Category Archives: Ruang Fiksi

Hantu di Musim Penghujan

“Aku bermimpi tentang hantu”

Segelas air putih yang kuminum belum terteguk sepenuhnya saat Fuga mengusik perhatianku soal mimpinya tentang hantu, sepagi ini.

Ruang tengah sedang sepi. Belum tandas hausku yang harus menempuh puluhan kilometer untuk menemukan jawaban mengapa perempuan ini menghubungiku sambil menangis.

“Aku… melihat matanya yang kelabu dan mencium aroma busuk dari tubuhnya” Fuga kembali bersuara.

Tunggu, bukankah mimpi tidak berbau? Aku pernah beberapa kali bermimpi tentang makanan yang sepertinya beraroma wangi namun aku tidak pernah ingat bagaimana baunya. Tidak, sebuah mimpi tidak semestinya meninggalkan ingatan tentang bau. Aku beringsut dari dudukku, mendekati tubuhnya yang gemetar. Perempuan ini benar-benar ketakutan, dapat kulihat tatapan matanya yang menerawang jatuh dengan pupil membesar, seolah tengah menghadapi mimpi buruknya di dunia nyata. Urung kupeluk sebab terlalu lancang jika kulakukan. Tidak saat ini, tidak di tempat ini.

Fuga kini terisak pelan

“Jika bukan karena ini malam ketiga aku bermimpi hal yang sama, tentang hantu yang menatapku seolah inilah saatnya aku mati, tidak akan aku mengganggumu sepagi ini”

Bicara soal pagi, aku teringat sebuah pagi beberapa tahun silam, saat pertama kali aku mengenal Fuga. Namanyalah yang paling menarik perhatianku. Fuga Agatha. Fuga. Tidak pernah dalam hidupku aku mendengar dan bertemu orang dengan nama Fuga. Aku pernah mengenal seseorang bernama Proletariyati, Xeon hingga Berhala. Yang terakhir adalah teman karibku hingga sekarang, kedua orang tuanya adalah pekerja seni paling progresif di zamannya dan menganggap rasa sayang kepada anak tidak ubahnya sebuah pemujaan terhadap berhala. Temanku mengalami bullying sepanjang sekolah karena nama ini.

Namun Fuga, belum pernah aku bertemu dan mendengar sebelumnya. Dentumnya yang keras mengingatkanku bahwa kelahirannya pastilah membawa makna untuk menjadi lantang dan berbekas di ingatan setiap orang. Tidak seperti Berhala, betapa Fuga adalah doa. Fuga memang membawa dentuman dengan irama paling merdu sejak aku mengenalnya.

Perempuan yang pandai memainkan irama melalui kerling mata dan senyumnya yang indah. Irama yang membuat detak jantungku bertambah kencang setiap ia menelusuri pelan alur wajahku. Bermain dengan anak rambut dan membelaiku hingga tertidur. Ah, Fuga.

Lamunanku buyar. Matari masih belum sepenuhnya terbit, cahayanya yang bias berkejaran di sela jendela ruang tamu. Sudah lama aku tidakk bertemu pagi sesyahdu ini. Mungkin lantaran Fuga, yang sedari tadi beringsut merapatkan tubuhnya kepadaku dengan gemetar yang tak kunjung reda.

“Aku bisa merasakannya, sungguh. Jemarinya yang dingin mencengkram lenganku sangat erat hingga aku kesakitan dan matanya! Matanya demikian kelabu dan aku merasa takut teramat sangat” Suaranya merendah.

Tapi sebentar, konon saat bermimpi manusia tidak bisa menggunakan indera sensoriknya. Serupa aroma, Fuga tidak semestinya merasakan sensasi indera lain. Tidak mungkin bagi seseorang yang tengah bermimpi dapat merasakan dingin, bau, lebih-lebih rasa sakit.

Lantas mengapa ia meninggalkan bekas kebiruan di lengan perempuan yang kini meringkuk dengan mata sendu ini?

“Tolong aku, buat ia berhenti menyakitiku”

Kurengkuh Fuga pada akhirnya, mendekapnya seerat mungkin untuk setidaknya mengurangi rasa takut perempuan yang masih saja gemetar itu. Kupejamkan mataku serapat mungkin. Bias cahaya matahari dari jendela menyentuh wajahku saat waktu berkejaran mendatangkan siang untuk mengganti pagi. Kuhirup aroma Fuga, rambutnya mengingatkanku pada aroma hutan, entah lantaran shampoo yang digunakannya atau sekadar sugesti sebab memeluk Fuga seketika melemparkan ingatanku pada hutan tempatku sering bermain di masa kanak-kanak. Teduh dan tenang.

Dekapan kulekatkan hingga kudengar suara Fuga terbatuk perlahan. Kian lekat, kian erat.

Fuga sempat meronta beberapa saat. Dapat kurasakan kedua lengannya berupaya melepas kuncian tanganku. Namun sejurus kemudian tubuhnya adalah kesunyian yang bernas. Tidak kutemui cahaya mata penuh rasa cemas yang sedari tadi kutatap. Tidak juga kutemukan gemetar tubuhnya seperti saat ia bercerita tentang hantu dalam mimpi beberapa belas menit lalu.

Tidak kutemui apa-apa lagi di tubuh Fuga yang kini tanpa suara meregang nyawa di pelukanku. Kukecup keningnya pelan:

“Tenang, tidak ada lagi hantu yang akan memangsamu”

Sampit, 11 November 2019

Musim penghujan telah tiba.

lelaki yang memulai pagi dengan sunyi

Lelaki itu memulai pagi dengan sunyi.

Disekanya peluh saat mentari meninggi dan menelusup di celah jendela, seketika menerpa wajahnya. Dalam menit menit kemudian ia duduk di tepi ranjangnya, meraih sebatang rokok dan menimangnya dengan ingatan soal entah sudah berapa pagi ia menginginkan untuk berhenti mengisap benda sialan itu.

Asap mulai meliuk saat ia bangkit dan menuju dapur kecil kontrakannya. Menyalakan kompor lalu menunggu secangkir air mendidih dan dituang ke dalam gelas yang telah berisi kopi bubuk tanpa gula. Entah kesadaran semacam apa yang membuat lelaki itu terus mengulang kebiasaan yang telah disumpahnya untuk tidak lagi dilakukan, enam tahun silam.

Asap rokok berbaur dengan kepulan dari gelas kopinya. Ia buka pintu kontrakan, berkalung handuk dan secarik celana kolor berwarna kelabu ia duduk di depan pintu. Melihat yang lewat dan sesekali menghirup kopi, perlahan hingga kopi itu dingin lalu tandas. Rokok telah memasuki batang ketujuh saat ia memutuskan untuk mandi tepat pada saat anak anak Sekolah Dasar membanjiri pintu gerbang, menuju pulang.

Kamar mandi umum senantiasa sunyi pada jam jam begini. Ia bisa mengambil waktu sebanyak mungkin untuk buang tai, menyikat gigi bahkan onani. Pagi itu ia putuskan untuk melakukan ketiganya dengan urutan nyaris bersamaan. Seringai di wajahnya tak bisa ia kendalikan saat penis yang sedemikian tegak itu mengeluarkan sejumput cairan putih kental yang mungkin berisi calon presiden beserta kabinetnya.

Siang menjelang dan belum sepatah katapun ia lontarkan. Kesunyian yang diulangnya setiap hari itu hanya ia sendiri yang mengerti mengapa meski kini usia 34 tahun membayang di jidatnya. Sepatah kata akan diucapkannya saat membeli makan siang, berupa “Nasi campurnya satu” dan “Terimakasih” lalu kembali ke kontrakan 3 kali 5 dengan dapur kecil dan kamar mandi bersama.

Ia nyalakan televisi dan makan dalam sunyi.

Lalu menyalakan rokok dan mengisapnya dalam sepi.

Sore itu kontrakannya ramai, tetangga dan sejumlah anak anak sepulang bermain bola menemukan darah yang merembes dari pintu, diserap alas kaki dan mengubah warna kuningnya menjadi merah. Darah yang menetes dan menggumpal diserap tanah berpasir dan menguarkan bau amis.

Lelaki itu kemudian ditemukan mati.

Dalam sunyi.

Telepon Tuhan

Sore itu kuseduh segelas kopi. Kuaduk pelan dan kusesap aromanya beberapa saat. Harum, kalau ini sebangsa teh, pastilah namanya teh poci atau teh melati. Kulirik bungkusnya, tanpa nama, putih keabuan tanpa marka. Kuangkat bahu sepintas, tak penting apa namanya, yang penting aku tau ini kopi. Sebentar, darimana aku bisa tahu bahwa yang sedang kusesap baunya ini adalah kopi? Karena warnanya hitam pekatkah? Ah, aspal juga warnanya hitam. Oli juga, air got, dan berputarlah nama nama cairan berwarna hitam di kepalaku. Sendok kecil masih berdenting sesekali saat berbentur dengan dinding gelas.

Kuletakkan gelas berisi kopi (atau sesuatu –apapun itu- yang kuanggap sebagai kopi) di atas meja dekat telepon. Berseberangan dengan meja kecil bermahkota telepon, ada televisi, tengah menyala. Suaranya pelan, kumatikan sekalian. Kulirik telepon bertombol belasan itu. Kopi masih mengepul, urung kuminum. Gagang telepon berderit gaung, gegas kupencet beberapa digit nomor. Tut.. tut.. tut..

“Halo,” aku bersuara kala nada ‘trek’ terdengar di ujung sana.

Masih diam, kuulang mengucap sapa.

“Hey, kamu rupanya, lama betul tak menyapa” suaranya masih sama, selalu sama, menyejukkan dan semilir.

“Saya kangen” ujarku.

Aku sudah nyaris lupa kapan terakhir aku menghubunginya. Rasa rasanya sejak aku berhenti meminum kopi. Atau sejak aku melupakan aroma teh melati. Entahlah, suaranya kini mengetuk kepalaku.

“Ah kamu, kalau kangen kenapa tak pernah menelpon?”

Aku kini terkekeh mendengar jawabannya, dia benar, bagiku kata kangen sudah seperti rutinitas semata. Setiap hari aku mengatakan kangen nyaris kepada semua hal. Lama lama rasa kangenku menjadi blur, antara kangen sungguhan atau kangen basa basi.

“Saya sedang sibuk, dunia sedang seru akhir akhir ini,” sahutku. Aku lantas mereka-reka kejadian terakhir dalam hidupku. Kantor, rumah, buku buku, kantor, rumah, buku buku. Ya ya, seru sekali rupanya, aku melengus sendiri.

Suara di seberang sana kini memintaku diam dan mendengarkannya. Aku terlalu sayang pada pemilik suara hingga jangankan membantah, bernafaspun rasanya tidak kulakukan saat menikmati suaranya.

“Aku mengerti, kamu terlalu sibuk memikirkan sesama manusia dan kompleksitas mereka, bukan?”

Suaranya berjeda, ada nada tanya. Entah retorik entah sungguhan menanti jawab.

Aku diam, bisa kudengar nafasnya di gagang telepon. Ah bahkan mendengar nafasnya saja, aku sudah mabuk kepayang, diam dalam diam. Kini aku dan dia sama sama diam. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggeleng pelan. Aneh, meski kami berbicara lewat telepon, dia bisa tau bahwa aku tengah menggeleng. Dia memang selalu memukauku dengan keanehan yang disebabkannya.

“Lalu kamu sedang berfikir tentang apa?” ia bertanya kembali setelah melihatku menggeleng

“Saya memikirkan kapan saya naik pangkat, kapan saya bisa membangun rumah yang lebih besar dan kapan buku buku itu habis saya baca” jawabku. Aku tidak pernah mampu berbohong padanya.

Kini nafasku yang terdengar di gagang telepon. Tunggu, dari mana aku tau bahwa ini adalah nafasku bukan nafasnya? Apa yang membuat nafas kami begitu berbeda padahal keduanya hanyalah soal menghirup dan menghela semata?

Telepon bergeresak, kutendang kabel biru yang melalar keluar jendela. Kini geresaknya hilang, berganti suara.

“Kamu membuatku bersedih…” ucapnya yang kemudian disusul kebekuan suara, nafasnyapun tak terdengar.

Aku panik, tak pernah kubayangkan lebih-lebih kuniatkan untuk membuatnya sedih. Jemariku kini melilit lilit kabel ulir yang menautkan gagang telepon dan papan plastik berisi belasan tombol. Kini kudengar nafasku sendiri, berderu deru nyaring memburu. Sekarang aku mengerti apa yang membedakan nafasku dan nafasnya. Nafasnya selalu sama, lembut teratur menentramkan jiwa. Nafasku bermelodi, kadang tinggi kadang lambat kadang tak ada sama sekali. Rupanya nafas bukan hanya soal menghirup dan menghela semata. Ada nyanyian di sana.

Teleponku masih bungkam. Aku mulai menangis, jemariku kini mengusut lelehan airmata yang mengaliri ceruk pipi, leher hingga nyaris ke dada. Isakku rupanya tertangkap gagang telepon dan sampai ke ruang dengarnya.

“Terlalu banyak kata ‘saya’ dalam jawabmu, aku sedih, rupanya jangankan aku, orang orang di sekitarmupun tak mendapat porsi dalam pikiranmu” suaranya merdu, paling merdu,

Airmataku kering, ingin kulontarkan maaf untuknya. Tapi urung kulakukan. Saat ini tak bisa kubedakan apakah maaf yang kurasakan adalah maaf sungguhan atau sekedar maaf basa basi. Jutaan maaf kuucapkan kepada jutaan hal setiap hari. Hingga batasan maaf sungguhan dan maaf basa basi menjadi kabur, baur.

“Aku tau kamu menyesal, oh aku terlalu menyayangimu hingga tak bisa sesaatpun menguntai benci padamu” suara paling merdu itu kembali menguar.

Heran, dia selalu bisa membaca pikiranku.

“Saya tidak suka mereka, mereka penuh benci dan prasangka” gumamku, meraih remote televisi, menghidupkannya, mencari cari kanal berita. Suara televisi kutiadakan. Aku tidak perlu suara lain jika dia yang bersuara di ujung telepon sudah mampu memenuhi segala kebutuhanku akan suara.

“Kamu tidak suka pada mereka yang penuh benci? Hahaha” dia tertawa dengan tawa paling indah yang pernah kudengar. Heran, suara tawanya saja mampu membuatku turut senang.

“Saya tau, saya tak berbeda dengan mereka yang membenci jika saya masih memiliki rasa tidak suka”

Aku berpura pura menggerutu, ingin menarik perhatiannya.

Sejurus kemudian aku sadar, tak perlu aku berpura pura, dia selalu memberiku perhatian. Ah, rasa sayangnya padaku memang keterlaluan!

Lagi lagi dia seperti membaca pikiranku, kini bertanya.

“Kamu sayang padaku?” ucapnya, tanpa nada klise sama sekali.

Aku, entah, rasa rasanya sudah bermilyar kali mendapat pertanyaan seperti itu dari bermilyar hal dalam hidupku. Hingga remang bagiku batasan atas pertanyaan klise dan pertanyaan basa basi dari tiga kata itu. Kamu-sayang-padaku?

Aku biasanya tak menjawab, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak menjawab segala hal yang masih (atau sudah) tak jelas batasannya bagiku. Tapi kali ini berbeda, pertanyaannya sama sekali tidak terdengar klise. Begitu tulus, paling tulus.

“Tentu, saya sayang padamu.” Kubiarkan suaraku terdengar menggantung, mengharap respon. Percuma, sebenarnya, dia selalu memberi respon atas semua pertanyaan dan pernyataanku. Hanya aku yang dibuai sibuk oleh keakuanku hingga lupa dan hilang perhatian atas responnya. Kali ini kucermati suaranya. Dia tertawa.

“Aku senang, kamu rupanya masih sayang pada dirimu sendiri. Susah ya, untuk berhenti tidak menyukai?” tanyanya lagi, kabel ulir menyentuh mulut gelas, nyaris menyentuh genang kopi (atau sesuatu yang kuanggap kopi) di atas meja. Kusentak perlahan, riak permukaannya kini tenang, tidak pula terlihat kepul asap berbau wangi dari dalam gelas. Sepertinya sudah dingin.

“Televisi sedang menjualmu” kupaparkan padanya tentang iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Ada hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

“Saya kesal kamu dijual begitu” lanjutku

Dia tertawa lagi. Dia selalu menemukan cara untuk menertawakan apa yang kubenci dan mengundang marahku. Dia humoris, paling humoris.

“Biarkan saja, yang menjual saya justru bisa membuat saya semakin terkenal. Kalau saya sudah terkenal, saya akan muncul di spanduk-spanduk dekat kantormu, papan iklan di depan rumahmu, bahkan saya akan dipasang di setiap sampul buku yang kau baca,” ujarnya, terdengar riang.

Dia melanjutkan dengan nada semakin riang

“Jadi, kamu akan menemukanku di kantor, rumah dan buku. Di setiap pikiranmu. Kamu akan selalu kangen padaku. Duh, senangnya”

Aku tersipu, dia masih ingat hal hal kecil tentangku.

“Ah kamu! Saya jadi geer nih. Beberapa dari mereka selalu mencoba mengklaim bahwa kamu hanya milik mereka. Yang tidak setuju dimusuhi. Kadang, yang dimusuhi membalas mengklaim kamu. Mereka berebut kamu. Saya sebal sekali” gerutuku tak berbendung.

“Ciee.. kamu cemburu?” dia menjawab, dengan pertanyaan baru.

Wajahku terasa panas, kupingku apalagi, seperti ada yang mengigit gigit. Berkali kali kutepis anak rambut yang sebenarnya tak jatuh ke wajah. Dia selalu tau cara membuatku salah tingkah. Jawaban terjujur kini tercetak di wajahku, aku bersyukur menghubunginya melalui telepon sehingga ia (kupikir) takkan bisa melihat wajahku. Aku berdehem, mencoba mengalihkan pertanyaannya.

“Kamu sedang sibuk?” tanyaku, mengambil sepotong koran dari bawah meja. Koran pagi tadi, kulipat kecil dan kukipas kipaskan pada wajahku yang merah padam.

“Aku tidak pernah sibuk, tidak seperti kamu yang sibuk terus sampai lupa buat kangen padaku,”

“Ah. Iya deh saya minta maaf,” aku kembali memasang nada merajuk padanya.

Dia kembali tertawa, “Eh, jadi kamu ga cemburu nih sama mereka yang sibuk memperebutkanku?”

Aku bergumam gumam.

Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi terfokus pada genangan kopi dalam gelas. Aku menatap televisi, ada ratusan orang tengah berteriak teriak sambil memukuli pria bercelana sarung. Pria itu tersungkur, wajahnya tunarupa. Bilur biru di sekujur tubuh. Aku melihat balok kayu dan laras besi menghujani tubuh laki laki itu. Sumpah serapah mengalun disela teriakan teriakan. Aneh, padahal televisi sudah kutiadakan suaranya, namun masih saja jeritan si pria bercelana sarung saat meregang nyawa hinggap di kupingku. Mungkin juga hinggap di gagang telepon, tersampaikan padanya.

“Mereka meneriakkan namamu saat membunuh pria itu,” bisikku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu ia bisa mendengar kata kata yang bahkan tak sampai ke kuping kiriku itu.

“Siapa bilang itu namaku?” ia menjawab dengan tenang.

“Tapi televisi bilang itu kamu, namamu” aku lantas terdiam. Kata kata itu meluncur mendahului otakku untuk memikirkan maksudnya apa.

Dia masih di sana, menjawab dan terus merespon setiap nafasku.

“Jadi sekarang kamu lebih sayang televisi nih dibanding aku?”

“Huh! Nanti lama lama kamu bisa berhenti kangen padaku. Soalnya kamu fikir aku sudah ada di televisi,”

Aku tau dia hanya bercanda, tak pernah merajuk. Tidak sepertiku yang begitu mudah ngambek dan mogok menelponnya kala dia kuanggap tidak meresponku.

“Kalau suatu saat, mereka tau bahwa saya selalu menelepon kamu, lantas telepon ini diambil karena saya dianggap merebut kamu dari mereka, gimana?” lega, apa yang mengganggu pikiranku sejak melihat televisi tadi kini sudah kutanyakan.

Tut… tut… tut…

Telepon terputus tiba tiba.

Kutarik tarik kabel biru yang menjalar lewat jendela. Kutekan tombol redial. Setengah putus asa kuguncang guncang papan plastik berisi belasan nomor. Tak sengaja tersenggol gelas kopi, pranggg!! Pecah di lantai ubin.

Aku kini menangis sejadinya, genangan pekat kopi bercampur lelehan airmata. Teleponku padanya tak pernah terputus tiba tiba. Genangan kopi yang tak sempat terminum itu merembes ke karpet, perlahan mengalir hingga menyentuh steker listrik untuk televisi. Aku melihat percikan bunga api, perlahan membesar lantas terdengar letupan.

Televisi hitam, korslet.

Telepon berdering. Aneh, kabel biru yang menjalar di jendela telah kucabut. Bergegas kutempelkan gagangnya ke kuping kanan.

Aku mendengar suaranya lagi. Suara terindah, paling indah.

“Dasar cengeng,” suaranya terdengar lembut, aku merengut sambil menyeka airmata.

“Jangan lakukan lagi, saya kira kamu meninggalkan saya” suaraku tertahan tahan, mengisak isak.

“Habisnya, kamu selalu berbicara tentang televisi. Aku kan jadi cemburu,”

Aku menatap layar televisi yang hitam. Tidak lagi kulihat iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Yang berwarna hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

Tidak juga kulihat pria bercelana sarung yang dipukuli sampai mati oleh ratusan orang yang meneriakkan namanya di sela hujan sumpah serapah. Ruang tengah rumahku kini begitu tenang. Aku kini mengerti, bahwa dia hanya cemburu. Bahwa dia ternyata tak ingin aku membenci orang lain karena televisi.

Aku tersenyum, kuucapkan selamat malam padanya. Aku menuju tidur.

“Baiklah, kamu harus tidur, aku akan sangat kangen padamu. Hm.. sebelum kamu tidur, aku boleh ucapkan sesuatu?” aku menghela nafas, kusiapkan diri untuk menerima ucapannya.

“Apa itu?”

Suaranya nyaris samar. Antara udara malam dan aku yang kian mengantuk.

“Kamu tidak perlu melaporkan semua kebencian yang menguar di televisi padaku. Percayalah, aku sudah tahu bahkan sebelum pria bercelana sarung itu mati dipukuli orang orang yang meneriakkan –kata televisimu–namaku. Aku sudah tahu bahkan sebelum iklan tentangku dimuat di situ. Kamu tidak membenciku karena ini, kan? Aku tahu bahwa kamu takkan menganggapku telah membiarkan mereka saling membunuh karena memperebutkanku. Aku tahu, dan aku akan bekerja dengan caraku,”

Senyumku semakin lebar saat dia mengucapkan selamat tidur untukku. Kututup telepon dan mengulangi kata katanya.

Bahwa

Dia ada, Paling Ada. Dia tau, Paling Tau.

Kumpulan Sajak Januari

Kepada yang menghujani cecar kepada tertuduh. Kepada yang lelah untuk menyanggah.

Langkahnya terseok, meningkahi kucur merah dari lubang menganga di pangkal kakinya

Sesekali ia mengeram, jatuh bersimpuh

Darah masih mengalir, bertambah deras dari lubang telinga

Liurnya menetes, merah juga warnanya, geraham bungsu hingga taring remuk semua

Matanya mengerjap, terik matahari merangsek masuk

Kali ini darah masih di sana, kepalanya tersayat delapan

Nafasnya memburu, meregang nyawa

Dicengkramnya lengan kirinya, melepuh bekas setrika

Wenggini coba menghapus tattonya

Pun tetap jua sepatu lars dan todongan senjata kejutkan pagi harinya

Di sela nafas yang sepenggal sepenggal

Tetes liur bercampur darah dari lidahnya yang dipotong

Menggumam gumam tanpa suara

“Aku takkan mengaku..”

 ***

Aku lupa, mungkin September tanggal tiga.

Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu.

Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.

Itu tengah malam. Hari sabtu.

Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu.

Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu.

Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak.

Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga.

Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya.

“Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..,”

Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah.

Api menjilat ruang tamu. Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.

Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka. Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak.

“Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi”

***

Ayahku digiring melalui pasar dan selokan

Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan

Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya

Babak belur ayah dihakimi massa,

Diseret tubuh rentanya menuju penjara

Ayahku mencuri

Seekor ayam milik tetangga

Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja

Tubuhnya sudah renta

Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya

Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya

Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga

Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya

Hanya ayam buras biasa, putih warnanya

Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema

Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan

Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah di kakinya berlipat banyaknya

 

 

Ayah telah pulang dari penjara

3 tahun lamanya

Beliau tak berubah, tetap sayang padaku

Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara

DS 1098 NK tercetak di lengannya

Ayah bilang itulah identitas narapidana

Tubuh rentanya semakin tirus

Semakin kurus

Suatu senja

Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata

Bersenapan

Mereka geledah semua rumah

Mencari pengkhianat bangsa

Atau dalam versi mereka

Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara

Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja

Mereka masuk ke bilik kami

Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah

Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya

Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah

Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah

Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya

“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”