti 😀

Yang membuat Murakami menonjol adalah bagaimana kritikus sastra menyampirkan nama Kafka dalam buku bukunya. Mungkin seperti Eka Kurniawan yang disejajarkan dengan Umberto Eco bahkan Salman Rushdie. Penempatan nama nama besar yang membuat orang bertanya tanya sehebat apa sih buku yang mereka tulis. Pujian adalah kutukan, kata Wiji Thukul. Meski kedua nama di atas (Murakami dan Eka Kurniawan) adalah penulis yang sangat saya gemari dan tidak dipungkiri kehebatannya dalam menulis, saya masih memiliki trah tersendiri antara Midnight’s Child dan One Hundred Years of Solitude dan Kafka on the Shore serta Cantik itu Luka.

Surealisme di buku buku Murakami memang menakjubkan. Bagaimana ia terpikir soal portal batu yang menghubungkan dua perfektur berbeda di Jepang. Bagaimana ia memasukkan unsur telekinesis sekaligus dual-persona bahkan beberapa layer kesadaran dalam satu tokoh dan bangsatnya itu terasa masuk akal di The Wind-Up Bird Chronicle.  Hahaha. Yang menjadi ciri adalah adanya realm atau dimensi lain dari layer kesadaran yang sekarang ini. Dan semuanya dijelaskan dengan tutur yang santai (di beberapa bagian bahkan saya merasa deuh ini part kok panjang amat yaaaa namun Murakami selalu berhasil menarik pembaca dengan tempo lamban tapi charming ini) sehingga segala keabsurdan dan surealisme yang disajikan tidak menggebu gebu dan serba mengagetkan.

Dalam Dance Dance Dance yang merupakan sequel dari Wild Sheep Chase, dibuat semacam alter ego si tokoh utama tanpa nama berupa Sheep Man dan ini merupakan buku ketiga dari trilogy Pinball – Wild Sheep Chase – Dance Dance Dance. Ada total seribu limaratus lebih halaman untuk dunia magis penuh kambing dari Murakami dan sialnya saya baca sampai tuntas :)))

Saat ini saya tengah menekuni Leila S Chudori – Sembilan dari Nadira sebagai istirahat singkat dari marathon Murakami sebulan belakangan. Cape mental tapi adiktif. Dan setelah proklamasi soal “Ah apaan sih Murakami, suram begitu bukunya” dalam diskusi bersama seorang penggemar buku di bulan Januari silam, saya kudu merevisi ucapan tersebut sebab sembilan belas buku Murakami telah terpesan.

Saya jatuh cinta, seperti orang orang di luar sana, pada Murakami dan kesuraman yang ditawarkannya.

And it feels almost like a magic.

Liturgi Melankolia dan Semiotika Rajatega

Begitu mendapati buku Setelah Boombox Usai Menyalak dalam kiriman buku bulanan dua bulan silam, saya segera menjadikan buku bersampul cokelat ini sebagai next playlist dalam anggaran baca buku bulanan saya. Begitu menyelesaikan 1Q84 yang naudzubilah tebalnya itu, saya justru terlupa dengan keberadaan buku yang belinya pakai acara ngotot dulu sama mas Ilham lantaran dicetak terbatas dan PO dulu duluan ini. Hingga tiga buku kemudian barulah saya ngeuh kalau saya masih berhutang janji untuk menamatkan buku ini.

Untitled.jpg

Tiap berhasil menamatkan buku di kantor, saya merasa seolah melakukan sebuah pemberontakan melalui metode makan gaji buta :))

 

Herry Sutresna yang kemudian lebih dikenal sebagai Ucok Homicide adalah salah satu pembesar skena hiphop underground di Bandung. Eranya bangkit beriringan dengan nafas musik metal yang berembus dari wilayah rural Ujung Berung. Meski bukan penggemar hip hop secara partikular, kesukaan saya pada musik underground di era 2007-2011 sedikit banyak mengantarkan saya pada karya karya Pak Ucok, utamanya melalui Homicide.

Beberapa lagunya kerap saya jadikan anthem bagi kondisi sosial terkini. Saat FPI tengah mendesak Jaringan Islam Liberal dan kerap melakukan sweeping pada diskusi diskusi kiri, misalnya, saya akan bergumam lagu Puritan dan mengutip sepenggal-dua penggal liriknya untuk di-tweet. Atau saat agak berlebihan membaca buku buku sufistik, maka Siti Djenar Cypher Drive akan menemani kepala saya seharian. Juga pada setiap peringatan hari diculiknya Wiji Thukul, saya akan memutar Sajak Suara yang merupakan musikalisasi dari puisi beliau.

Semiotika Rajatega, Panoptikanubis, Membaca Gejala dari Gejala, Boombox Monger dan beberapa nomor lainnya telah saya hapal di luar kepala tanpa motivasi apapun kecuali memang ingin dengan mudah mengutip liriknya sewaktu waktu.

Lirik. Adalah satu satunya alasan mengapa saya mendengarkan Homicide.

Ketika Pak Ucok menggagas zine Lyssa Belum Tidur, saya adalah yang paling semangat membongkar paket kiriman kengkawan dari skena indie Bandung. Aneh, sekian tahun berlalu sejak saya demikian akrab dengan Bandung namun tidak sekalipun pernah menjejakkan kaki di kota itu meski sekian belas kota dan sekian negara lain telah dikunjungi. Lalu kebiasaan itu berkurang hingga lenyap sepenuhnya di beberapa tahun belakangan.

Maka rasanya tidak berlebihan jika kemudian buku ini menjadi ajang nostalgia yang agak melankolis untuk saya. Seolah diingatkan pada masa di mana ideologi dan kemampuan dialektika adalah hal penting, paling penting dan tiada lain yang lebih penting. Masa di mana saya lebih menggemari berdiskusi perkara langitan hingga menjelang pagi tinimbang menghabiskan malam minggu dengan berkencan. Jatuh cinta adalah perkara asing sejak dialektika menjadi komoditas penting.

Sebagian besar isi buku telah diterbitkan untuk berbagai majalah dan zine musik, nasional maupun lokal. Sebagian besar isi buku juga telah saya baca dalam blog, website dan zine yang ditulis Pak Ucok. Bercerita tentang sejarah pembentukan Homicide yang berawal dari Godzkilla hingga Morgue Vanguard sampai pada titik di mana ia menjadi orang paling dicari untuk urusan skena hiphop Bandung.

Perseteruannya dengan Tufail al Ghifari adalah satu dari sekian hal yang mengingatkan saya pada kekuatan lirik yang digunakan Pak Ucok. Hal ini tentu saja didasari oleh asupan bacaannya yang tidak main main. Sederet nama filsuf Yunani hingga sosialis abad 17 menjadi pembuka buku setebal 225 halaman ini.

Buku ini akan dan telah menjadi satu dari beberapa buku skena lokal Bandung yang saya suka (dan putuskan sebagai harta berharga). Pak Ucok telah sekali lagi memberikan kausal mengapa saya sangat suka beliau sebagai penulis..

Kedua setelah Pak Kimung, tentu saja! hihihi.

Fasis yang baik adalah fasis yang mati! – Homicide, Puritan.

Senja Merah : Kebahagiaan yang Banal

Untitled.jpg

Sampul Depan

Saya lupa kapan tepatnya atau dalam momentum berupa apa, namun saya ingat pernah menghabiskan berminggu minggu mengetik naskah Senja Merah ini. Setiap sesi menulis saya selalu memutar lagu lagu Iwan Fals, Homicide dan sesekali nomor klasik semacam Pavarotti dan skor skor olahan Yo Yo Ma. Di sela menulis, saya sibuk terlibat dalam twitwar dan diskusi kiri di forum Facebook seolah dua platform media sosial tersebut adalah satu satunya dunia yang saya punya.

Masa remaja saya (saya 18 tahun kala itu) awesome sekalilah pokoknya. Walaupun penganggur lantaran baru saja cabut dari koran, walaupun tidak mengetahui cara membayar kreditan PC yang cicilannya masih sekian bulan. Waktu itu saya hanya ingin menulis dan menulis saja.

Dengan kemampuan dan pengetahuan tentang dunia kepenulisan yang alakadarnya, banyak sekali kesalahan tata bahasa dan ejaan di dalamnya. Namun toh tetap saja dengan bangganya naskah Senja Merah yang awalnya berjudul Malam Teror ini saya pamerkan ke mana mana. Hingga satu-dua kawan membantu menghubungkan saya dengan penerbit penerbit dan sepanjang 2010 saya disibukkan dengan perasaan deg degan ketika berkomunikasi langsung dengan para editor penerbit penerbit ternama itu.

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/15055614_1331782500178735_7525894579774471026_n.jpg?oh=8624e6f7ab1a5b0046d2229575fc67ab&oe=58CB35A8

Upaya memenuhi kalimat “Tulisanmu menarik, apalagi ini ditulis oleh gadis belasan tahun, kamu cuma harus edit ulang dan kembangkan cerita tokohnya lalu kirim kembali, naskahmu akan menjadi pertimbangan teratas kami” dari Mbak Nita, editor Kurnia Esa yang waktu itu intens berkomunikasi dengan saya berujung pada kemalasan. Saya bosan melihat naskah novel ini dan mengalami kebuntuan untuk melakukan pembenahan. Ditambah dengan saya yang diterima bekerja di Jakarta dan memulai kesibukan sedemikian rupa.

Hingga tau tau, delapan tahun lewat begitu saja. Saya tidak lagi berkomunikasi dengan Mbak Nita dan keinginan untuk melakukan editing naskah ini tak kunjung muncul. Sampai akhirnya di awal 2016, out of the blue, saya ingin membukukan naskah Senja Merah, bagaimanapun caranya.

Dan begitulah, sebelas bulan selepas resolusi tahun baru itu dilontarkan, saya akhirnya mencetak indie buku ini melalui NulisBuku.com. Akhirnya, saya dapat memegang Senja Merah dalam format mirip novel beneran dan bangga tidak alang kepalang. Meski pada akhirnya mereka hanya akan berakhir di rak buku di rumah dan dibaca satu-dua kawan, saya toh akhirnya menerbitkan buku dan memenuhi satu dari beberapa resolusi tahun baru yang belum tentu kesampaian.

Berikut sinopsis untuk Senja Merah yang ditulis oleh Mbak Nita dari Kurnia Esa, 2010:

Tak ada malam yang tak mencekam. Tak ada malam yang berurai cahaya, bahkan dari api kecil sekalipun. Sunyi. Senyap. Semua membisu tanpa suara – selain derap sang Teror Malam beserta sirene mereka. Ketakutan, kecemasan, nafas seakan terhenti ketika senja meredup meninggalkan hari.
Wenggini hanyalah bocah ingusan dari desa yang selalu melewati malam teror. Hingga akhirnya, satu demi satu keluarganya diterkam Teror Malam. Lubang-lubang timah panas mengakhiri segala yang dimilikinya. Satu malam saja, Wenggini yatim piatu.
Dunia tak berhenti. Hidup Wenggini terus berlanjut. Ada apa dengan teror malam? Siapa mereka? Apa mau mereka?
“Merdeka adalah harga mutlak yang harus dimiliki negara ini. Demi merdeka, tak ada satupun nyawa terbuang percuma.” Begitu yang tertanam di benak setiap mereka yang berani saat itu.
Tapi apalah artinya jika sudah mati? Akankah kemerdekaan itu jadi lebih bermakna? Seribu satu pertanyaan berkecamuk dalam benak Wenggini. Kalau saja ada yang mau menjelaskan kenapa ayah, ibu, serta Sunaryo harus mati, Wenggini harus yakin alasannya benar. Hingga akhirnya pria itu datang di hidupnya. Pria yang mengubahnya menjadi wanita mumpuni yang mengerti apa yang harus dilakukan.
Namun teror tetap ada. Teror yang kian mencekam, tak hanya datang saat senja menghilang, tetapi ada kapanpun ia mau!
Lariii!! atau hadapi dengan dagu terangkat dan siap bersimbah darah!

Saya tidak menjual buku ini dalam format cetak karena… too much effort hahaha. Entahlah, saya sendiri ga tega jika seseorang harus membayar 50-60 ribu di luar ongkir hanya untuk membaca sesuatu yang sudah saya sebar di internet sejak sekian lama. Saya hanya ingin membuat kenang kenangan untuk diri sendiri, agar kelak sepuluh, dua puluh tahun dari sekarang saat saya mengalami hari paling buruk sedunia, saya bisa meraih buku ini dari rak berdebu dan tersenyum soal bagaimanapun juga saya pernah bermimpi dan mewujudkan mimpi itu 🙂

Gombal abis ya alasannya.

Anyway jikalau ingin membaca versi yang telah dirapikan, silakan download .Pdfnya di sini.

Sampit, 10 Nopember 2016

Nani punya buku sendiri, Yay!

A Clockwork Orange, Satir Kriminal Rasa Pulp Fiction

Di tahun 197https://i0.wp.com/i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1391825616i/8810._UY200_.jpg0an, berbarengan dengan populernya nama Andy Warhol dan orang orang yang menjadikan film The Rocky Horror Picture Show sebagai acuan hidup ideal, ada nama Stanley Kubrick yang melejit melalui film film bergenre tidak biasa. Kubrick melejit berkat film Lolita (dari buku populer milik Vladimir Nabokov) menyusul Spacetime Odyssey yang di tahun segitu efek yang digunakan untuk perjalanan luar angkasa bisa dibilang bolehlaah. Kemudian menyusul The Shining dan Dr. Strangelove yang membuat nama beliau ada di jajaran teratas sutradara paling keren sedunia.

Yang saya tidak tau, novel yang baru saja saya habiskan di akhir pekan silam ini ternyata sudah ada filmnya. Film ini disutradari oleh Kubrick dan sebagai penganut paham Apapun Yang Disutradari Kubrick Pastilah Keren dan Patut dibaca versi Bukunya, saya mendapati bahwa meskipun dibutuhkan sedikit waktu untuk beradaptasi dengan gaya bahasa yang digunakan Anthony Burgess (ada campuran bahasa slang Rusia, gaya bahasa selatan Amerika dan beberapa susunan kalimat yang terasa ganjil), buku ini layak saya rawat baik baik untuk generasi selanjutnya.

Kemunculan tokoh Alex yang menggemari violence sepintas mengingatkan saya pada film Pulp Fiction, meski film ini muncul dua dekade selanjutnya, gaya bercerita tokoh Alex DeLarge seolah mengadaptasi duo Vincent Vega dan Jules Winfield.
Untitled.jpg

Dibuka dengan sosok Alex DeLarge dan tiga temannya sedang minum di sebuah milkbar yang saya baru ngeuh kalo minuman yang dijual adalah, well, susu :))) di sana konon terdapat minuman yang mengandung formula khusus yang membuat seseorang terjustifikasi untuk melakukan kegiatan kriminal kelas berat-amoral dan tanpa batas. Whoa. Sains fiksi sekali hahaha.

Di bawah pengaruh minuman ajaib tersebut, keempatnya melakukan kegiatan kriminal mulai dari memukuli gelandangan hingga memperkosa istri orang. Hal hal seperti ini memang terasa seperti “Wah ini filmnya Kubrick banget nih”. Semula saya kira buku ini akan berhenti saat Alex masuk penjara dan perlahan bertobat dan menyesali perbuatannya. Namun melihat buku yang baru mencapai separuh, saya harus siap dengan skenario Jatuh Bangun Seorang Kriminal Tobat Kembali ke Masyarakat.

Namun ternyata justru hal hal bombastis baru dimulai dari sini. Alex kemudian ditawari untuk memperpendek masa tahanannya dengan syarat ia harus ikut eksperimen untuk merubah karakter manusia. Tidak, eksperimen ini tidak melibatkan ustadz yang bisa mengeluarkan jin kriminil dari ubun ubun seseorang. Ia berupa serangkaian tes psikologi dan ‘siksaan’ mental berupa nonstop menyaksikan tayangan kekerasan. Ditambah dengan dosis obat yang meningkatkan emosi, Alex harus berhadapan dengan mimpi buruk itu hingga akhirnya pada final tes, ia lolos dan dinyatakan aman untuk kembali ke masyarakat.

Sepintas saya teringat pada novel A Most Dangerous Method, tentang Sabina, pesakit jiwa yang kemudian menjalani tes psikologi yang dipimpin oleh Sigmund Freud dan Carl Jung melalu metoda dihadapkan dengan mimpi buruk si pesakit jiwa. Dalam A Clockwork Orange Alex adalah kriminal kelas teri yang bertobat dan telah melunturkan dorongan kekerasan yang harus ditekan sedemikian rupa terhadap tayangan kekerasan.

Eksperimen bernama Ludovico Technique oleh Dr. Brodsky ini bukan satu satunya perihal bombastis di novel A Clockwork Orange. Hal bombastis lainnya adalah Alex menjadi alat perlawanan seorang oposisi negara yang istrinya telah diperkosa Alex di awal cerita! Dengan menggunakan Alex sebagai contoh gagal dari Ludovico Technique yang digunakan negara untuk menurunkan angka kejahatan namun penuh dengan indikasi pelanggaran hak asasi manusia, F. Alexander penulis buku A Clockwork Orange di dalam novel ini ingin menunjukkan bahwa negara tidak bisa melanjutkan eksperimen tersebut sekaligus membunuh Alex yang telah memperkosa istrinya hingga meninggal.

Sampai di halaman ini saya sampe mangap mangap saking bombastisnya.

Hal bombastis lainnya adalah: Alex DeLarge baru berusia 15 tahun saat ia melakukan semua tindakan kriminal tersebut, driven by a fucking magical milkshake. Sinting.

Novel ini membuat saya ingin segera mencari filmnya dan menikmati penelaahan visual ala Kubrick yang senantiasa sukses membuat saya berdecak kagum. Dan menyisakan deretan panjang diskusi imajiner soal upaya Burgess yang mungkin sedikit berlebihan dalam menyajikan lapisan lapisan psikologis agar terlihat seperti penulis penulis 70an lainnya.

Sampit, 08 Nopember 2016

Abis ini lanjut baca Murakami lagi, tentu saja.

Menulis, dan Menulis Saja. Seratus Buku Untuk 2016 #Agustus&September

Sebelum saya kehilangan waktu untuk membaca pada kesibukan kesibukan di luar diri sendiri, saya ingin membaca dan terus membaca. Menulis dan menulis saja. Saya ingin memenuhi laman laman site ini dengan ratusan bahkan ribuan entry, yang penting atau tidak, yang sarat pemikiran atau sekadar sampahan curhat.

Sebelum saya memikirkan soal tagihan listrik air kreditan bayar sekolah dan kebutuhan rumah, saya ingin menghabiskan hari hari saya dengan rasa penasaran soal alter realitas, teori teori evolusi dan pembentukan semesta serta perputaran langit bumi beserta luar angkasa. Saya ingin merasakan urgensi untuk mengetahui nasib tokoh utama di buku buku populer yang saya baca. Saya ingin menuliskan semua yang saya rasa hingga detil terkecil dan merayakan semeriah meriahnya festival perasaan dalam kesunyian tengah malam di kamar kos saya.

Saya ingin pergi ke setiap kota di Indonesia, belajar sekurangnya 3 bahasa berbeda dan menjadi pandai dalam tawar menawar harga di pasar karena kemampuan komunikasi yang mumpuni. Saya ingin berdiskusi dan tertawa hingga pagi, saya ingin menari dan bernyanyi sekerasnya pada hujan hujan di kota asing.

Sebelum saya memutuskan untuk melibatkan orang lain selain diri saya sendiri dalam merayakan hidup ini. Sebelum saya menambah satu-dua nama dalam festival sunyi tengah malam dengan rengekan dan dengkuran mereka. Sebelum saya melonggarkan persyaratan serba-praktis dalam periode paling egois ini.

Saya berada di usia di mana saya tidak menginginkan keterlibatan orang lain kecuali satu-dua kawan yang datang sesekali untuk memastikan saya tidak melakukan hal hal tolol seperti memangkas habis rambut (lagi) misalnya. Saya menemukan refleksi paling akurat dalam buku buku Murakami dan larut dalam setiap lembar keriuhan cerita dan dibaca dalam sunyi. Saya kini memahami mengapa orang orang gemar sekali membaca buku.

Saya merapel (lagi) log bacaan saya bulan ini.

Buku yang telah dibaca bulan Agustus dan September:

  1. Wind – Haruki Murakami
  2. Pinball – Haruki Murakami
  3. After Dark – Haruki Murakami
  4. After the Quake – Haruki Murakami
  5. The Girl on the Train – Paula Hawkins
  6. The Elephant Vanishes – Haruki Murakami
  7. South of the Border, West of the Sun – Haruki Murakami
  8. 1Q84 book 1 – Haruki Murakami

Total buku yang telah dibaca hingga September 2016 : 62 dari 100 buku.

Karena mustahil rasanya melahap 38 buku dalam tiga bulan yang tersisa, maka sepertinya resolusi 100 Buku Untuk 2016 harus direlakan untuk tidak tercapai. Sisi positifnya: saya sudah membaca 62 buku! di tahun tahun sebelumnya untuk memikirkan membaca 10 buku setahun saja rasanya sulit. Padahal hidup tidak sibuk dengan waktu luang kelewat banyak.

Maka sebelum saya melibatkan diri dalam hubungan fisik non fisik dengan Homo Sapiens lain di muka bumi, sebelum kepala saya dipenuhi perkara perkara duniawi, saya ingin menghabiskan waktu yang saya punya seegois egoisnya.

Sampit, 29 September 2016

It’s the most egocentric time of my lifetime period. But aren’t we all?

1Q84 Membuat Saya Merasa Normal

Untitled.jpg

Dalam buku George Orwell yang ditulis pada tahun 1949, muncul sebuah prediksi masa depan atas seperti apa dunia di tahun 1984. Di buku ini, tuan Orwell menggambarkan totalitarian di mana bumi dikuasai oleh segelintir orang yang menyebut dirinya Big Brother. Mengingat tahun penulisannya, tuan Orwell sepertinya ingin mengingatkan sesama rekan penulis dan kaum intelektual mengenai bahaya komunisme.

Eniwei, bicara soal tema, 1Q84 mengadaptasi ide tuan Orwell tentang (sebagian) dunia yang dikuasai segelintir orang (Little People) yang sedemikian berkuasa dan mempengaruhi pengikutnya. Sakigake namanya, berada dalam realita alternatif di mana ada dua bulan  berwarna kuning dan hijau menggantung di cakrawala. Pak Murakami mungkin dapat mengendus kemungkinan buku ini akan dituding mengacu pada karya tuan Orwell, didampuklah Profesor Ebisuno untuk menjelaskan hal ini:

“George Orwell introduced the dictator Big Brother in his novel 1984, as I’m sure you know. The book was an allegorical treatment of Stalinism, of course. And ever since then, the term ‘Big Brother’ has functioned as a social icon.” – Professor Ebisune, page 338

Mungkin lantaran buku yang saya baca masih belum banyak dan temanya terbatas, penelurusan psikologis sedetil dan semenarik ini baru saya temukan di buku buku Murakami. Yang dituliskan tidak seperti cukilan dari buku buku psikologi atau menggurui seperti Paulo Coelho. Ia seperti menceritakan kembali sebuah pengalaman pribadi sehingga membuat yang membaca merasa terkoneksi dan membaca lebih lagi. Tidak heran jika kemudian banyak yang terobsesi dengan kehidupan pribadi pak Murakami dan memulai telaah sotoy soal apakah beliau mengalami depresi, lekat dengan ide bunuh diri dan seorang nihilist.

Dalam buku What I Talk About When I Talk About Running saya menangkap bahwa Murakami adalah orang paling simpel sedunia. Lihat bagaimana beliau menjabarkan latar hidupnya sampai akhirnya ia memutuskan untuk menjadi penulis. Penjelasan penjelasannya soal pertanyaan media/fans yang -tidak selengean penuh sarkasme seperti Seno Gumira- namun lebih seperti… menceritakan kembali. Tanpa penelaahan atau upaya menjadi misterius yang berlebihan.

1Q98 adalah buku Murakami paling panjang (sejauh ini) lantaran terdiri dari tiga buku terpisah. Totalnya 1318 halaman dengan satu potongan chapter yang tembus ke Newyorker Magazine berjudul Towns of Cats. Lagi lagi setelah Kafka on the Shore, Murakami ngobrol sama kucing di cerpen yang mengharukan ini hiks.

Membaca 1Q98 membawa kesenangan tersendiri bagi saya, meski sepanjang ini, tiga minggu terasa sebentar dan tau tau bukunya abis. Meski banyak yang menyebut buku ini belum bisa disebut sebagai magnum opusnya Murakami karena masih ada buku bukunya yang lain yang tidak kalah bagus, namun bagi saya yang baru membaca 14 judul Murakami, 1Q98 memenangkan kompetisi Buku Murakami yang Nani Paling Suka. Kompetisi yang tidak penting sekali hahaha.

Proporsinya pas sekali, jumlah tokoh tidak berlebihan dan permainan antara surealisme, plot twist, koneksi antar tokoh, semuanya pas. Rasanya bahagia sekali kalau bisa baca buku sebagus ini ya.

Meski sepenuhnya fiksi, soal pembunuh bayaran di sebuah dunia dengan dua bulan menggantung di cakrawala, penokohan yang dibangun Murakami sepenuhnya terasa nyata. Kita seolah mengenal baik Aomame dan Tengo di dunia nyata. Kepala saya bahkan tidak henti hentinya mengulang sosok Ayumi sebagai refleksi diri sendiri hingga berujung cengengesan dan gumaman “Hehehe, ada temennya hehe”

None of them know, Aomame thought. But I know. Ayumi had a great emptiness inside her, like a desert at the edge of the earth. You could try watering it all you wanted, but everything would be sucked down to the bottom of the world, leaving no trace of moisture. No life could take root there. Not even birds would fly over it. What had created such a wasteland inside Ayumi, only she herself knew. No, maybe not even Ayumi knew the true cause.But one of the biggest factors had to be the twisted sexual desires that the men around Ayumi had forced upon her. As if to build a fence around the fatal emptiness inside her, she had to create the sunny person that she had built, there was only an abyss of nothingness and the intense thirst that came with it. Though she tried to forget it, the nothingness

would visit her periodically – on a lonely rainy afternoon, or at dawn when she woke from a nightmare. What she need at such times was to be held by someone, anyone. – page 523

Setelahnya, saya merasa semua keanehan keanehan di muka bumi ini dapat terjelaskan dengan baik. Seharusnya saya lebih giat membaca buku sejak dulu. Meski akhirnya Ayumi ditemukan mati dalam keadaan telanjang setelah dicekik seseorang di kamar hotel, hidup memang seharusnya dijalani dengan kesederhanaan sikap dan pikiran, seperti yang telah berpuluh puluh tahun pak Murakami lakukan. Hahaha.

South of the Border, West of the Sun

Selepas maraton dinas, saya menemukan buku ini di dasar koper. Merely touched. Bertekad untuk menghabiskannya dalam kurun empat hari sebelum memulai proyek #MembacaTebal di minggu selanjutnya. Buku ini begitu menyenangkan hingga saya tidak sadar telah mencapai halaman terakhir di hari kedua. Meski jika dijabarkan secara sederhana ini adalah cerita tentang lelaki yang memiliki obsesi berlebihan terhadap cinta monyetnya kala SD hingga menimbulkan alter-reality, saya tetap percaya bahwa cinta yang sedemikian besar bisa mengubah banyak hal (kewarasan, misalnya)

Saya menyukai Hajime, tokoh pria sebagai sudut pandang pertama di buku setebal 214 halaman ini. Dia begitu menyukai Shimamoto -teman masa kecilnya- hingga menghabiskan 25 tahun (dan sepertinya terus berlangsung) untuk menghidupkan sosok perempuan yang tidak siapapun tau di mana sama siapa sekarang berbuat apa dalam detil yang luar biasa nyata dan meyakinkan.

https://i0.wp.com/cdn.wordables.com/wp-content/uploads/2015/12/HarukiQuotes9.png

I love the way Google Image Search the most alay version of Murakami’s quotes

Di akhir buku, disebutkan bahwa semua hal nyata yang menghidupkan skena kembalinya Shimamoto setelah 25 tahun perpisahan ternyata tidak pernah ada. Dan di sepanjang buku kita hanya sedang melihat proyeksi khayalan Hajime semata. Saking canggihnya kemampuan menulis pak Murakami, saya tidak menduga hal ini sama sekali. Saya kira akan ada penjelasan panjang lebar tentang apa saja yang terjadi di hidup Shimamoto seperti bagaimana ia bisa begitu kaya padahal tidak sekalipun pernah bekerja? nyet itu yang dilarung ke laut anak siapa nyet? kenapa ada om om ngasih seratus ribu yen buat brenti stalking Shimamoto dan seterusnya.

Ternyata yha, biasa, ga ada penjelasan apa apa karena semua itu khayalan semata hahahahabangsathahaha. Namun buku ini tetap menyenangkan, tidak sepahit Wind-Up Bird Chronicle atau seabsurd trilogi The Rat (Pinball – Wild Sheep Chase – Dance Dance Dance). Nyaris memiliki taste semanis Norwegian Wood namun tidak segelap itu. Soal cari mencari pengentas kesepian di masa muda dan menemukan perkara cocok di antara manusia. Laif.

Note: Dalam jeda setelah menamatkan The Elephant Vanishes kemarin, saya menghabiskan Paula Hawkins – The Girl on the Train yang filmnya akan rilis di bulan Nopember tahun ini. Membayangkan Emily Blunt sebagai Rachel Watson di buku ini rasanya mendebarkan karena she’s exactly who am I gonna pointed out as Rachel.

Things are great lately  ❤

Sampit, 16 September 2016

Menunggu Desember dengan tidak sabar!