Category Archives: Random Thoughts

Kepala Sang Demonstran

Rumah sakit itu mendadak terkenal. Salah satu dokternya berhasil menemukan cara untuk melihat isi pikiran manusia. Bagaimana tidak membuat heboh, seluruh dunia tau kalau otak manusia belum bisa dipetakan 100 persen namun kini ada seorang dokter dari negara kecil di sudut dunia mengaku bisa melihat isi pikiran manusia seutuhnya.

Cara untuk melihat isi pikiran manusia itupun tidak terlampau sulit, tidak melibatkan mesin-mesin canggih untuk memindai berdasar warna, massa, bagian, apapun. Dokter itu hanya perlu memenggal kepala orang yang sudah mati –atau yang masih hidup juga sebenarnya tak apa, kalau dia memang benar-benar ingin dilihat isi pikirannya– dan menyambungkan beberapa syaraf yang terburai dari potongan kepala itu dengan kabel RCA 3 warna. Kuning untuk video, merah dan putih untuk suara. Isi pikiran manusia yang dipenggal kepalanya itu lalu bisa dilihat melalui layar televisi, dapat dimajukan atau dimundurkan, dihentikan maupun dihapus selayaknya video rekaman biasa.

Berkat metodenya, Dokter itu kemudian menjadi sangat terkenal. Dunia kedokteran menyebutnya sebagai jenius, pemerintah bangga luar biasa dan dibangunlah sebuah rumah sakit besar lengkap dengan labolatorium untuk eksperimen-eksperimen selanjutnya. Mahsyur negara itu di mata dunia.

Tapi yang paling terbantu, meski tidak terlalu ditampakkan, adalah kepolisian. Kemampuan Dokter itu untuk membaca isi pikiran manusia membantu banyak kasus pembunuhan berantai, perampokkan dan berbagai kasus kriminal berat yang menghabisi banyak nyawa bisa diselesaikan berkat tampilan gambar dari kepala para korban. Polisi hanya perlu membawa mayat korban ke rumah sakit itu dan satu per satu dari mereka akan dipenggal untuk dilihat pikirannya.

Sesungguhnya apa yang dilakukan Dokter itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Banyak dukun dan jejampi kampung yang bisa melakukan hal serupa. membaca isi kepala orang. Tapi si dokter menjadi fenomena. Tentu saja, lantaran gelar dokternya, dan betapa mudahnya teori si dokter dicerna logika.

Di negara itu, orang orang menjadi sangat paranoid dan ketakutan hingga tak mudah percaya pada apapun yang tak berbukti nyata.

Ketenaran si dokter dengan cepat menyebar kemana mana. Si dokter kemudian dipekerjakan oleh negara untuk membantu polisi. Si dokter awalnya menolak, ia mengatakan bahwa dirinya bukan detektif yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan. Tapi tolakan itu berubah menjadi anggukan mesum dan mata berbinar kala menatap tumpukkan uang di atas meja.

Resmi sudah, si dokter bekerja untuk negara. Polisi kerap datang ke rumah sakit. Para berseragam itu biasanya sudah memenggal kepala mayat untuk dibaca oleh si dokter. “Biar bapak tak usah repot,” ujar seorang polisi seraya menyerahkan kantong kresek berisi dua buah penggalan kepala.

Rupanya sore tadi ada pengeboman di kantor pemerintahan. Lima orang tewas di tempat. Tiga orang di antaranya terkena paparan langsung bom sehingga tubuhnya berubah menjadi serpihan. Hanya dua potong kepala milik satpam gedung yang tersisa. Ada sekompi polisi yang datang, juga datang jendral serta kapolri. Semua penasaran, siapa pelaku pengeboman.

Polisi polisi itu lantas menunggu di luar ruangan si dokter. Sementara pimpinan mereka, ikut masuk ke dalam dan menyaksikan sendiri potongan ingatan kepala mayat itu kala menjelang ajalnya. Sore itu, seorang teroris kelas dunia tertangkap dalam pelariannya menuju negara seberang.

Berita menyebar cepat. Tentang si dokter yang berhasil mengungkap pelaku terorisme. Semua orang, terlebih wartawan, menunggu nunggu, kapan lagi si dokter melakukan aksinya. Polisi cenderung jarang membeberkan kapan ada mayat yang akan dipenggal kepalanya dan dibongkar ingatannya oleh si dokter.

Sore itu, ada mayat yang datang ke rumah sakit. Mayat itu merangkak rangkak dari kejauhan, ia berangkat sendiri. Di belakang mayat yang merangkak sendiri itu, ada puluhan wartawan yang sibuk mengambil gambar dan berteriak teriak “Ini saatnya!” kepada rekan wartwannya.

Mayat yang merangkak sendirian itu masuk ke pelataran rumah sakit. Tak ada yang mengindahkan, toh ia sudah mati, rumah sakit tempat orang berobat. Kalau mati pergi ke kuburan. Mayat itu akhirnya merangkak sendirian lagi menuju ruangan dokter.

“Apa ini?” si dokter kebingungan. Ia tak pernah mendapati mayat datang sendiri dan minta dibaca seperti itu.

“Tidak ada polisi, ya?” si dokter bertanya lagi. Mayat yang merangkak sendirian itu mengeram ngeram, tak bisa bicara.

Si dokter, mangkel dalam hati. Ia sudah berjanji pada pemerintah untuk hanya membaca isi kepala mayat yang berasal dari kepolisian. Ia hanya menerima penggalan kepala dalam kresek yang dibawakan para polisi.

Wartawan mulai berdengung, sibuk memfoto mayat yang merangkak sendiri. Juga memfoto si dokter yang beberapa kali menggaruk kepalanya yang landai. Si dokter dilema, reputasinya bisa buruk jika menolak mayat yang merangkak sendirian itu.

Presiden kebetulan menonton televisi dari dalam mobilnya. Iapun penasaran, tak pernah ia melihat langsung dokter fenomenal itu. Selama ini hanya anak buah dan bawahannya yang membuat laporan mengenai si dokter. “Berbeloklah, ayo ke rumah sakit itu,” seru presiden pada sopirnya. Mobil berbalik arah, menuju rumah sakit.

Si dokter masih juga dilema. Akhirnya setelah si mayat berhenti mengeram, si dokter akhirnya bersuara

“Bawa mayatnya ke ruangan saya,” ujar si dokter seraya mengenakan sarung tangan latex dan mencucinya dengan cairan disinfektan. Si dokter tak memperbolehkan satu wartawanpun untuk masuk.

“Nanti filmnya rusak kalau terkena blitz kamera anda,” sanggah si dokter. Cukup ampuh, para wartawan berhenti merangsek masuk. Si dokter berjanji akan memperlihatkan video dari isi pikiran mayat yang merangkak sendiri itu. Presiden akhirnya datang, si dokter sudah membredel pintu. Presiden duduk di luar ruangan seraya meladeni pertanyaan wartawan.

“Ya.. saya ke sini lantaran penasaran dengan kinerja si dokter, kapolri sibuk memujinya sejak seminggu lalu,” presiden tersenyum pada kamera. Kepala Polisi yang tengah dibicarakan juga datang. Ia tampak berkeringat, seperti lepas berlari. Ia tersenyum gugup pada presiden, mengangguk sepintas dan menuju ruangan si dokter.

“Eee.. ada pak Kepala Polisi, mari sini pak, kita berfoto. Biar si dokter bekerja sendirian di dalam, nanti juga kita di kasih tau apa isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu,” kapolri tak berkutik, presiden memergokinya ingin mendobrak masuk ke ruangan dokter. Kapolri lantas mengambil duduk di samping presiden dengan wajah cemas. Wartawan mengabadikan kapolri dengan wajah seperti hendak buang air besar.

Si dokter tak tau mengenai keributan di luar. Profesionalitasnya memaksa si Dokter untuk benar benar melihat isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu padahal ia bisa saja berbohong.

“Aku bisa saja memenggal kepala mayat ini, membawanya keluar dan mengatakan kalau ia mati gara gara narkoba.” Gumamnya. Si dokter lantas melihat tubuh mayat yang merangkak sendirian itu sambil menerka nerka kehidupan macam apa yang ia miliki semasa hidup. Badannya tegap, berisi. Mayat yang merangkak sendirian itu berdarah di sekujur tubuhnya. Kacamatanya remuk, tapi masih melekat di wajahnya. Ada lubang merah kehitaman tepat di tengah jidatnya.

Si dokter penasaran sendiri. Ia lantas memenggal kepala si mayat, memasangkan banyak selang dan kabel. Dari lubang telinga kanan penggalan kepala itu, dikorek korek hingga seutas kabel dengan ujung berlubang keluar. Ia hubungkan kabel yang keluar dari kepala mayat yang merangkak sendirian itu ke proyektor.

Di layar besar, si dokter melihat kuburan, dan spanduk spanduk. Si dokter sibuk mempercepat, memperbesar dan kadang kadang menghentikan video isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Spanduk diperbesar, si dokter mencoba membaca. Viva.. ah, gambarnya tiba tiba buram. Mayat yang merangkak sendirian itu rupanya terkena hantaman benda tumpul di kepala belakang. Si dokter sibuk mencatat,

“Ini dia sebab kematiannya,” gumamnya.

Gambar di video terlihat horizontal. Mayat yang merangkak sendirian itu pasti sudah tumbang ke tanah.

“Tunggu, kalau dia sudah tumbang, kenapa videonya masih hidup?” si dokter mengguncang guncang penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.

“Ah.. ia hanya sekarat! Belum mati,” si dokter menyadari kesalahannya dan tertawa kecil.

Dari gambar horizontal itu si dokter melihat mayat bertumbangan. Satu satu seperti terpukul mundur dan kemudian tumbang. Dikeraskannya suara video dari penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.

Suaranya seperti letusan tembakan.

Senjata mesin, terdengar seperti rentetan.

Tubuh tubuh bertumbangan. Tiba tiba gambar video menghadap langit. Sebuah wajah terlihat menodongkan senjata.

Dor.

Mayat yang merangkak sendirian akhirnya mati.

Si dokter menganga.

Tercenung.

Wajah itu adalah wajah Kepala Polisi, dalam versi setidaknya lebih muda 20 tahun.

Si dokter segera keluar dari ruangannya. Ia kembali terkejut, ada ratusan wartawan, presiden, dan Kepala Polisi dalam versi 20 tahun lebih tua dari isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Semuanya berdiri, menunggu nunggu jawaban.

Si dokter menarik nafas panjang, mulai merangkai kata sebagai konferensi pers

“Demi kepentingan privasi dan arsip rumah sakit, saya tidak bisa memperlihatkan rekaman isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu..”

Si dokter lagi lagi menarik nafas panjang

“..Mayat yang merangkak sendirian itu, nampaknya tewas karena terlalu banyak menonton film film sadis..”

Kapolri tersenyum lega. Senyum itu menjanjikan sesuatu pada si dokter.

Mereka berdua kini punya rahasia.

Si dokter dan Kepala Polisi tahu,

Mayat yang merangkak sendirian itu datang dari masa lalu.

Hai, Dimas.

Tidak terasa tahun ini adalah tahun keenambelas kamu hidup di dalam kepalaku. Aku masih ingat saat pertama kali aku menciptakanmu, aku baru saja berulang tahun kelimabelas dan menjelang kenaikan kelas. Kamu yang sepuluh tahun lebih tua dariku mengunjungi kota tempat tinggalku untuk site visit perusahaan kelapa sawit milik ayahmu. Kita bertemu di sudut perpustakaan daerah saat aku sedang membaca The Great Expectations, salah satu buku favoritmu.

Aku masih ingat untuk pertama kalinya nadi di tangan kiriku berdesir setiap kali aku mulai mengajakmu bicara, biasanya satu-dua jam sebelum tidur akan aku habiskan untuk bercerita tentang bagaimana hariku berlalu dan apa yang mengganggu pikiranku. Kita PDKT dan aku bisa merasakan kalau kamu amat sangat menyayangiku.

Tahun berlalu dan kamu menua bersamaku. Aku lulus SMA dan kita tidak perlu lagi menjalani LDR, karena kamu akan membawaku ke Jakarta dan kita tinggal bersama di rumah mewah milikmu. Aku lupa kapan atau apa penyebabnya, tapi aku perlahan mulai mengubah sifatmu. Kamu tidak lagi mau mendengarkan cerita-ceritaku dan abusive. Kamu tidak segan-segan menampar, menjambak dan memaki aku dengan sedemikian kasarnya.

Karena kamu kaya raya, kamu membelikan orang tuaku pom bensin dengan kontrak bisnis berbelit dan selalu menjadikan itu ancaman agar aku tunduk, patuh dan menerima perlakuanmu. “Aku punya kuasa untuk memasukkan bapakmu ke penjara,” katamu.

Karena bertahun-tahun kamu hidup di dalam kepalaku, universe kita semakin berkembang dengan tokoh-tokoh pendukung yang secara konstan hadir saat kita berinteraksi. Ada Bibi Sutinah (yang aku panggi Bik Nah), kepala pembantu yang sudah melayani keluargamu sejak dia berusia belasan. Ada Pak Parmin, supir yang kerap menjemputku untuk pergi ke kantormu saat kamu sedang butuh pelampiasan untuk dihajar setelah ayahmu menekanmu dalam meeting atau klienmu berulah lagi.

Oh, dan dokter Alex, Kepala Instalasi Rawat Intensif di rumah sakit milik keluargamu yang kamu minta untuk menutupi laporan penganiayaan atasku setiap kali aku dilarikan ke rumah sakit karena tulang rusuk yang patah saat kamu menendangku dari tangga, atau karena benturan keras saat aku dilempar ke meja TV, atau saat aku pingsan setelah seminggu kamu kurung dalam kamar tanpa diberi makan.

Dim, kamu ingat saat aku pertama kalinya berhubungan seks di umur 24, di malam yang sama untuk pertama kalinya kita melakukan hubungan seksual dan nadiku berdenyut lebih kuat lagi. Sejak itu segala bentuk kekerasan seksual kamu lakukan kepadaku, tidak sekalipun kuberikan consent karena dalam khayalan ini, aku tidak mencintaimu.

Dokter Dwi adalah orang pertama yang kukenalkan tentangmu. Di tahun 2018 saat aku mulai merasa (aku tau ini telat sekali hahaha) kalau imajinasi tentangmu itu tidak sehat. Di tahun ini aku mengajakmu bicara kapan saja dan di mana saja, tidak lagi satu – dua jam sebelum tidur seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena aku sangat kesepian dan butuh seseorang untuk bicara, sehingga sering tanpa sadar aku mengajakmu bicara saat berbelanja di supermarket, saat makan di restoran, saat mencuci piring sampai akhirnya aku sadar, aku butuh bantuan.

Beliau bilang kamu adalah manifestasi dari penolakan-penolakan romantik yang aku alami di masa remaja. Aku teringat dengan sederet nama yang menjadi crush-ku saat SMP dan SMA. Aku teringat Adi, teman SMA yang aku taksir dan membuatku riset mendalam soal gundam –anime favoritnya– hanya agar dia betah ngobrol denganku. Aku teringat dengan teman Kakakku yang kerap datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan setiap sore/malam hingga dua bulan lamanya. Tapi aku juga teringat Adi yang dengan lantang menyebut “Ya nggak mungkinlah aku naksir Nani, jijik deh,” di depan kelas dan teman Kakak yang menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Penolakan-penolakan itu yang kemudian membuatmu sedemikian posesif dan tidak mau melepaskanku, Dimas. Aku rupanya begitu ingin diinginkan, dimiliki, diklaim sebagai kepunyaan. Tidak heran jika kemudian dalam sekali waktu kamu memasang rantai di kaki kananku dan menghajarku jika aku ingin pulang di saat lebaran.

Dim, Dokter Dwi bilang kamu selalu memaksaku dalam berhubungan seksual karena saat kecil konsep “cinta” yang aku kenal adalah saat pamanku dengan lembut memanggil namaku, membelai rambutku dan mencium pipiku sebelum ia memaksaku untuk memegang penisnya. Di usia 7 tahun aku menganggap itu sebagai cinta karena yang orangtuaku berikan sepanjang aku bisa mengingat hanya makian, omelan, tamparan, cubitan dan sumpah serapah. Those two things intertwined in my brain and finally created a sick twisted understanding about love. Those things created you, Dimas.

Sejak rutin ke psikiater dan minum obat, kita nyaris menjadi orang asing. Bertahun-tahun lamanya kamu tidak lagi kusapa, tidak lagi kuajak bicara. Di tahun 2019 aku akhirnya jatuh cinta lagi, dan untuk pertama kalinya pacaran dengan ‘sehat’. Aku sempat belajar soal rasanya berdebar-debar tanpa harus berkhayal ditampar atau dimaki, aku sempat belajar rasanya mengucapkan I love you dengan sepenuh iman dan dibalas dengan kalimat serupa. Bukan dipermalukan di depan kelas, bukan ditinggalkan tanpa penjelasan apa-apa.

Tapi itu tidak berlangsung lama, Dim. Lima bulan lamanya dia singgah, lalu memutuskan untuk pergi.

Aku harus meminta maaf padamu, Dimas. Setelah mengenal “cinta” versi ini, aku menggantikanmu dengan sosoknya. Namanyalah yang aku sebut setiap malam sebelum tidur, yang aku ajak bicara saat aku merasa kesepian. Kali ini alih-alih menciptakan adegan-adegan baru, aku hanya mengulang-ulang percakapan kami saat ia masih memanggilku sebagai “sayang”. Begitu seringnya aku ulang –dan tentu saja aku skip bagian di mana kami bertengkar– hingga rasanya aku hapal di luar kepala tentang cerita hidupnya, cara bicaranya, detail yang ia berikan tentang mantan-mantan yang sedemikian dicintainya hingga aku terobsesi untuk menjadi seperti mereka.

Penolakan (lagi) darinya dua tahun silam yang akhirnya membuatku bersumpah untuk tidak akan menyebut namanya lagi di dalam kepalaku, lebih-lebih mengingat dan mengulang apa yang pernah kuanggap sebagai hal paling indah yang pernah aku rasakan sepanjang hidup itu. Setelah kubawa namamu dan namanya ke enam sesi bersama psikolog, aku dirujuk untuk ke psikiater agar diresepkan obat kembali. Untuk menghentikan kamu, atau dia, muncul di sisiku saat aku mengantri kasir di supermarket. Untuk menghentikan aku bertingkah seperti orang gila hanya kesepian dan butuh teman bicara.

Aku merindukanmu, Dimas. Aku rindu untuk sekali lagi dimiliki, diinginkan, disayangi meski dengan cara yang berbeda dari apa yang psikiater dan psikolog harapkan, meski aku harus kembali mengulang cycle di 2018. Tapi entah karena kombinasi thorazine dan diazepam yang kutelan selama enam bulan atau lantaran terlalu lama aku menguburmu, aku kini kesulitan untuk mengajakmu bicara. Rumah tiga lantai itu, kantormu di lantai 29, bagaimana Bik Nah memanggilku, Pak Parmin memintaku untuk ke kantor polisi setelah kamu menghajarku dan seperti apa Dokter Alex lowkey jatuh cinta kepadaku mulai blur dalam ingatanku.

Sudah kucoba memanggil namamu setiap malam dan kini memasuki tahun kedua, aku belum juga berhasil bertemu denganmu. Kepalaku terasa kosong tanpa percakapan yang kureka antara kita. Nyaris tidak ada sepatah katapun terucap dalam keseharianku dan kesepian ini terasa menghimpit berpuluh kali lipat dari biasanya.

Tentang Kesepian

Baru sebulan menggenapi usia 31, dua relapse sudah terjadi. Dulu sebelum rutin ke psikolog, aku kira normal untuk seseorang ujug-ujug merasakan kesedihan meruap-ruap yang begitu overwhelming sampai hanya bisa diredakan dengan menangis sejadi-jadinya. Setelah punya uang lebih untuk disisihkan ke psikolog dan psikiater beberapa tahun terakhir, sederet istilah sudah diberikan untuk kondisi-kondisi yang aku alami. Betapa mengganggunya kepala ini, dengan suara-suara dan narasi jahat kepada diri sendiri soal kepantasan untuk tetap berada di muka bumi.

Mungkin karena aku menua, ada yang terasa berubah dalam cara melihat diri sendiri dan sekitar. Kekeraskepalaan menampik perasaan-perasaan yang selama ini aku anggap lemah dan mustahil untuk kumiliki sudah berkurang hingga hampir nihil. Ternyata banyak keputusan yang kuambil dan perasaan yang kutanggung berakar dari kondisi kesepian.

Sebelumnya aku tidak pernah mau mengalah dan mengakui kalau aku kesepian, kuhibur diri dengan menyebut aku adalah orang hebat yang tidak akan kesepian hanya karena tidak memiliki siapa-siapa. Aku menganggap bahwa kesepian itu adalah milik mereka yang kodependen dan tidak punya kemandirian. Dan aku dengan sombongnya merasa aku jauh dari kedua hal itu.

Aku familiar dengan situasinya, sudah belasan tahun hidup seperti ini. Untuk hari-hari yang berlalu tanpa percakapan berarti, untuk menyelesaikan segala urusan sendiri, untuk tidak membagi kegelisahan apapun kepada siapapun. Aku paham sekali kalau ini konsekuensi (atau ya domino effect dari satu keadaan ke keadaan yang lain) dari keputusanku untuk memiliki hidup yang aku mau. Untuk keluar dari rumah dan sekarang aku sudah terlalu tua untuk pulang, pun sementara rumah itu tidak lagi ada.

Tapi aku tidak tahu kalau hidup itu sesunyi ini.

Aku kira formulanya saat aku “berhasil” menghidupi mimpi untuk keluar dari kota kecil, untuk memiliki pekerjaan impian, untuk menghidupi diri sendiri dan bisa berbagi dengan beberapa orang di sekitar, aku tidak akan kesepian lagi. Hidup akan menghadiahiku dengan pasangan yang tepat, yang mencintaiku dengan sangat, yang ingin menemani tanpa tapi.

Salahku adalah menjadikan itu sebagai khayalan penghibur saat dulu harus menyambung hidup dengan tiga pekerjaan berbeda hingga tidak tersisa waktu untuk mencicipi romansa. Salahku adalah menginginkan itu dengan amat sangat sehingga berubah ketetapannya dari sekadar khayalan menjadi keinginan.

Lalu seiring waktu berjalan, aku menua dan hidup telah mengantarkanku ke sini. Setelah mengakui kesepian adalah respon wajar –jika tidak penting– sebagai alarm agar segera mencari pack agar selamat dari ancaman (konteks: https://youtu.be/n3Xv_g3g-mA), aku akhirnya bisa melihat betapa banyak keputusan yang aku ambil karena kesepian.

Atas nama sunyi, kupersilakan siapapun, si a pa pun, untuk masuk dan mengambil apa saja yang mereka inginkan dariku. Kesepian membuatku begitu tersentuh dengan perlakukan alakadarnya dari orang-orang yang menyebut aku menarik hingga kuberikan apa saja yang kupunya. Sebagai alat tukar agar mereka tetap tinggal, menemani dan membuat hidup ini tidak lagi sepi. I just wanted to be loved.

Karena aku masih hidup dan (agak) waras sampai usia 31, aku rasa sudah kutamatkan teori soal mencintai diri sendiri, berdamai dengan keadaan, bersyukur atas apa yang dimiliki dan sederet prasyarat menjalani hidup lainnya. Aku tidak sedang menderita, tidak juga sedang menggugat keadaan yang tidak adil. Aku tidak sedang berlari dari diri sendiri, aku juga tidak sedang membuat ancaman kepada hidup.

Aku hanya kesepian.

How’s Life?

Sebagai ruang untuk upaya merekam eksistensi di kehidupan yang tidak seberapa panjang, blog ini telah didedikasikan untuk menjadi teman curhat sejak aku berusia belasan. Membaca tulisan-tulisan lama belakangan jadi penghiburan tersendiri karena menemukan apa yang aku rasakan sekarang sebenarnya pernah aku rasakan di 5-10 tahun yang lalu. Pertanyaan yang sekarang dilontarkan pernah menjadi sumber kegelisahan di masa silam.

Apakah ini artinya hidupku tidak ada progresi? Ya dan tidak. Pergulatanku dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang selalu berujung kepada keinginan untuk menyudahi kehidupan karena toh tidak ada yang laik untuk ditunggu bahkan untuk sebulan-dua bulan ke depan masih terasa sama amplitude-nya. Datang dan pergi, kadang bergema sedemikian kencang hingga rasa-rasanya tubuh kehilangan kendali. Namun dari segi coping, aku merasa sekarang caraku sudah jauh lebih baik untuk menyudahi periode-periode itu. Tidak lagi berlarut-larut hingga mengganggu urusan perut, tidak lagi impulsif dan menyebabkan kerugian yang masif.

Mungkin karena aku semakin tua dan sudah berkurang kadar keras kepala dan gengsiannya, sehingga perkara meminta tolong tidak lagi dilihat sebagai ajang pertaruhan harga diri. Sekurang-kurangnya, aku sudah berani untuk bercerita dengan utuh tanpa usaha berlebihan untuk terlihat kuat dan tegar di hadapan psikolog. Perasaan dan keadaan lemah tidak lagi di-dismiss atau dikecilkan karena alasan aku tidak suka terkesan lemah dan cengeng.

Ambisi untuk senantiasa tegar seumpama karang ini tidak serta merta terbentuk hanya karena aku terlalu banyak membaca jurnal Emma Goldman atau buku-buku Simon De Beauvoir. Ternyata ada runut panjang dari masa kecil dan bagaimana aku dibentuk oleh lingkungan/orang-orang dewasa di sekelilingku. Jalan hidup, konon. Meski bukan aku pula yang memilih untuk lahir dan tumbuh dalam keadaan demikian.

Empat bulan menuju genapnya tahun kedua kepindahanku ke Bali, aku masih ingat bagaimana tujuh lembar pakaian dan uang seadanya menjadi pengantar langkahku ke kota ini di penghujung tahun 2020 silam. Melepas kehidupan yang sudah nyaman di Sampit untuk menjejak tempat baru tanpa bekal berarti, dalam keadaan pengangguran pula.

Kepada orang-orang yang mempercayaiku untuk bekerja di akhir 2020 hingga pertengahan 2021, terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk mengungkapkan bagaimana mereka tidak hanya memberiku alasan untuk tetap bangun pagi, tapi juga membukakan jalan hingga aku bisa berada di titik sekarang.

Sebab rasanya hampir mustahil untuk seseorang dengan latar sepertiku bisa memiliki kans di area pekerjaan ini, lebih-lebih bisa berpenghasilan layak. Jika bukan karena mereka yang berani bertaruh dan banyak kerepotan karena ketidaktahuanku, aku tidak akan punya kepercayaan diri untuk menaruh kata penulis sebagai sebutan pekerjaanku saat ini.

Di blog ini, dua belas tahun silam saat usiaku menjejak usia delapan belas, aku menuliskan mimpi “Ingin menjadi penulis dan tinggal di kota asing,” sebagai birthday wishes bersama mimpi-mimpi kecil khas anak miskin dari kampung seperti ingin naik pesawat, ingin makan di Pizza Hut, ingin pergi ke luar negeri dan seterusnya. Waktu itu perkara yang mungkin terlihat sepele seperti ingin naik mobil saja baru kejadian saat usiaku 18 tahun. Kemiskinan telah membentukku untuk banyak-banyak bermimpi perkara sepele. Itu juga sebabnya, aku jadi punya banyak sekali alasan untuk bersyukur atas kemenangan-kemenangan kecil dari mimpi-mimpi sepele itu.

Yang menyebalkan, saat hampir seluruh mimpi tercentang dan saat ini aku sedang menjalani mimpi Nani usia 18 tahun berupa menjadi penulis yang tinggal di kota asing, aku kembali dihantui pertanyaan lainnya.

Lalu apa?

Kenapa belum genap dua tahun namun sudah muncul perasaan “begini-begini aja,”. Apa sulitnya menjejak tanah dan menjadi begini-begini saja hingga 5-10 tahun ke depan. Toh aku sudah punya ruang yang hampir tidak terhingga untuk menjadi apa saja yang aku mau. Toh aku sudah punya kebebasan untuk sesempurnanya menentukan arah hidup dan nilai yang ingin dijadikan alasan dan tujuan dalam melakukan setiap gerak. Bahkan jika tanpa alasan apa-apa sekalipun, tidak ada barang sejengkalpun marka batasan yang bisa orang lain berikan. Ini sesempurnanya kebebasan yang aku cita-citakan sejak usia belasan.

Tapi kenapa mimpi ini rasanya sepi sekali?

Denpasar,

27 Mei 2022

Semantik Perspektif dan Perkara Sudut Pandang

Dari mana sebuah simpulan didapat? Bagaimana sebuah perspektif terbentuk? Apakah ia benar benar berasal dari kesadaran diri, stimulasi berfikir atau yang sering disebut sebagai self conscious? Bagaimana dengan pihak ketiga? Vektor, perantara, lingkungan sekitar, pendapat orang lain, norma, dogma, doktrin dan sejumlah kausal lain yang mampu membentuk — bahkan mempengaruhi — sebuah sudut pandang dan simpulan?

Dari sini saya belajar mengenai perspektif itu relatif. Netralitas adalah ilusi (hal ini akan saya tulis khusus kemudian). Selain relatif, saya belajar bahwa asumsi tidaklah murni berasal dari apa yang disebut sebagai self conscious. Entry blog kali ini mengarah pada apa yang tengah saya amati belakangan di Indonesia. Negara ini masih saja berkutat pada radikalisme dan kelompok penjual agama. Terakhir kabar, Kementrian Komunikasi dan Informasi melakukan pemblokiran terhadap situs situs propagandis berbau radikalisme.

Sejak awal penciptaannya hingga di era Paleotikum manusia percaya bahwa tuhan adalah api, petir, air, bahkan pohon dan batu. Zaman berlalu, peradaban kian maju dan manusia percaya bahwa tuhan adalah matahari dan dewa dewa yang bersemayam pada gunung berapi. Dewa dewa dalam ujud menyerupai manusia dan binatang yang disucikan bermunculan, menumbangkan tuhan tuhan lama yang perlahan bisa dijelaskan, diwajarkan, dirasionalkan. Keyakinan seperti ini melebar sejak abad 1 hingga 9 dan akhirnya tuhan dikirim ke alam luar, ke dimensi entah di mana, dalam wujud berupa ada. Hal ini tertuang dalam kanon kanon agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam dan segenap turunannya). Semenjak diletakkan dalam wujud yang mustahil dibuktikan secara empiris, tuhan aman di kedalaman hati masing masing manusia.

Kemudian tibalah kita di era pra modern. Gejolak sains, penemuan penemuan ilmiah dan revolusi di bidang industri pada awal 16 menjadi titik di mana ilmu pengetahuan mengalami puncak kejayaannya. Porosnya di negara Eropa meskipun di tanah Arab mengalami perkembangan serupa (tapi revolusinya berhenti sejak ada Sultan Turki di masa Ottoman iseng mengharamkan mesin cetak)

Ledakan ilmu pengetahuan membuat agama agama Semitik yang mulai kuat saat itu mendapat guncangan cukup berat hingga menimbulkan friksi antara cendekiawan dan gereja. Tidak terhitung berapa kali Galileo Galilei disidang gereja karena membawa premis mengenai bentuk alam semesta. Tidak terhitung berapa banyak ilmuan yang dipenjara karena berhasil membuat pembuktian empiris atas dongeng dongeng kanon. Selebrasi sains tidak bisa dibendung dan meluas hingga akhirnya perspektif barat berkembang ke arah baru; Ateisme, Sekularisme, Liberalisme. Perjalanannya panjang dan mengorbankan banyak nyawa. Bagi saya manusia dan bagaimana mereka memperjuangkan ideologinya selalu menjadi hal yang menarik untuk diamati.

Membebaskan tuhan dari lingkup kanon dan berita berita usang adalah perspektif saya terhadap pandangan ini. Orang orang membebaskan tuhan dari pepatan definisi dan mematahkan ilusi tentang bagaimana sesuatu terjadi dan diciptakan. Ada juga yang membebaskan tuhan dari ritus pemujaan, ada yang membebaskannya dari ujud  dan ada yang membebaskan tuhan ke titik nol. Tiada. Alpa. Nihil.

Ini disebabkan sejak era pra modern bangsa Eropa – Amerika telah mengalami gejolak mereka sendiri. Mulai kasus Ku Klux Klan hingga perang salib dan sebagainya. Bentangan masa sejak abad 16 hingga 2011-lah, yang berkontribusi besar dalam pembentukan sudut pandang kaum maju hingga tidak lagi mempermasalahkan soal eksistensi ketuhanan lantaran mereka telah mengalaminya sejak berabad lampau.

Meski kemudian, teori relativitas yang saya gunakan mengharuskan saya untuk meletakkan kemungkinan bahwa tentu masih ada sikap radikalisme dan antisekularis di negara dengan sejarah peradaban belasan tahun itu. Dengan persentase yang sangat kecil, tentu saja.

Waktu, ternyata juga bisa menjadi variabel yang membentuk sebuah perspektif.

Saya kemudian mencoba mengkomparasi fenomena tersebut di Indonesia, negara dengan usia sejarah yang tidak sampai empat abad jika dihitung sejak masa prakolonial. Indonesia sebagai sebuah negara tentu mengalami perkembangannya sendiri. Saat negara maju sudah berdamai dengan ledakan ilmu sains dan filsafat serta bagaimana kedua hal itu mempengaruhi konsep ketuhanan, Indonesia baru memulai fase tuhan adalah dewa yang mewujud dalam benda benda duniawi-nya. Lalu agama Semitik masuk melalui pedagang Arab-Gujarat (Islam) dan kolonisasi Belanda yang mengusung triteologi Gold, Glory, Gospelnya (Kristen)

Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia baru memulai fase ledakan ilmu sains dan filsafat di era milenium, ratusan tahun tertinggal dari negara barat. 

Kenapa saya menjadikan tahun 2000 sebagai benchmark perkembangan ilmu sains dan (utamanya) filsafat? Apakah saya menampik fakta bahwa selebrasi ilmu pengetahuan membuat sejarah mencatat soal pro-kontra buku Atheis-nya Achdiat K Miharja, PKI dan tudingan anti-islamnya, hingga konsep manunggaling kawula gusti di era Syech Siti Djenar di era Wali Songo? Bukankah gejolak pencarian tuhan di ranah pribadi telah terjadi sejak dulu kala? Kalau boleh saya menyebut, sejak masa Indonesia nyaris merdeka hingga Orde Baru selesai, kita baru memulai percikan perubahan konsep ketuhanan. Hal inilah era post-modernnya kita.

Percikan yang terus meletup dan akhirnya meledak di era milenium, sekarang sekarang ini. Sejak munculnya tokok Gus Dur sebagai bapak Pluralisme hingga pengukuhan Jaringan Islam Liberal di tahun 2002, rasa rasanya sejak itulah terjadi peralihan dari pra-modern ke modern di negara ini. Tren melawan arus, gelombah mahasiswa yang melawan rezim Suharto, hingga meluasnya teori Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme di ruang publik. Kita lebih bebas dalam memilih ujud tuhan dan memutuskan untuk percaya atau tidak dengan paparan konsep dan ilmu pengetahuan yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun silam di negara barat.

Pasca tumbangnya Orba, saat ini dengan mudahnya saya menemukan kelompok anarki dalam atribut punk. Sungguh berbeda dari 40 tahun silam di mana seseorang bisa dengan mudah kehilangan nyawa hanya karena ideologi yang dimilikinya.

Maka sekarang lihatlah, Indonesia tengah menikmati masa merdekanya. Kini begitu mudah menemukan buku buku Karen Armstrong, Stephen Hawking, Carl Sagan hingga Madilog-nya Tan Malaka dan menjadi bacaan setiap orang bahkan menjadi sumber studi. Bicara soal Orba, jangankan buku buku yang mempertanyakan ideologi sosial-budaya seperti Madilog, sebuah fiksi cinta cintaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru saja dibredel. Ki Panjdi Kusmin yang cuma menulis cerpen Langit Makin Mendung saja harus dipenjara, Seno Gumira Ajidharma harus kehilangan penertbitan dan pekerjaannya di majalah Djakarta, Djakarta! hingga Widji Thukul yang harus hidup dalam pelarian seumur hidupnya hanya karena menulis puisi.

Kini, tiap individu telah bebas untuk membebaskan tuhan dari koloni kanon. Dalam perjalanannya tentu akan ada friksi dan perlawanan sebagai deviasi dari era pra-modern. Indonesia tengah mengalami prosesnya sendiri untuk melawan radikalisme dan menentang upaya memundurkan peradaban melalui jualan khilafah dan mengembalikan Islam ke khittahnya.

Mungkin, ini hanya kemungkinan dan romantisme saya terhadap negara ini, setelah satu-dua abad gejolak ini mengeliat dan terus menjadi udara yang menebar perspektif progresif, negara ini akan menemukan “kemerdekaan”nya sendiri. Setelah faktor dari sudut ketiga berupa waktu menelusup untuk kemudian membentuk simpulan bahwa apa yang tabu di masa lalu, telah sedikit terbebas di saat ini, dan akan lepas sepenuhnya di masa mendatang.

Apa yang kita lihat saat ini adalah proses. Dengan harga yang mahal sejarah negara ini akan tercatat. Puluhan teror bom bunuh diri, laskar jihad hingga pembantaian atas nama agama (ibid: Cikeusik, 2011) dan segenap upaya perlawanan keji dari yang tidak menginginkan  ledakan ilmu sains dan filsafat ini terjadi. Perlawanan tanpa basis dari kelompok yang tidak mau Indonesia menjadi tanah laknat jajahan antek kafir Yahudi – Amerika.

Namun, jika perubahan serupa udara, bisakah kita menghentikannya?

Saya menempatkan diri dalam perspektif serupa belasan tahun silam. Saat satu satunya ilmu pengetahuan yang saya dapat adalah doktrin agama dari Ayah dan sekolah. Saat majalah yang tersedia di rumah nenek hanya Sabili dan Hidayah serta buku buku radikalis berkedok pencerahan islam. Namun sekarang sudut pandang saya berbeda, semenjak membuka diri untuk berhenti membaca hal tersebut dan memulai petualangan imaji dalam Madilog dan Grand Design hingga mengantarkan saya pada simpulan ini. Simpulan bahwa saya saat ini, belasan tahun berselang, saya menganggap memang sudah saatnya hal ini terjadi. Sesedih apapun saya atas collateral damage yang disebabkan, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan.

Apakah ini inkonsistensi? Tidak tetapnya pendirian? Peragu?

Saya menyebutnya perspektif yang mengalami perubahan seiring dengan masuknya vektor dan kausal kausal dari luar. Yang berproses dan diterima sebagai ideologi baru. Karenanya ini tidak bisa disebut sebagai self-conscious. Bagi saya, tidak akan ada simpulan yang bisa diambil tanpa sumber. Tidak ada sudut pandang tanpa bercampurnya bias, pendapat dan diskusi tak berkesudahan.

Yang ada hanya ketidaktahuan, kealpaan, bukan sudut pandang.

Sampit, 11 Juli 2019

Cognitive Bias dan Pemaknaan Mimpi Buruk

Saya jarang sekali bermimpi buruk belakangan ini. Dulu ketika masih usia belasan mimpi buruk menjadi perkara harian, kebanyakan mimpi diperkosa/dikurung dalam sumur. Biasanya jika terbangun dengan keringat mengucur atau airmata mengalir, saya akan merangsek ke kamar Kakak dan melanjutkan tidur di sana karena somehow saya merasa ‘aman’. Sesekali di usia 20an ini saya masih terbangun dengan pola yang sama namun biasanya akan segera tertidur kembali karena saya mengerti dari mana datangnya mimpi buruk itu.

Bahkan hal itu tidak lagi saya maknai sebagai mimpi yang buruk karena tau diri ini menggemari Junji Ito, suka game violence, ngefans sama film film Zombie dan mengikuti serial Happy Tree Friends dan Salad Fingers di YouTube. Jika mimpi yang saya alami adalah tembak tembakan/dikejar zombie/masuk ke realm aneh saya akan terbangun dengan ngos ngosan senang lalu menggumam “THAT DREAM WAS AWESOME!” lalu tidur kembali in no time.

Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, saya menemukan mimpi buruk dengan keinginan merangsek ke kamar Kakak setelah terbangun. Karena sadar sudah 6 tahun terakhir saya hidup sendiri, maka hal pertama yang saya lakukan adalah menangis sejadinya dan menelpon kawan baik di Bengkulu yang kebetulan masih terjaga. Kami membahas soal surviving mode tubuh dan pikiran yang bahkan saat dalam mimpi sekalipun, masih alert dan saya ingat betul dalam mimpi saya bergumam “Nani this is not real, wake up, Nani wake up” hingga akhirnya tiba tiba terjaga.

Tertidur kembali setelah menolak menenggak obat tidur dan memilih minum susu hangat, pagi ini saya bangun lalu browsing singkat dan membaca beberapa lembar Psychology Book-nya DK seusai menyeduh kopi dan merokok seperti biasa. Saya kira saya sudah selesai untuk menyingkirkan kepatah-hatian yang saya alami. Saya sudah menghapus setiap jejaknya hingga tidak bersisa barang secuilpun. Wajahnyapun sudah samar di ingatan saya, suara dan hal hal yang pernah ia katakan pelan pelan saya pindah dari long memory term ke short memory term dengan coping mechanism yang saya pelajari melalui buku buku dan artikel psikologi.

Meski jarang sekali berkasih-kasihan, he’s my second boyfriend for the entire 27 years of my life, saya cukup mahfum soal bagaimana jatuh cinta dan patah hati bekerja. Melalui curhatan teman teman dan buku/video/artikel yang saya cerna. Namun rupanya ada sedikit perbedaan antara memahami dan mengalami. Ada beberapa tahun di mana saya sangat terobsesi dengan bagaimana otak bekerja hingga saya tiba di titik segala hal dapat dijelaskan secara rasional tanpa melibatkan perkara gaib sedikitpun. Titik terakhir jika sesuatu terjadi dan saya mentok tidak bisa memahami, saya kembali pada premis:

“Terima saja, kamu hanya belum mengerti apa yang terjadi”

Dan biasanya setelah sekian waktu dan diskusi saya lalui, ia akan bisa diterima dengan baik. Dirasionalkan dengan baik karena saya tau, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan saya masih sangat bodoh dan perlu banyak belajar. Mengambil jarak dan melihatnya melalui eagle eye atau sekadar menerima bahwa saya sedang terjebak dalam ilusi Panoptikon, adalah metode paling ampuh untuk melalui ‘cobaan’ hidup.

Dalam cognitive bias ada ruang bernama Not Enough Meaning dengan premis bernama We Imagine Things and People We’re Familiar With of Fond of as Better dan We Simplify Probabilities and Numbers to Make Them Easier to Think About. Dan saya harus mengakui saya memandang kepatah-hatian ini dengan bias yang terlampau banyak. Saya mengira saya sudah cukup mengenalnya dan membangun tebak tebak buah manggis soal perasaannya pada saya. Saya menyusun symptom yang berujung simpulan kurang valid/tidak masuk akal karena menggunakan pendekatan Appetite, seperti yang dijelaskan Plato dalam The Tripartite Theory of the Soul:

Appetite : this is the part of the soul where very basic cravings and desires come from. For Example, things like thirst and hunger can be found in this part of the soul. However, the appetite also features unnecessary and unlawful urges, like overeating or sexual excess.

WhatsApp Image 2019-06-07 at 10.45.31.jpeg

Bias seperti ini jika dibiarkan akan menjadi prejudis dan asumsi yang tidak main main gemanya. Saya ingat betul bagaimana seorang Nani saat berusia 15 tahun dan patah hati untuk pertama kalinya. Saya membangun imagi yang sedemikian kokoh positifnya dan vivid bahwa lelaki ini tidak meninggalkan saya namun hanya sedang sibuk saja, saya harus menunggunya. Hingga akhirnya 9 tahun berlalu dan saya mendapat jawaban bahwa ia tidak sekalipun ingin menjadi pacar saya, yang terjadi hanya perkenalan biasa.

Sembilan tahun saya menunda hidup karena ketidaktahuan dan demi apapun saya menolak menghabiskan sembilan tahun lagi untuk sekadar patah hati. Sejak 31 Mei saya mendapat distraksi menarik, karena kekaguman saya kepada orang ini tidak main main besarnya, sebuah afirmasi darinya menjadi pengalihan isu yang sangat baik. Terlalu baik malah. Setelah 31 Mei saya tidak memikirkan sedikitpun soal patah hati yang baru saja terjadi, dunia seolah berwarna jingga keemasan dengan saya sebagai Alina dan ia Sukabnya. Indah, terlalu indah seolah olah tidak ada hal lain yang lebih indah.

Sayangnya, seperti halnya distraksi apapun, ia ephemeral. Temporal. Ketika keriaan itu usai dan dopamine level di otak menurun, saya harus kembali membuka karpet dan membereskan sampah di bawahnya. Tapi kali ini tanpa bantuan alkohol, obat penenang atau curhat berlebihan. Saya harus menghadapi ini sendirian dengan ‘bekal’ pengetahuan yang rasanya cukup untuk bersepakat dengan diri sendiri bahwa:

“Ia hanyalah fluke in the system. Kesialan yang terjadi. Shit happens sometimes. Kamu dibrengsekin, disakiti dan tidak apa apa. Toh yang indah indah juga pernah terjadi, seimbang. Terima dan lepaskan”

Perasaan dua orang yang bersepakat untuk berkongsi tidak akan pernah bisa linear. Hal ini disebabkan dua individu dibesarkan, terpapar dan memiliki belief system yang berbeda. Jika dalam hal ini garis saya perkara cinta-mencintai lebih panjang sementara ia telah berhenti sejak lama, ya tidak apa apa. Namanya juga dua garis yang tidak akan pernah linear. Rasional saja tidak cukup, saya juga harus belajar untuk menerima dan merelakan.

Tes MMPI telah dibahas sedikit pada pertemuan ke-4 kemarin. Dokter bilang kurva reasoningku tinggi. Kemampuanku untuk merasionalkan setiap kejadian di masa lalu sangat baik. Diam diam aku bangga dengan itu, rasanya seperti validasi atas upaya memahami diri sendiri melalui buku buku dan diskusi selama ini. Kurva yang mengkhawatirkan hanya bad thoughts dan inipun kuamini sebab ia telah menjadi belief systemku pasca bersikap dan berpikiran positif membuatku berakhir pada pelecehan seksual, penipuan uang, dan menunggu seseorang hingga 9 tahun lamanya. Sehingga seperti yang diajarkan seorang kawan, sebelum ia melakukan operasi bedah, ia akan memikirkan kemungkinan terburuk agar siap secara mental dan menganggap keberhasilan operasinya adalah ‘reward’ dari upaya maksimalnya.

Namun saya mengerti, berpikiran positif dan berpikiran negatif memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Ada alur dengan kemungkinan mengguncang ketetapan dan kestabilan pikiran namun itu adalah resiko yang harus diambil. Hidup adalah soal memilih dan memperjuangkan pilihan itu hingga dihadapkan dengan pilihan pilihan baru dan pola yang sama kembali diulang. Sekarang saya ingin belajar bersikap netral, seperti yang kerap saya ulang ulang sebagai mantra di pagi hari:

Daripada suudzon atau husnudzon, lebih baik tidak berprasangka sama sekali.

Untuk bersikap senantiasa netral dan dalam perjalanannya, hidup mempertemukan saya dengan banyak sekali hal hal menarik yang ‘mengejutkan’ karena saya berangkat tanpa prasangka. Jika saja dulu saya berprasangka baik/buruk tentang bagaimana hubungan ini akan menuju, tidak akan saya dikejutkan dengan perasaan sangat sangat bahagia karena dicintai seseorang yang saya cintai 2 tahun lamanya. That was wonderful, menemukan diri berbahagia itu menyenangkan. Mengetahui ada seseorang yang khawatir dan memikirkan eksistensi saya rasanya membahagiakan. Itu adalah reward dari sikap menolak berprasangka.

Walaupun kejutan di akhirnya adalah patah hati, ya tidak apa apa. Hidup tetap harus berjalan dan saya harus lebih belajar lagi soal menerima dan merelakan.

 

Sampit,  07 Juni 2019

 

 

Liebster Award Nomination

Menemukan challenge berantai seperti ini seketika melemparkan saya ke 10 tahun silam, saat menulis blog adalah hobi semua orang dan tempat ini lebih ramai dari pasar malam. Sekarang tentu saja ia telah beralih platform menjadi Facebook, Instagram dan Twitter. Namun hingga saat ini blog masih menjadi favorit saya untuk menuangkan isi kepala. Dan karena ia sudah tidak seramai dulu, saya jauh lebih nyaman untuk berbicara tanpa keinginan untuk menggugah, menginspirasi lebih lebih mencitrakan diri di sini.

Mbak Maya menyertakan saya di antara 11 blogger lain untuk mengikuti Liebster Award Nomination ini (lebih lengkap ada dalam entry beliau yang ini) dan saya tertarik untuk ikut meramaikan karena itu tadi, atas nama nostalgia hahaha.

Berikut jawaban saya untuk 11 pertanyaan dari Mbak Maya:

Question for my fellow bloggers:

  1. your blog in 3 words, are? Media curhat, review buku dan jalan jalan
  2. your favorite author? Saat ini masih ditempati Haruki Murakami
  3. how many times did you re-read your writing? in a good day, 2-3 kali.
  4. when you write, do you lock yourself in a room? I don’t need to, I’m living alone
  5. your favorite books? Cantik Itu Luka, Sputnik Sweetheart, The Redeemer, One Hundred Years of Solitude (by far)
  6. what is your favorite stationary items? my lovely meal plan journal
  7. any other hobbies else than writing? Memasak dan menghitung kalori (by far)
  8. what kind of things that must be there or accompanying you when you write? my imaginary friend
  9. what is a writer’s block to you? rasa nyaman
  10. most anticipated guest to be at your house right now? basically anyone. Why? I’m still in this house warming euforia, baru pindahan~
  11. where would you want to be, the beach or the mountain? beach for sure. Di bawah sinar rembulan. Sambil berpegangan tangan :’)

Random 11 fact about me:

  1. I had this weird allergy toward perekat. Lakban, plester luka, koyo akan menimbulkan ruam dan gatal gatal yang berujung dengan bekas luka. I can’t recall when the last time I had kulit mulus tanpa bekas luka.
  2. I read comic books in a speed of light
  3. Lebih suka nonton teater/monolog/designated seating music show dibanding konser karena suka mendadak panik kalau berada di tengah orang banyak yang teriak teriak
  4. Meski sudah 10 tahun bekerja di bidang komunikasi (jurnalis, penyiar radio, penyiar TV, publicist dan sekarang humas – CSR) lidahku suka mendadak kelu kalau kenalan sama orang baru~
  5. Punya teman diskusi imajiner
  6. Sering dikira melucu padahal murni bodoh. Pernah mengira sapioseksual adalah sebutan untuk orang dengan fetish terhadap sapi.
  7. Pernah masuk UGD karena makan Momogi rasa keju 4 kotak isi 20
  8. Kalau latah nyebutnya ayam aku merasa seperti komedian program TV pagi hari yang tidak lucu 😦
  9. Agus Kuncoro adalah segalanya
  10. Hopeless romantic
  11. Lebih takut film sedih daripada film horor

Saya seharusnya mendampuk 11 blogger lain untuk menuliskan hal serupa di atas tapi saya ga bisa menemukan 11 laman blog milik kawan yang cukup dekat untuk meneruskan pesan ini. Jadi ya, biarlah berhenti di saya hehe.

***

Oh, kemarin saat menuliskan kaleidoskop 2018 di pertengahan bulan Desember, saya sama sekali tidak memiliki rencana akan ke mana pada saat tahun baru. Saya sudah menyusun janji mabar dengan rekan rekan sepermainan PUBG dan membeli banyak sekali cemilan sebagai kawan nonton Netflix untuk melewati tahun baru dan libur panjang di dalamnya.

Ndilalah, saya berangkat ke Bali pada 28 Desember dengan keputusan diambil tepat dua hari sebelumnya sebab apalah artinya usia muda jika impulsif tidak menjadi sifat utama. Menghabiskan seminggu dengan makanan enak, obrolan dan diskusi tidak berkesudahan. Untuk sekedar berpendapat dan mengungkapkan hal hal yang tidak pernah berani saya katakan di lingkaran sosial di Sampit atas nama decency dan memaklumi. Begitulah, tahun baru 2019 saya lewati dengan tipsy berkat 3 gelas wine dan riuhnya hitung mundur di antara kembang api pantai Canggu.

Sampit, 4 Januari 2019

Perubahan Adalah Kutukan (?)

Kita harus memaklumi kegemaran orang orang tua dalam bernostalgia. Dalam setiap kesempatan berbicara dengan seseorang yang jauh lebih tua dari saya, saya selalu meminta mereka untuk menceritakan zaman yang sudah lewat and oh boy they love it. Karena perubahan niscaya terjadi dan ia kian cepat berotasi dari masa ke masa. Di abad 18 mungkin butuh 20-30 tahun rentang masa dari satu penemuan berevolusi menjadi penemuan yang lebih mutakhir. Sementara saat ini, hanya butuh 5 tahun bergerak dari Java dan Symbian menuju Android dan IOS. Hanya butuh 2 tahun untuk sebuah handphone bergerak dari waterproof menjadi water resistant.

Karenanya mereka yang di tahun ini berusia 30an namun masih mencoba signifikan dengan mengikuti setiap tren terbaru akan kewalahan dan semakin merasa berjarak pada setiap tren baru yang muncul. Saya sendiri 26 tahun dan sudah tidak bisa merasa relate semenjak era Snapchat. IG Story, Tik Tok dan segala platform media sosial yang hype sudah terasa jauh berjarak dari saya. Di rentang usia dari nol ke 26 saja, saya mengalami beberapa fase perubahan yang menggugat nostalgia sekali-dua.

Seperti masa di mana untuk mengakses internet saja membutuhkan perjuangan yang hakiki. Untuk sekadar download gambar dengan satuan belasan kilobyte memakan waktu bermenit menit. Atau penghiburan paling menarik di internet adalah ketika mengunduh mp3 menjadi perkara yang bisa dilakukan (dan sederet situs porno ber-bandwidth rendah seperti DS dan Lalatx tentu saja)

Kala itu, meski internet dan teknologi sudah merangsek sedemikian canggihnya, kebersamaan masih bisa diraih melalui tukar menukar hardisk dan salin menyalin hasil unduhan ilegal film film terbaru. Atau ngumpul bareng di lokasi ber-wifi kencang (yang saat itu sangat jarang) dan menaruh segenap harap pada Internet Download Manager untuk kemudian berbincang hingga unduhan selesai. Di era itu, saya masih bisa relate.

Tak sampai sepuluh tahun selepasnya, saya berada di sebuah tongkrongan dengan 6 orang lain sibuk bermain dengan gadgetnya masing masing. Sekali-dua saya diajak foto selfie berdua atau foto group dengan senyum dibuat buat seolah we’re having the best time of our life karena sejurus kemudian muncullah foto tersebut di Instagram dengan caption serupa : Having a fun time with besties. Hal tersebut terjadi beberapa kali dan saya jengah, sebab kalau hanya untuk sibuk sendiri saya lebih suka ke cafe sendirian untuk dowload film sambil membaca buku. Melakukan hal sunyi seperti itu sendirian terasa lebih masuk akal daripada diam berjamaah.

Pemandangan menggelikan itupun pada akhirnya menjadi sebuah kemahfuman. Orang orang berkumpul dalam kelompok namun masing masing menelan kesunyian. Yang suka mati gaya karena tidak suka berlama lama menatap layar gadget seperti saya akan tersisih. Karena jengah, karena risih, karena mati gaya dan akhirnya memilih ngapa ngapain enaknya sendirian hahaha.

when everybody tried to be a special snowflake

Maka begitulah, bagaimana perubahan dapat menjadi kutukan. Mungkin ini yang dulu dirasakan oleh pendahulu kita saat melihat roda ditemukan dan orang orang mulai meninggalkan keseruan jalan kaki bersama sama. Saat mesin uap diciptakan dan revolusi teknologi didengungkan dan orang orang mulai lupa value segala hal yang dilakukan secara manual.

Tapi hey, setiap aksi akan menemukan reaksi. Bukannya seiring dengan kesunyian perubahan ini diiringi dengan nyaringnya gaung soal off grid and technology detox. Sebab setiap kita sebenarnya perlu istirahat dari perubahan. Jika yang lain melakoninya dengan seminggu penuh berkemah tanpa gadget dan mesin apapun, saya punya detox saya sendiri bernama nostalgia.

 

Sampit, 22 Juni 2018

Ini sudah hari ketiga hujan kelewat deras turun di pertengahan malam.

Yang Bikin Bodoh Itu Kurang Baca, Bukan Micin

Yang paling mengganggu saat berselancar di dunia maya adalah masih saja menemukan orang orang yang melakukan hal ini:

Tapi ketika yang beginian muncul, saya biasanya hanya tertawa dan membatin “Goblooo” sambil lalu. Herannya, meski sudah setengah mati screening pertemanan tapi tetap saja hal hal begini melintas di timeline Facebook. Bagi saya, like dan amin begini harmless. Nyampah tentu saja, apalagi kalau ternyata entry yang diserbu adalah clickbait atau monetized post tapi ya udahlah, toh saya berada di area yang tegas terkait memperbolehkan adik menghabiskan siang malamnya untuk looting sen demi sen dari flooding adsense. Yang ‘terjebak’ ngasih duit ke empunya hajatan ya siapa suruh sampah begitu diklik.

Sama seperti entry entry “Ketik Amin”, terlepas dari perdebatan ustadz ustadz soal boleh-tidaknya, kata “Amin” dalam kehidupan nyata memang telah digunakan secara foya foya sehingga apa bedanya dengan mengetiknya di sosial media (kecuali annoying dan nyampah, tentu saja. Tapi merasa annoyed adalah masalah saya, bukan hutang siapa siapa) dan kembali lagi, kalau terjebak monetized post maka yang goblo sebenarnya siapaaa?

Yang membodohi lagi menyesatkan serta meresahkan hingga urgensi untuk menuliskannya di blog ini adalah kebiasaan meng-copy paste/share hoax. Dan ini berbahaya karena sejarah telah mencatat ratusan kejadian dan puluhan ribu kematian sia sia karena berawal dari kabar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Dulu ketika menjadi jurnalis, setiap pagi saya panas dingin membaca berita yang saya tulis. Saya senantiasa kuatir jika berita saya tidak benar dan tidak cukup cover both side. Di bulan bulan terakhir saya bahkan sengaja menghindar menulis berita berita bombastis yang berpotensi masuk halaman utama. Saya lebih banyak mencari ide untuk berita feature yang menyenangkan semua pihak (mungkin ini juga yang akhirnya menyadarkan bahwa saya tidak berbakat menjadi jurnalis hahaha)

Kekhawatiran itu menghantui saya hingga susah tidur padahal koran kami hanya dicetak tiga ribu eksemplar dengan probabilitas orang membaca berita saya di sudut bawah halaman tengah hitam putih pastilah sangat kecil. Beruntung hingga akhir masa kejurnalisan, saya tidak mendapat kendala berarti terkait hal ini.

Sekarang bayangkan seseorang dengan follower ratusan ribu hingga jutaan, setiap hari menulis kebencian dan menyebar tidak hanya fitnah namun juga hoax. Berita bohong. Iya saya berbicara soal Jonru. Sejak setahun terakhir saya mengenal nama ini dan sesekali memantau Facebook Pagenya yang luar biasa sampah itu. Awalnya saya biasa saja sebab alam memang membutuhkan orang orang seperti Jonru untuk menjaga keseimbangannya. Toh hanya satu orang saja, dan saya hanya perlu menutup aplikasi Facebook agar tidak lagi merasa terganggu.

Namun waktu berlalu dan makin banyak undangan group yang saat saya bergabung di dalamnya, kok Jonrunya makin banyak. Makin sering saya menemukan tulisan tulisan Jonru dan yang sejenis Jonru di sekitar saya. Kalau hoax masih bisa disikapi dengan kebijaksanaan berupa buka Google dan verifikasi beritanya, menghadapi ujaran kebencian membutuhkan kebijaksanaan mental yang lebih kompleks. Kita harus memiliki keterbukaan pikiran, toleransi yang tinggi dan kelapangan jiwa untuk bisa menelan kenyataan bahwa ada jutaan orang yang tiap tiap individu itu memiliki kemungkinan terhasut dan turut menjadi.

Kebencian yang tidak rasional terhadap Jokowi

Cina akan menginvasi Indonesia dan mengganti ideologi negara ini menjadi Komunisme

Anti vaksin (yang menariknya jika di luar negeri gerakan anti vaksin ini karena mereka curiga pemerintah melalui industri obat obatan ingin meracuni anak anak mereka atau karena tergabung dalam cult of being as nature as possible will heal your miserable soul, di Indonesia vaksin ditolak karena Amerika menyusupkan gelatin Babi ke dalam vaksin untuk mengkafirkan bayi bayi muslim. Yeah, it really happens.

Gempa terjadi karena makin banyak orang pro LGBT

Yahudi antek Amerika akan memusnahkan umat Islam

Konten konten bertema demikian biasanya dimulai dengan sederet panjang dikabarkan dari (insert a shady news biro) yang melakukan investigasi di (insert a stranded city of nowhere) dan mendapat informasi dari agen rahasia (what? MI6? Mossad? BIN? apa?) lalu disusul a poorly written (some sort of) news dan diakhiri dengan seruan agar umat Islam bersatu dan ujung ujungnya memboikot sesuatu.

Dan kita masih saja menuding micin sebagai sumber kebodohan.

Membaca adalah solusi untuk kebodohan yang sia sia ini. Baca buku buku yang bagus, berita berita dari saluran yang kredibel; tonton berita di televisi karena sekurangnya masih dikawal oleh KPI bukan dari channel Youtube yang sumber beritanya dari opini content creatornya. Bangun perspektifmu sendiri, uji dengan verifikasi dan buka pikiran (serta kelapangan hati) untuk menerima perubahan atas perspektif itu. Saya tidak pernah malu jika perspektif saya sekarang berbeda dengan beberapa tahun lalu sebab saya tau seberapa banyak buku yang saya baca, berapa banyak individu baru yang saya temui, kejadian yang terjadi selama rentang waktu itu.

Lagipula sudah 2018 masa masih meminjam opini orang?

 

 

A Trip to Remember

I rarely post my trip experiences. I’m not that good on describing what I feel and found the amazingness of the place I’ve been going. It’s September already and last night I had this thought before I hit the sack.

Men Nani udah jalan jalan ke banyak tempat sekali tahun ini.

Jadi ini dituliskan untuk mengingatkan diri sendiri di tahun tahun selanjutnya soal betapa saya semestinya tidak menggugat berlebih terhadap hidup yang tidak berjalan mulus. Entry kali ini akan dipenuhi selfie. I warn you.

Bali (29 Desember 2016 – 2 Januari 2016)

Ini kali pertama saya pergi ke Bali, menginap di Kuta untuk kemudian pindah ke Sanur dua hari setelahnya. Bertemu Pitooooo \o/ dan menghabiskan pagi – sore seliweran di pantai dan mencicipi kopi kopi enak, makanan makanan lezat dan perbincangan hangat aww.

Bali – Jakarta – Bali (23 – 31 Januari 2016)

Kali ini ke Bali (lagi) karena niatan nonton Ari Reda di Taman Ismail Marzuki pada 26 Januari. Mumpung weekend, melayanglah gadis ini ke haribaan Sanur untuk menyapa residen Ubud kesayangan dan Pito. Lalu menyaksikan Ari Reda yang memukau selama tiga jam pagelaran dan kembali ke Bali untuk nonton Navicula! Bulan yang menyenangkan indeed. Oh, saya juga menghadiri Malam Puisi Bali dan menjadi turis ga tau diri membacakan puisi Lang Leav dan Aan Mansyur. Bhihik.

 

Bali (08 – 12 April 2016)

Iya Nani ke Bali lagi hahaha. Kali ini untuk ngapain ya.. wait.. oke kali ini tanpa alasan selain kebetulan ada libur panjang (?) atau lainnya. Kembali menyambangi residen Ubud dan secara abusive menghajar Kuta dan Seminyak bermodalkan sepeda motor sewaan.

Bali (13 – 18 Mei)

Oke saya ke Bali lagi. Kalau tiap berangkat dan balik ke Sampit membawa satu kodi Pie Susu Dian, mungkin di tahun ini saya sudah sukses menjadi re-seller leholeh khas Bali itu. Di titik ini saya telah sukses dikenali oleh para waitress Smorgas – Jl. Danau Tamblingan dan ikrib bingit sama Pito dan kengkawannya di Helmen Coffee. Dan residen Ubud masih seenak empat kunjungan sebelumnya.

Kali ini saya membawa misi untuk menyaksikan pagelaran Ari Reda di Rumah Sanur – Jl. Danau Poso. Saat pagelaran berakhir dan saya kudu packing untuk mengejar penerbangan pagi keesokan harinya, di sela seruput terakhir soto yang enak banget itu saya memutuskan untuk tidak ke Bali dulu sementara waktu. Setidaknya sampai saya sembuh. Nani sakit kolesterol. Men.

Screen Shot 2016-09-11 at 12.30.19 PM.png

Singapura (30 Juni – 6 Juli 2016)

Berawal dari “Nan ke Vietnam yuk” dari Rida, saya menyelesaikan pembuatan pasport dalam kurun waktu SEHARI. Terimakasih kepada Manager HRD KLK Kalteng, I owe you one muach. Mengurus itinerary dan sekelumit perpesanan hotel melalui jasa pemesanan online, semua sudah fix lengkap dengan peta Ho Chi Minh City dan Rida telah membayar bagiannya. Lalu pada H MINUS SATU, Rida yang saat itu ada di Jakarta menelpon soal.

“Nan kayaknya Vietnam kejauhan, ke Singapore aja yuk”

Saya sayang Rida, namun kali ini sekurangnya tiga puluh menit saya habiskan untuk memprotes soal gila ya saya bikin pasport sehari jadi buat ke Singapore doang. Long story short, usai semua pembatalan dan re-route penerbangan, saya mendapatkan tiket ke Singapore 4 kali lipat harga normal lantaran pembelian dilakukan kurang dari 24 jam sebelum keberangkatan dan itu sedang libur lebaran. Of course.

Rida? oh dia beli tiket seharga 8 kali lipat harga normal pada dua jam sebelum keberangkatan. Di Bandara. Kek perkara pergi ke Singapure serupa kaya naik kereta api ke Sleman.

Kami memang bukan traveller paling cerdas sedunia.

Empat hari di Singapura itu seru! Pertama kalinya saya pergi ke luar negeri dan berhadapan dengan toilet kering ke manapun menuju. Secara agresif makan SubWay dan melakukan tourist cliche di beberapa spot turis di sana. FUN!

Surabaya (13 – 14 Agustus)

Trip kali ini didasari rasa penasaran terhadap ide iseng gimana kalau weekend ke luar kota tanpa kudu ambil cuti atau nunggu tanggal merah. Pada tanggal 12 tepatnya jam dua subuh saya membeli tiket penerbangan paling pagi ke Surabaya dan pulang paling sore di tanggal 14. Eh ternyata bisa loh, tiba di Surabaya jam 9 pagi lalu mengitari mall TP yang sekarang sudah ada enam biji lalu menunaikan urusan di ZAP Clinic, nonton, nongkrong, ke mall lagi keesokan harinya lalu pulang.

Cukup untuk kabur singkat dari Sampit, tapi untuk ditunaikan setiap minggu seperti ide semula, rasanya tidak setimpal dengan pegel badan aja.

Jakarta (20 – 22 Agustus)

Ke Jakarta sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai liburan. Namun kali ini perginya bersama tiga orang kawan lainnya and we had a great time for 2 days in Jakarta! Ditambah lagi seluruh keperluan saya disponsori! Hahaha. Terbang melalui penerbangan paling sore ke Semarang lalu tiba di Jakarta menjelang tengah malam untuk kemudian berhura hura dan mall-hopping keesokan harinya. FUN ❤

Jakarta – Surabaya – Medan – Pekanbaru – Belitung (25 Agustus – 6 September 2016)

Permohonan cuti pada 25-26 Agustus sudah saya ajukan sebulan sebelumnya. Alasannya, saya ingin menghadiri pagelaran Teater Bunga Penutup Abad di Gedung Kesenian Jakarta. Teater yang tiketnya telah saya beli jauh sebelum permohonan cuti disetujui karena tiket telah nyaris habis sebulan lebih sebelum pertunjukan. Saya kebagian tiket VIP that cost me some fortune tapi tidak saya sesali karena tempat duduk saya strategis sekali.

Seminggu sebelum berangkat, dua berita saya terima. Satu; cuti saya tidak diluluskan dan dua; pada tanggal itu saya harus berangkat dinas untuk photoshoot seluruh anak grup KLK di Indonesia. WTF.

Nyaris semalam penuh saya menimbang betapa saya akan menyesal jika tidak menyaksikan teater yang diangkat dari novel Bumi Manusia-nya Pram ini. Ditambah dengan fakta bahwa tiketnya susah didapat. Betapa dekat saya dengan tunainya keinginan tersebut dan betapa mendesak ia untuk dipenuhi. Akhirnya, dengan keberanian entah dari mana, saya yang hanya remah korporat ini menghubungi Presiden Direktur perusahaan kami di Jakarta dan meminta agar jadual dinas saya dimundur serta saya diizinkan cuti untuk nonton teater.

Pertanyaan beliau : “What? How? What the.. Nani, that presentation have to be done in 24, and our time is tight. And your bloody theatre, what is that all about?”

Men, kalau levelnya Regional Direktur saya masih bisa cengengesan dan ngarang ini-itu. Di hadapan Presdir begini saya hanya merasa kurang tepat untuk berbohong. Akhirnya saya jelaskan semua secara panjang lebar dan betapa saya ingin nonton pagelaran tersebut lantaran jangkauan temanya adalah sesuatu yang sejak remaja saya sukai. Beliau akhirnya setuju, dengan saya yang penuh keyakinan menyatakan akan menyelesaikan draft awal sebelum tanggal 7 sehingga dia punya sekurangnya 4 kali kesempatan untuk review dan revisi. (update, ini tanggal 11 dan kami telah melakukan dua kali review, beliau bilang semuanya oke dan tinggal menunggu beberapa data tambahan dari akuntan lalu beres. YAY)

Begitulah, drama di balik Teater Bunga Penutup Abad. Men itu empat jam paling bahagia dalam hidup saya. Nyaris tanpa kedip saya menyaksikan perwujudan novel Pak Pram, ke dalam teater. Penampilan Happy Salma yang tanpa cela, Reza Rahardian yang utuh hadir sebagai Minke. Duh.

Lepas dari Jakarta, pada 26 Agustus saya berangkat ke Surabaya selama dua hari untuk beberapa urusan. Lantas memulai dinas sambil nyolong liburan dan kopdar di hari Senin. Di Medan saya bertemu kawan lawas dari twitter, makan duren di tempat paling klise untuk turis lalu melakukan photoshoot di tiga kabupaten berbeda. Lalu melanjutkan ke Pekanbaru, photoshoot di dua kabupaten dengan arah berlawanan sehingga sungguh menguras energi lalu ke Jakarta untuk preview awal. Lalu melanjutkan ke Tanjung Pandan untuk sehari penuh memanfaatkan fasilitas kantor untuk pergi ke pantai pantai di sepanjang Tanjung Pandan – Kelapa Kampit dan diving di pulau Lengkuas kyaaaaaa.

Pulang pada tanggal 6 dan preview kedua keesokan harinya. Saya sendiri bertanya tanya kenapa saya masih sehat secara fisik dan mental setelah deadline beruntun sejak awal Agustus kemarin hahaha. Ini adalah rute terpanjang saya dalam bepergian. Dan trip kali ini cukup untuk membuat saya kalem tidak ingin pergi ke mana mana sekurangnya hingga tahun depan. Airport juggling, tons of hotel check in, aju merasa cukup dengan semuwa ituw.

2016 adalah tahun yang menyenangkan. Saya banyak membaca, banyak bepergian, banyak menemui keseruan di tahun ini. September akan habis dalam kedipan mata, saya yakin itu. Setelah pergi ke banyak tempat dan bertemu banyak orang, saya mulai memikirkan soal  iya, memangnya kenapa sih saya kudu keukeh banget tetap di Sampit? menyusul tawaran Presdir untuk menempati posisi PR dan memimpin communication department di kantor pusat dengan gaji yang tentu berkali lipat. Tawaran yang sudah dua kali saya tolak dengan alasan saya tidak ingin meninggalkan bos saya di regional karena saya ingin berterima kasih dengan tetap di sini sampai beliau pensiun.

Oh, saya sangat menyayangi bos saya yang satu ini. Saya muncul di hadapan beliau untuk melamar pekerjaan tanpa modal apapun kecuali keberanian. Perusahaan ini membutuhkan sarjana bahasa inggris/komunikasi yang menguasai desain dan pengalaman bekerja di perkebunan minimal dua tahun. Saya muncul dengan kondisi resume awur awuran, tanpa rekomendasi lantaran saya cabut tanpa short notice dari kantor sebelumnya. Saya diterima bekerja tanpa alasan kuat kecuali beliau percaya pada saya. Dan itu bikin terharu, sungguh.

Setiap mengingat bagaimana beliau membela saya saat yang lain mempertanyakan kredibilitas saya, pada setiap gugat manager mengapa saya naik jabatan sedemikian cepatnya, beliau yang mempertaruhkan kredibilitasnya saat Presdir meminta saya memegang proyek senior manager and share holder annual presentation. Proyek yang di tahun tahun sebelumnya dipegang oleh expatriate senior manger yang telah bekerja 15 tahun lebih sebagai tangan kanan Presdir. Yang kemudian diserahkan kepada saya (dengan waswas yang tinggi, mungkin), anak kampung yang norak melihat MRT, berbahasa Inggris seadanya dan bahkan tidak sekalipun mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari SMA. Tanpa sertifikat desain, PR, public communication, apapun.

Saya tidak memiliki banyak pilihan kecuali bersyukur dan melesat lebih jauh dari ini. I already detached every string here in Sampit. I cut my friends, my family, love of my life. I already found myself all alone every time I got back home anyway. It’s been two years and I think I’m ready, I’m prepared physically and most important mentally to loose the string and leave. Tapi ya kenapa ya rasanya susya sekali hahaha.

Sampit, 11 September 2016

Saya semestinya bahagia sekali sekarang, setelah semua pujian dan pengakuan itu.

Tapi ya kok ya tep aja rasanya kek ada yang salah.