Category Archives: Films

Midsommar dan Perkara yang Sering kita Abaikan

Tahun 2019 sudah menjejak September dan baru ini saya ‘tergerak’ untuk menulis review film. Selain karena frekuensi nonton film berkurang (biasanya setiap minggu menjadi 1-2 kali sebulan) dan memang belum menemukan film yang cukup menggelitik untuk dituliskan.

Formula film menarik untuk saya sederhana saja, jika 24 jam setelah menontonnya saya masih kepikiran berarti film itu cukup mengganggu, dan saya perlu untuk merekamnya ke dalam media tulisan agar tidak terlupakan. Sayang, soalnya.

images

Midsommar pertama saya kenali dari klip teaser singkat di Twitter, pergi ke YouTube beberapa hari setelahnya untuk trailer dan I’m sold karena iming iming disutradarai Ari Aster, yang juga menyutradarai Hereditary. Mengingat saya suka tiba tiba kepikiran kepala adik tokoh utama yang putus ketabrak tiang lampu hingga berhari hari setelah menontonnya, berangkatlah saya ke Cinemaxx Citimall Sampit untuk Midsommar.

Dan rasa penasaran itu terbayar, lunas, genap seketika. Film ini berdurasi 2 jam 27 menit namun tidak satu menitpun terasa membosankan dan tidak satu adeganpun yang sia-sia. Sebagus itu, sungguh. Saya dihibur dengan turbulence emosi Dani (Florence Pugh) yang harus kehilangan keluarganya begitu saja dan perjuangannya untuk tegar di tengah kehilangan yang terasa uwuwu sekali

*** SPOILER ALERT***

Secara plot, Midsommar sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Film serupa soal sekumpulan orang di tempat terpencil melakukan ritus aneh dan bunuh bunuhan sudah ada sejak era Stephen King meledak melalui novel (dan kemudian film) Children of the Corn. Next to next adegan juga mudah ditebak, sejak awal Pelle (Vilhelm Blomgren) mengaku berasal dari Swedia dan ikut cult runut cerita sudah bisa disimpulkan berupa:

Seseorang dari closed cult dikirim ke dunia luar untuk mencari tumbal.

Premis yang semakin kuat saat para turis (total 6 orang) yang berlibur ke Harga, desa terpencil di Swedia untuk mengikuti festival musim panas bernama Midsommar ini dipaparkan begitu saja dengan hal asing berupa dua orang yang bunuh diri secara sukarela. Mengingat kedua orang yang sudah terpapar dunia luar tidak mencegah keenam turis ini, ending cerita sudah bisa ditebak; mereka semua mati atau tidak akan bisa meninggalkan tempat itu.

Midsommar-Dani-May-Queen

mbnya cakep cakep kok mrengut aja~

Selanjutnya Midsommar adalah sembilan hari festival 90 tahunan yang dipenuhi magic mushroom, ramuan ramuan delusi, ritus aneh dan tempat tempat keramat. Pada titik tertentu, film ini mengingatkan saya pada Get Out. Yang menarik perhatian saya justru bagaimana karakter Dani berkembang dari awal hingga akhir film.

Ari Aster memainkan formula Dani sebagai perempuan yang masuk ke dalam rekrutmen untuk Midsommar secara tidak sengaja. Ia menjadi yang ganjil dalam 5 tumbal yang slotnya telah dipenuhi rekan rekan Pelle. Di sisi lain, Dani justru menjadi Ratu Kesuburan berkat memenangi lomba joget di tiang panjat pinang. Dan bagaimana film ini menggambarkan Dani yang “terbuang” dari dunia luar lalu secara sadar dan ikhlas menjadi bagian dari Horga.

Dani yatim piatu secara tiba-tiba karena adiknya yang bipolar membunuh kedua orang tua dan dirinya sendiri dengan mengisap karbondioksida. Dani kemudian tidak memiliki siapa siapa lain selain pacarnya, Christian. Di penghujung film kegamangan Dani soal dia siapa jika harus hidup tanpa Christian dikukuhkan melalui adegan ritus seksual lelaki itu dengan Mya, salah seorang penduduk Horga. Lelaki yang menjadi last resortnya berkhianat dan dipilih Dani untuk dibakar hidup-hidup pada punya festival Midsommar. Cute.

Selain perkembangan karakter yang apik, saya jatuh cinta pada teknis pengambilan gambar di film ini. Setiap shotnya artsy, setiap kostumnya mengingatkan pada baju-baju di toko Muji, setiap anglenya layak dijadikan wallpaper hape. Bahkan mayat yang punggungnya dikuliti dan digantung di kandang ayam aja artsy faklah hahaha. Sebagai film, ia berhasil mengganggu pikiran saya hingga hari ini (nontonnya kemarin sore) dan masih menjadi bahasan antara saya dan rekanan satu geng.

Disturbingly haunting. Me likey.

 

Sampit, 12 September 2019

Be Right Back and How Grieving Works

Menarik bagaimana kemajuan teknologi bergeser dari fungsinya sebagai perangkat untuk mempermudah aktivitas fisik manusia menjadi tools on emotional level. Pada era revolusi industri misalnya, teknologi digunakan untuk bagaimana memperbanyak hasil panen, menerangi seluruh kota, membangun mesin ini dan mesin itu hingga akhirnya mungkin saat semuanya settled manusia menemukan ide soal:

Bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan eksistensial melalui kemajuan teknologi di bidang komunikasi.

Saya baru ngeuh soal ini saat pertama kali nonton Her, circa 2014. Film ini kemudian saya tonton berulang ulang dalam interval sebulan-dua bulan setelahnya, one of my favorite movie sebab gosh suara mbak Scarlett di film ini sudah lebih dari cukup untuk membuat saya turned on bahkan tanpa kehadiran fisik sempurna mbaknya. Lebih dari itu, plot dan bagaimana The Moon Song selaku score film membuat saya memahami bagaimana rasanya kesepian khas kaum urban. When there’s nothing wrong and everything is fine on the surface, but you just felt.. empty.

Lonely.

Film dengan ambient serupa kemudian saya temukan di Love for Sale, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Brooklyn dan seterusnya. Namun mari bergeser ke series yang baru saja saya tonton tadi malam agar tetap relevan dengan premis awal tulisan ini : Black Mirror season 2, Be Right Back dan bagaimana perkembangan teknologi menjadi perangkat untuk memahami perasaan manusia.

Image result for black mirror be right back posterBercerita soal Ash dan Martha, pasangan baru menikah dan sedang lucu lucunya. Di suatu hari, Ash meninggal dunia karena kecelakaan. Long story short, pada durasi setengah jam kemudian saya mendapati Martha yang grieving dan dwelling atas kematian Ash dalam keadaan hamil. Latar waktu film pendek ini (FYI Black Mirror ini seperti omnibus, kumpulan film pendek tapi ga pendek pendek amat apasih Nan) adalah masa depan yang jauh sekali hingga cup kopi ada lampunya dan laptop bisa dioperasikan pakai hand gesture. 

Di masa depan yang jauh sekali itu, ada artificial intelligence yang bisa mengumpulkan data dari media sosial dan video yang diunggah untuk dipelajari pattern-nya dan ‘menghidupkan’ kembali seseorang yang sudah meninggal melalui media chatting, video-call bahkan Android. Di film ini eskalasinya dirunut dengan baik, saat Martha merasa text saja tidak cukup, AI menawarkan video call hingga puncaknya, chipset ditanamkan dalam robot Android dan diwujudkan dalam tubuh seorang Ash. Literally membangkitkan orang mati tanpa konsep mistis sama sekali hahaha.

***SPOILER ALERT***

Hingga film berakhir dengan Martha yang jadi delusional dan menerima Android Ash sebagai bagian dari hidupnya, film ini memberi tahu how grieving works dengan berbicara soal kematian yang tidak direlakan akan tinggal selamanya. Dan kata ‘tinggal selamanya’ dimaknai literal dengan Android Ash yang benar benar tinggal selamanya di loteng rumah Martha. Ada fase tarik-ulur soal merelakan-tidak merelakan ini sebenarnya, saat Martha sadar bahwa Android Ash kehilangan personal trait yang tak peduli sebanyak apapun sumber informasi yang disedot AI, ia tidak akan bisa seunik Ash sebagai manusia. Saat Martha menyuruh Android Ash untuk terjun dari tebing di hometown Ash misalnya, atau saat mbaknya tiba tiba pundung karena reaksi Android Ash tidak seperti what real Ash would do.

Saya rasa soal menerima kematian, semua orang punya caranya sendiri. Shah Jahan yang membangun Taj Mahal untuk istrinya, beberapa berita soal istri/suami/pacar yang dijadikan mummy dan diletakkan di ruang tamu, regular visit to psychologist, termasuk cara ibu Ash saat adik dan ayahnya meninggal dunia : memindahkan semua foto dan memorabilia mendiang ke attic and shut the door. Detil yang hanya disebut dalam 2 kalimat di menit awal ini muncul kembali di akhir film dengan adanya Android Ash yang dikunci di sana selama periode Martha hamil-melahirkan-hingga anaknya toddler. 

Banyak detil menarik di Be Right Back ini yang semula hanya muncul satu-dua kalimat dalam percakapan yang sepertinya biasa saja. Soal attic, jumping cliff dan pola komunikasi Ash yang lebih menyukai media sosial ketimbang berbicara soal rasa-rasa pada Martha. Dari segi teknis, sinematiknya bagus sekali, warnanya mengingatkan pada Her (well, warna warna pastel kayaknya sudah didampuk menjadi khas film alternatif sih ya) dan sinematografinya sepintas mirip Blue Jasmine. Scoringnya juga uwuwuwuw sehingga cocok buat saya yang sedang ingin rehat dari non-stop action di serial Ozárk.

Meski peradaban belum sampai pada konsep menghidupkan orang mati seperti di Be Right Back, kita sebenarnya sudah melesat jauh dari titik awal perkembangan teknologi di bidang komunikasi. Let’s assume ground break-nya saat telepon ditemukan. Kemudian milestone selanjutnya adalah saat internet diciptakan, konsep komunikasi sederhana berupa the imparting or exchanging of information or news, bergeser menjadi tempat penitipan eksistensi, wadah propaganda, bahkan pencarian pasangan seperti yang aplikasi perjodohan lakukan.

Dari yang semula sebagai “Halo, gini nih mau ngabarin aja kalau Rabu depan pasukan Jepang mau ke Pearl Harbour so be prepared ya xixixi” menjadi “Hey, walaupun kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi aku mencintaimu melebihi apapun di muka bumi ini” perubahan ini in a way indah sebenarnya. Namun ketika perkembangan teknologi membuat kita terlalu mudah untuk overcome grieving seperti di Be Right Back, rasanya kok ada yang salah aja.

Saya tidak menyebut bahwa ketika seseorang meninggal kita harus weeping and dwelling and being sad all the time, namun proses grieving ada ‘pakem’nya. Saya juga tidak bisa menaksir soal kewarasan Martha yang akhirnya menerima Android Ash karena filmnya berhenti tanpa menjelaskan soal perubahan psychological state mbaknya (walaupun sebenarnya di Bicentennial Man soal percintaan antara dua entitas berbeda ini sudah dipaparkan dan bagi saya ya indah indah saja mas Andrew dan mbak Amanda akhirnya bersama) namun ketika kematian di-tresspass dengan ‘semudah’ itu, kesedihan itu tidak akan benar benar pergi, di Be Right Back soal ‘kesedihan yang tidak benar benar pergi’ dituang dalam scene mbak Martha yang menerawang ke arah jendela meski sudah having a mind blowing sex with Android Ash.

Dan jika tujuan awal teknologi adalah mempermudah urusan kehidupan, sejauh mana ia akan turut andil untuk mempengaruhi manusia dalam berperasa?

 

Sampit, 14 Januari 2019

My favorite line from the film:

“How Deep Is Your Love Cheesy”

“Come on”

When the Train Hits You Early

Kenapa novel ini begitu populer? Padahal “cuma” bercerita soal perempuan pecandu alkohol yang tiap pagi naik kereta ke London lalu suatu hari ia terlibat kasus pembunuhan. Untuk saya, ada tiga faktor yang melatari melesatnya buku ini ke rak top seller di toko buku.

Pertama: Tokoh utama yang mengundang simpati

Jika setiap tokoh utama di buku buku yang kita baca tidak memiliki masalah yang cukup pelik untuk turut kita pikirkan, niscaya buku tersebut tidak akan menarik. “Masalah” ini yang dimainkan oleh penulis agar pembaca hooked dengan tokoh utama. Saya tentu ogah membaca sebuah buku jika tokoh utamanya berupa perempuan cantik jelita kaya raya punya kekasih ga kalah rupawan dan penuh harta lalu keduanya jalan jalan keliling dunia sambil ketawa ketawa ngabisin duit hingga halaman terakhir.

The_Girl_On_The_Train_(US_cover_2015)

Filmnya rilis Oktober tahun ini, yang main Emily Blunt.

Hawkins mendampuk Rachel Watson sebagai perempuan 32 tahun yang ditinggalkan Tom Watson suaminya untuk wanita lain, Anna Watson. Rachel adalah seorang alkoholik, dipecat dari pekerjaannya, kehabisan uang hingga harus menumpang di rumah adiknya, dan berpura pura masih bekerja di London dengan menaiki kereta api setiap pagi selama berbulan bulan. Oh, seolah hidup Rachel masih kurang blangsak, dia dinyatakan ga bisa punya anak.

Hingga sepertiga buku saya menaruh simpati sedalam dalamnya untuk Rachel, betapa bangsatnya Tom yang meninggalkannya karena meraka ga bisa punya anak, Tom yang berselingkuh dan seterusnya. Namun simpati ini berubah perlahan menajadi pertanyaan “Hooh, why won’t you get help, find AA meeting and get your shits together”, hal ini dilatari dengan adanya 3 sudut pandang yang dimainkan bergantian. Rachel, Anna dan Megan/Jess yang memberikan pembelaan mereka terhadap keburukan yang dilemparkan masing masing.

Kedua: Konflik konflik klasik khas masyarakat urban

Kecanduan alkohol karena masalah hidup yang pelik, suami selingkuh lalu menikahi selingkuhannya, rasa iri terhadap kehidupan sempurna milik tetangga, inferioritas, alienasi, depresi dan paranoia adalah potion yang membumbui novel ini. Hal hal seperti ini cukup familiar di kehidupan urban kekinian sehingga tidak berlebihan jika novel ini dipuji dengan sebutan Psychology Thriller.

Ketiga: Dramatis

Perselingkuhan, check

Mabok sampai dipecat, check

Mabok sampai lupa ingatan, check

Cat fights over a men, check

Melabrak rumah orang, check

There’s countless number of drama on the novel and we all love it, right? :)))

Ketiga formula itu dilengkapi dengan bahasa tutur yang bagus, runut kejadian yang meskipun maju mundur namun tetap mudah dipahami dan Hawkins yang pandai mengatur mood pembaca dengan adanya tiga perspektif. Buku yang menyenangkan untuk dihabiskan sambil menunggu antrian. Habis dalam dua kali duapuluh empat jam ❤

Sampit, 21 September 2016

Life’s suck. Jangan jadi kek Rachel Watson.

Carol, Definitely not A Happy Song

https://i0.wp.com/ia.media-imdb.com/images/M/MV5BMTcxNTkxMzA5OV5BMl5BanBnXkFtZTgwNTI0ODMzNzE@._V1__SX1303_SY576_.jpgMeski tidak memenangi satu Oscarpun dari sekian nominasi yang memuat judul film ini, Carol tidak mengurangi alasan saya untuk menyedot torrentnya dengan segera. Rasa rasanya ini film soal LGBT kedua yang masuk dalam Academy Awards tahun ini (setelah the Danish Girl), Mengangkat tema lesbianism driven by frustration, film berdurasi satu jam 58 menit ini terasa begitu gelap dengan latar tahun 1950an.

Mungkin yang membuat saya betah atas film ini adalah sejumlah unsur favorit saya yang ada di dalamnya. Saya selalu suka film film dengan latar Amerika 1920-1970an, musik musik jazz dan sosok seperti Carol Aird secara keseluruhan (depresi, gundah, impulsif, lemah sekaligus powerful).

Ada beberapa scene yang terasa terlalu sendu, dingin dan bikin ga nyaman di film ini. Seperti keheningan yang seketika membuat saya meremang saat sebelum Carol mencium Therese -sambil menyisir rambut- dan di dalam mobil pada perjalanan pulang selepas mereka bercinta untuk pertama kalinya di kota Waterloo. Duh.

Saya jatuh pada Cate Blanchett di film Blue Jasmine (2013), film yang membuat saya turut sesak nafas mengikuti gaya Jasmine yang senantiasa bicara sambil tersengal sengal. Ditambah Carol, saya rasa cukup bagi saya untuk menobatkan beliau sebagai Yang Jago Membawakan Karakter Perempuan Depresi.

Carol adalah petualangan seorang perempuan kelas menengah yang tengah menjalani proses perceraian dengan suami yang menelantarkan ia anaknya. Mentally neglected sebab toh Carol tetap bergelimang kekayaan. Saya sebut petualangan sebab dalam proses itu ia menjalin hubungan bersama Abby dan Therese Belivet tanpa ada penjelasan berarti mengenai orientasi seksual Carol. Petualangan yang kemudian mengancap kredibilitasnya sebagai ibu yang baik bagi custody anaknya pasca perceraian. Juga Herge (suaminya) yang menyerangnya di pengadilan dengan pemaparan atas bukti perselingkuhan sang istri dengan dua perempuan.

Rotten Tomatoes memberi skor 8.6 untuk film ini, fantastis mengingat RT cukup kejam dalam memberikan rating. Saya sendiri agak menguap di menit menit pertengahan, sebab terlalu banyak adegan yang saya rasa terlalu panjang. Sisanya, saya kudu mengacungi jempol untuk Carol Aird karena telah mampu menyampaikan kegelisahan perempuan yang mentally abused namun ragu untuk mengambil langkah berani. Keberanian yang lalu tertuang dalam petualangan seksual yang berujung pada langkah berani itu tadi. Keren.

Sampit, 7 Maret 2016

Tadinya mau review London Has Fallen. Tapi gajadi, filmnya Amerika sekali :p

Brooklyn, Sebuah Dongeng Tentang Rumah

images
Film ini diawali dengan rutinitas Eilis Lacey di Enniscorthy, kota kecil di Irlandia. Eilis menajadi pramuniaga di toko perawan tua yang menyebalkan dan hidup dalam kemiskinan bersama ibu dan kakaknya, Rosa. Kota kecil, miskin, rutin, bosan, kungkungan aturan dan masyarakat yang kaku.

“Oh, ini film soal small city girl with a hollywood dream”

Saya yang tidak melakukan riset apapun soal film ini seketika berkesimpulan demikian di menit kesepuluh. Dan nyatanya memang begitu, Eilis lantas berhenti bekerja, mengemas kopornya dan bergegas pergi ke Brooklyn, USA berkat bantuan kakaknya untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.

Sisanya adalah duapuluh lima menit kisah soal semuanya berjalan dengan baik baik saja tanpa konflik berarti. Maksud saya, Eilis ternyata tidak ditipu, ia diterima dengan sangat baik oleh induk semangnya, ia bekerja di tempat yang layak, ia masih bisa berkirim surat ke ibu dan kakaknya (settingnya di tahun 1915) dan begitulah, tidak ada klise film film imigran dengan drama berlebihan.

Dan itu justru menarik, sebab kita kemudian diajak menyelami perkara klasik soal perpindahan: homesick. Film ini akan sangat relate dengan siapapun yang pernah jauh dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Brooklyn mempertanyakan soal “Kehidupan di sini berjalan dengan baik, aku menggenapi mimpi mimpiku, aku tidak lagi ada di kota kecil yang tidak menjanjikan apa apa itu, tapi kok, begini ya” dengan menampilkan Eilis yang kian terpuruk di hari hari awalnya di Brooklyn.

Lalu, ya, Eilis jatuh cinta pada pria Italia dan begitulah. Brooklyn yang asing akhirnya menjadi rumah. Konfliknya adalah saat kakaknya meninggal dan ia dihadapkan pada pilihan soal mana rumah sesungguhnya. Ditambah dengan hadirnya pria lajang-kaya-favorit semua gadis remaja yang ingin menikahinya di kampung, menambah daftar panjang alasan galaw cewe dengan logat yang mengingatkan saya pada film film bajak laut ini.

Momentum yang akhirnya membuat Eilis memutuskan apa, di mana dan siapa ‘rumahnya’ sangat keren. Terduga sih, tapi keren. Di menit menit terakhir film saya terus menggumamkan lagu Edward Sharpe & the Magnetic Zeros berjudul Home yang chorusnya keren sekali itu lantaran ya, gitu, relate aja hahaha.

Jadi, jika kamu adalah Eilis, rumah seperti apa yang kamu cari?

Palangkaraya, 6 Maret 2016

Oh home, let me go home/ home is whenever I’m with you//

Room

https://i0.wp.com/ia.media-imdb.com/images/M/MV5BMjE4NzgzNzEwMl5BMl5BanBnXkFtZTgwMTMzMDE0NjE@._V1__SX1303_SY582_.jpgSaya ingat sewaktu SMP saya sering sekali membaca majalah gosip langganan tante di rumah nenek. Isinya, tentu saja, gosip terkini soal artis. Di halaman tengah akan ada resep masakan -bagian favorit saya- dan di halaman halaman akhir akan ada berita berita in-depth yang menyayat perasaan. Seperti pengakuan keluarga korban tabrakan pesawat, atau penyataan isteri-anak korban kecelakaan maut dan sebagainya.

Sekali waktu, saya ingat betul, saya membaca soal perempuan yang diculik ayahnya sendiri di usia belasan lalu disekap di basement hingga 23 tahun (yes, 23 freakin years) hingga melahirkan beberapa orang anak (beberapa lainnya meninggal) dan anak perempuan mengalami perlakuan serupa seperti ibunya.

Membaca itu, saya cuma membayangkan soal ruangan gelap, sempit, dan bertahun tahun tanpa berkomunikasi dengan orang lain. Dan hari hari dilewati dengan pikiran soal apakah akan diselamatkan atau berakhir dengan kondisi seperti itu.

Room, adalah sebuah film yang mewujudkan penggambaran saya soal artikel majalah gosip berusia belasan tahun itu. Walau sejujurnya, kondisi kamar 10 kali 10 yang sebelumnya merupakan gudang itu masih jauh lebih manusiawi dibanding yang ada di pikiran saya. Brie Larson (Scott Pilgrim Vs the World) sebagai Joy Newsome sangat apik mengimpersonate seorang perempuan berusia 24 tahun yang telah disekap tujuh tahun lamanya.

Tidak ada glamorisasi berupa sikap optimis dibuat buat atau penghambaan pasrah dengan airmata di sana sini. Kehidupan di dalam kamar nyaris normal kecuali kenyataan bahwa Jack, sang anak yang berusia 5 tahun harus tidur di dalam lemari setiap malam dan mendengarkan ibunya dipukuli.

Joy marah, menangis, frustasi namun menjadi ibu untuk Jack selama lima tahun di dalam ruangan sesempit itu adalah alasan kenapa film ini kalau bisa saya kasih dua ratus jempol, saya kasih dua ratus jempol deh. Jika ingin mencari cari bloopers, ada banyak pertanyaan soal kenapa dia tidak mencoba menggeser lemari dan memecahkan atap kaca dan keluar dari sana, atau kenapa tidak mencoba menjebol dinding yang rapuh tempat tikus keluar masuk, atau kenapa begini kenapa begitu.

Saya diajak nangis saat Jack yang berusia 5 tahun mulai mempertanyakan soal apa yang nyata dan apa yang tidak. Yawla kek gimana rasanya jadi emaknya yawla.

Saya sangat, sangat beryukur karena tidak ada adegan seks di film ini. Sebab meskipun film adaptasi novel Emma Donoghue ini sepenuhnya fiksi, ceritanya mirip dengan beberapa kasus penyekapan di era 80an yang akan mematahkan hati korban jika film ini menginterpretasi trauma seksual dengan segamblang itu.

Dua pertiga film ini berisi soal kehidupan setelah Joy dan Jack berhasil diselamatkan. Iya, porsi scene demi scene yang mematahkan hati itu nampaknya memang sengaja sedikit ditampilkan. Sisanya adalah bagaimana korban menjalani hidup setelah selamat dari peristiwa memilukan semacam itu -hal yang justru sering kita lupakan-

Soal bagaimana Jack perlahan membuka diri terhadap dunia nyata (saya suka sekali sama pemeran bocah ini, narasi kepolosannya dapet, ga seperti anak anak besutan teater bablas yang kalau narasi kek lagi deklamasi puisi), bagaimana ia menghadapi manusia lain selain ibu yang dikenalnya sejak usia nol sementara manusia lain yang ia kenal hanyalah Old Nick (penculik) yang melulu menjahati ibunya. Jugasoal bagaimana Joy menghadapi pascatraumanya dan sorotan media. KEREN.

Penempatan ending yang seperti itu juga indah sekali, secara simbolik keduanya berpamitan pada Room yang telah -bagaimanapun juga- menjadi taman bermain untuk Jack lima tahun lamanya. Hiks. (*)

Danish Girl of the Spotless Mind

Satu dari kegiatan favoritku sebagai pekerja urban adalah menonton film. Alasannya simpel, membaca buku jatahnya akhir pekan dan dua jam sebelum tidur menonton film bagus bisa bikin mimpi ikutan bagus. Film bagus loh ya, bukan maraton series the Walking Dead sama Game of Throne yang siaul bikin aku mimpi dikejar jombi sampe Kabupaten sebelah.

Beberapa yang menarik di pekan ini adalah 9 Songs, the Danish Girl, for Grace dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Berhubung 9 Songs didonlot buat menambah koleksi bokep dan for Grace adalah film yang …meh, maka the Danish Girl dan ESotSM jadi lebih menonjol. Selain itu, kedua film ini punya satu benang merah yang sama:

Tentang bagaimana membuang bagian dari kita yang bukan “kita”.

The Danish Girl

Isu soal LGBT yang lagi heboh belakangan mengantarkan pada film soal transgender ini. Ditambah dengan From the Director of The King’s Speech and Les Miserables di posternya membuat perkara menyedot torrent film ini adalah penting. Eddie Redmayne sekali lagi membuktikan kemampuan riset yang baiknya dalam interpretasi tokoh nyata. Setelah memerankan Stephen Hawking dalam film Theory of Everything di tahun 2014, tahun 2015 dia memerankan Lili Elbe dengan, well, meyakinkan. Dan meyakinkan adalah kunci sukses sebuah interpretasi tokoh, kurasa.

Aku dibikin ikut terenyak dan tarik-embus nafas tiap Einer menyentuh baju baju perempuan. Kemampuan untuk menyuguhkan sesuatu seperti itu dalam kurun kurang dari setahun pak Redmayne lompat peran dari Stephen Hawking ke Lili Elbe adalah kerja keras sesungguhnya.

Yang mengganggu buatku justru sikap sang istri, Gerda Wegener yang kelewat selow. Aku tau latarnya adalah Denmark dan Paris di tahun 1920 awal di mana revolusi teknologi dan  feminisme mulai diterapkan dengan baik di sana. Isu LGBTpun sudah ada (dalam satu scene seorang di jalan menyebut Einer sebagai “lesbian”) namun patut diingat bahwa Lili adalah orang pertama yang melakukan serangkaian operasi transgender.

Karakter Gerda yang terkesan “Oh elu ternyata pengen jadi cewe? Yodah gih” itu bikin gemes. Aku menunggu momentum denial, gugat, upaya buat meluruskan dan klise lainnya jika sebagai istri nemuin suaminya ternyata mau jadi perempuan. Mungkin film ini tidak bermain di klise semacam itu, mungkin aku yang kebanyakan nonton sinetron sehingga muncul espektasi demikian.

Mengangkat kisah soal LGBT ke dalam film bukan perkara mudah, banyak film film yang gagal dan jatuh pada klise hingga tanpa sengaja menghina komunitas LGBT itu sendiri. Seolah cuma ada dua cara untuk mengantarkannya; melalui komedi satir atau penelaahan serius.

Untungnya, the Danish Girl masuk ke yang kedua. Ini film serius dengan penggarapan tidak main main sehingga mampu mengantarkan pesan yang benar soal keadaan psikologis tokoh. Aku diajak merasakan keinginan untuk diakui, hasrat dan penalaran soal ‘sesuatu yang memuncak dan tidak bisa dibendung lagi’ hingga dua jam penuh. Soal trauma atas ‘penyembuhan’ dengan radiasi bahkan bisa disampaikan tanpa dialog. Touché!

Eternal Sunshine of the Spotless Mind

https://i0.wp.com/schmoesknow.com/wp-content/uploads/2014/08/poster-eternal-sunshine-of-the-spotless-mind.jpg

Ini adalah film lawas yang aku tonton di tahun 2006 kalo ga salah. Begitu buram ingatan soal film ini, aku tonton lagi dan akhirnya ngeh soal isi ceritanya. Yang membuat film ini menarik selain nama besar pemain pemainnya, ide filmnya juga menarik.

Soal bagaimana cara membuang kenangan yang bakal bikin susah move on.

Metodenya dibikin sedemikian masuk akal sampai aku lupa ini sci-fi hahaha. Sebagai film drama tentu dia menghibur, sebagai film komedi tentu bakal tertawa berkat akting Mark Ruffalo dan Kirsten Dunst yang ucuw banet. Sebagai film romantis ia juga sukses dengan buanyaknya quote yang bisa diposting di media sosial kalo lagi baper.

Jim Carey dan Kate Winslet juga menarik, karakter Clementine utamanya. Masuk ke hidup orang tanpa dinyana lalu pergi begitu saja. LALU MAIN APUS APUS KENANGAN BEGITU AJA LAGIH. Oke. Uhuk.

Paling suka justru bagaimana Stan sama Mary akhirnya barengan. Dan bagaimana kok ndilalah Elijah Wood (Patrick) bisa jadian sama Clementine padahal dia teknisi buat ngapus ngapusin kenangan orang!