Sumba and Other Revelations

Syahdan, kawan kawan saya ingin ke Sumba sementara saya terjebak dengan training asuransi di HO Jakarta. Sungguh sebuah ketidakadilan yang tidak bisa dibiarkan! Meski sebenarnya selain terbentur jadwal, saya tetap tidak bisa pergi karena cuti sudah minus dua sejak pulang dari KL kemarin. Tapi di mana ada kemauan di situ ada jalan, bukan? Setelah dua hari mengikuti training, sayapun bolos ke Bali untuk menunggu teman teman yang menyusul 2 hari kemudian. Huahahaha.

Yang saya lupa, saya cuma packing untuk keperluan training berupa 3 blouse dan 2 celana panjang. Tapi bukan sia sia saya menerima sematan McGyver saat sendal jepit putus dan saya berhasil menyambungnya dengan mediasi seutas bobby pin di tengah tengah Pulau Komodo setahun silam. Akhirnya celana jeans dipotong jadi shorts, blouse jadi flowy tank top dan (mau tidak mau) membeli 3 kaos dan 3 celana baru di Krisna, toko oleh oleh kesayangan kita semua karena sebiji celana harganya 20 ribu saja~

Kamis siang kami berangkat dari Denpasar menuju bandara Waikabubak di Tambolaka, Sumba Barat Daya. Kondisi kota Kabupaten ini seperti jalan lintas provinsi pada umumnya. Kesan yang muncul adalah gersang, berdebu dan gerah ketika melintasi jalan raya utama yang menghubungkan Tambolaka dengan beberapa spot wisata di Kecamatan itu. Kalau harus mengkomparasi dengan Kalteng, Tambolaka ini mirip seperti Cempaga dengan jalan aspal yang sedikit lebih banyak.

Seminggu setelah pulang saya baru ngeuh kalau kami datang di musim penghujan sehingga dapat disebut itu adalah periode terbaik dalam setahun di wilayah itu. Namun kesan gersang masih ada meski hujan nyaris setiap hari. Bayangkan bagaimana kondisi masyarakat di sana saat musim kering tiba mengingat Indonesia wilayah timur dikenal dengan curah hujan setahun yang sedikit.

Kami berlima mengambil private tour sehingga lebih fleksibel soal jadwal. Di Sumba Barat Daya kami baru mengetahui kalau hotel yang kami tempati sudah termasuk salah satu hotel paling top di sana. Yang mana bentukannya… lebih mirip seperti penginapan Melati di pinggir kota kalau di Sampit. Baru kali ini saya pergi ke luar kota dan merasa bangga dengan Sampit yang setidaknya punya satu hotel bintang 4 itu hahaha. Terlepas dari itu semua, Kabupaten Sumba Barat Daya adalah surga tersembunyi yang akhirnya terkuak (dan assesible) berkat film Marlina dan Susah Sinyal :))

Kita akan melalui sebuah Kecamatan bernama Kodi Bangedo jika ingin menuju Pantai Bawana. Sepanjang jalan memang telah beraspal, namun akan titik di mana kamu akan bergumam “Persetan dengan pembangunan jalan kalau warganya masih berak dengan menggali tanah begini” sebab apa artinya memiliki halaman belakang instagramable kalau setiap hari dihantui kelaparan? Yep, Kodi adalah kecamatan paling miskin di Kabupaten Sumba Barat Daya, bahkan seluruh Sumba.

DSC00202

Pantai Bawana, Kodi. Akan ada belasan orang yang menemanimu menuruni tebing yang licin dan curam untuk upah 20 ribu rupiah. Kesel kan?

Saat menulis ini saya sedang membaca baca berita terkait Kecamatan ini, yang ternyata jalan aspal baru dibangun tahun 2015. Anggaran yang tidak sedikit mengingat dari Tambolaka ke Pantai Bawana saja nyaris 3 jam perjalanan. Duit yang bisa dipakai untuk pengembangan UKM dan pengadaan air bersih, misalnya. Perjalanan ke Sumba menghasilkan mixed feeling yang lumayan kampret sih. Di satu sisi saya terpuaskan sekali dengan keindahan alamnya sementara sisi lain rasanya marah sekali terhadap turis seperti saya yang membuat Pemda lupa prioritas dalam mengelola daerah.

Tapi mungkin kelak Kecamatan Kodi dan Kabupaten Sumba Barat Daya akan berkembang seperti ‘kakaknya’ Labuan Bajo dan moga moga menjadi seperti Bali. Sebab jika kita tidak bisa hidup sejahtera dari tanah gersang dan terik matahari, setidaknya masih ada harapan dari sektor wisata.

Karena energi saya untuk ngomel sudah habis, selamat menghabiskan bandwidth untuk foto foto cakep berikut ini..

sdr

Pantai Bawana yang sepi, bersih dan luas. 20 menit lebih bengong dan nyaris nangis terbawa suasana. Untungnya saya pribadi yang tegar.

IMG_20180218_074914.jpg

Bukit Bulu Halus, duh namanya~

cof

Setiap hari disuguhkan ikan yang satu porsinya segede ini, gimana bentuk ikannya semasa hidup ya..

DSC00717

Senja keemasan di Dancing Tree Pantai Walakiri, Sumba Timur

DSC00257

Sekali lagi, ini bukan dari Google.

DSC00389

Desa Adat di Waingapu.

27581743_304096740116755_141005803552243712_n

Juklak turis

cof

Pantai Mandorak, Waingapu yang aduhai banyak airnya~

 

 

Sampit, 08 Maret 2018

Taun depan Wakatobi~

KL and The Number Two Emergency

26184586_517084545357161_6886268026572767232_n

Fleet Foxes on stage with their White Winter Hymnal. Jantungku copot mz~~

Saya menambahkan Kuala Lumpur dalam daftar bepergian ke luar negeri Januari 2018 dengan budget kurang dari 5 juta. Karena niat perginya untuk nonton Fleet Foxes di KL Life, jadilah menyusun itienary untuk muter muter sekitaran KLCC dan hanya 3 hari saja. Tiga hari habis 5 juta tuh mahal, bukan backpacker sama sekali. Namun berhubung beberapa kawan (dekat maupun tidak) bertanya soal bagaimana caranya bisa berlibur ke luar negeri dengan sumber pendapatan gaji bulanan sebagai rang kantoran, saya ingin membagi breakdown anggaran untuk tetap nyaman di KL dengan budget 5 jutaan.

Tiket dan Hotel

Beruntunglah mereka yang tinggal di Jakarta sebab CQK – KUL cuma 400 ribuan dengan Air Asia (no baggage no meal), sementara untuk Sampit – Jakarta – Sampit saya harus membayar  1,9. Untungnya ada 1.100 point Traveloka senilai 1,1 juta. Praktis untuk tiket saya hanya membayar total 1,2. Sementara untuk hotel, di area KLCC ini harga hotel muahal muahal karena tergolong pusat kota tempat menara kembar, KL Tower dan Bukit Bintang berada. Mengakalinya adalah dengan hotel kapsul, saya menginap di The Bed untuk 3 malam dan hanya membayar 400 ribuan dari harga original 800ribu karena lagi lagi point Traveloka.

 

The Bed KLCC

 

ini pengalaman pertama saya mencoba shared room begini, awalnya mikir akan risih dan ga nyaman mengingat di satu ruangan besar ada 16 blok dan waktu itu saya berbagi ruangan dengan 6-7 tamu lain. Ternyata ga berisik sama sekali, common bathroomnya luas dan ada banyak shower room.

 

Bersih dan Lengkap. Ada Hairdryer

 

Mengingat ukuran ‘kamar’ yang hanya segitu, mungkin akan ribet kalau membawa koper besar dan saat proses bongkar bongkar nyari barang. Tapi tetap dapat loker dan lemari penyimpanan kok. Saya hanya membawa koper kabin dan muat pas di celah kecil di kaki kasur, dan be organized maka segalanya bakal gampang. Travel bag organizer yang keliatannya sepele ini ternyata berguna banget. Taruh pakaian ganti dan sikat gigi and you’re good to go. 

Saya banyak tertolong soal tiket dan akomodasi dengan deduksi point Traveloka, kalau mau dapat banyak point harus sering sering beli tiket/booking hotel. Rajinlah menawarkan diri kalau ada yang mau beli tiket, ribet juga engga. Rumusnya per 250 rupiah booking hotel dan per 10.000 beli tiket pesawat dapat 1 point senilai 100 rupiah. Di kantor saya bisa beliin tiket pesawat dan hotel bos hingga 15 juta lebih, dapet poin senilai 150.000, lumayan kan.

Hiburan dan Transportasi

Pengeluaran cukup besar yang sering saya missed adalah transportasi. Kemarin pas ke Jepang ga berasa karena dicover paket tur dan di Singapura dicover travelmate. Kalau liburan masih di dalam negeri tinggal instal GoJek. Ternyata rate transportasi privat di KL ga terlalu bikin keki tapi perbedaannya signifikan antara pakai Uber dan taksi umum, selisihnya bisa sampai 15-20 RMPaling mahal mungkin ke Bandara, jarak KLCC ke KLIA2 bisa sampai 79RM pakai Uber (250 ribuan sebenarnya sama aja kaya ke Soetta dari Jakarta Pusat hahaha) tapi ada KLIA Express yang sekali jalannya 35RM (120 ribu) berhenti di KL Sentral dan 15 RM taksi ke area Vortex jadi yha sama sama ajaa hahaha.

Masa ke KL ga foto foto di Petronas? Dari area Vortex tempat saya menginap ke Petronas cuma 300 meter, jalan kaki nyampe. Lalu mikir seberdekatseberdekatannya lokasi wisata, tetap aja gempor kalau jalan kaki dan bakal mahal kalau naik Uber. Browing browsing ternyata ada fasilitas city tour murah, dari Petronas saya naik Hop On Hop Off city tour dengan tiket tembusan 24 jam 55RM (187 ribu) dengan total 23 perhentian di tempat wisata! Jadi sistemnya: beli tiket di bus stop manapun, naik terus turun aja di tempat wisata yang diinginkan. Setelah puas keliling/belanja/makan/foto foto, tinggal ke bus stop dan tunggu bisnya lewat per 20 menit. Seru kan, saya dapet 5 spot dari total 23 dengan durasi 2-3 jam di tiap tempat wisata.

WhatsApp Image 2018-01-24 at 11.16.32Kalau ke KL Tower siapkan sekitar 300 ribu untuk nembus sampai Sky Deck dan Sky Box, worth it kok. Selama efektif 24 jam di Hop On Hop Off saya sempat ke Petronas, KL Tower, Bukit Bintang, China Town dan tentu saja, nonton Fleet Foxes!

26071306_2016191691952402_1526895778927214592_n

Setelah merilis album ketiga di tahun 2017,  Skye Skjelset dkk makin.. aneh :)) aseli dari sebelas lagu di album Crack-Up yang bisa saya pahami maksudnya mungkin hanya tiga, sisanya percampuran lirik dan musik psikedelik yang kelewat tinggi. Namun dua album sebelumnya (self titled dan Helplessness Blues) adalah favorit saya. Malam itu mereka membawakan lebih dari 20 lagu dan KL Life literally rattled saat sing a long Mykonos bersama. Senang!

Salah satu sponsornya adalah Levi’s yang bagi bagi tote bag dan denim pouch gratisan lengkap dengan dua patch yang bebas dipilih. Mevvah!

Makanan

Ada tiga ras yang menjadi komposisi Malaysia secara keseluruhan. Melayu, India dan China. Ketiganya berakar sejak lama hingga terlihat pada perpaduan budaya dan makanan. Seorang kawan berkata bahwa makanan India terbaik bisa ditemukan di Malaysia setelah di India itu sendiri saking berakarnya ras ini di sana. Ada Little India dan China Town yang cukup merepresentasikan itu semua.

Nah masalahnya, I don’t like any of that food.

Don’t get me wrong, saya suka makanan berlemak bersantan dan heboh tapi hanya untuk waktu waktu tertentu. Lebaran misalnya. Sekarang coba eda bayangkan berada di negara yang sarapan Nasi Lemak makan siang Briyani makan malam Laksa adalah hal wajar. Gimana ga diare.

Yep, hari ketiga di KL saya terserang muntaber. Awalnya mengira masuk angin biasa karena telat makan, tapi kok sampai muntah muntah dan akrab sama toilet begini. Nelpon dokter kantor dan diagnosisnya either keracunan makanan atau muntaber. Niat untuk makan dan jajan enak di bandara KLIA2 yang konon salah satu bandara terkeren di Asia itupun sirna. Buru buru check in, menuju gate departure dan mencari toilet adalah prioritas utama.

Kecurigaan utama saya ada banyak, selain dari pencarian nasi yang dimasak apa adanya tanpa tambahan broth or coconut milk yang susah minta ampun (di satu resto pilihan nasi either Briyani, Pulau Rice atau Saffron) tapi China Town dan food stall di KLCC menjadi kandidat utama karena agak tidak higienis. Tapi kalau perutnya kuat dan doyan makanan bersantan khas Melayu, KL adalah sorga.

Nilai tukar RM yang ga terlalu menyakitkan (waktu itu 1RM=3.400 rupiah, dibanding Singapore yang nembus 10 ribu atau Jepang yang 1Yennya 112 rupiah sementara untuk semangkuk ramen pinggir jalan bisa 1.200 Yen atau 134 ribu sih bikin bahagia) membuat harga makanan maupun barang di KL tergolong bersahabat. Sebagai komparasi saya jajan di Uniqlo Suria KLCC Mall 89RM dapet 2 potong baju dan 1 celana non diskon yang mana hal tersebut adalah mustahil di Indonesia. Sementara untuk makanan dengan 7RM 5 sen (25 ribu) bisa dapat nasi hainan lauk iga bakar plus sup kuah daging di senia hawker (semacam warung tenda) di China Town. Tapi kalau di resto seperti Old Town yang terkenal itu seporsi nasi lemak lauk kari ayam bisa nembus 35RM jadi be wise yaaa (paling ngilu sih pas kelaperan sehabis konser lalu mampir di resto India yang rada high-end, ga ngerti menu akhirnya pesan chef’s recomendation dan for a not so satisfying dinner I have to pay 165RM hiks maratus rebu di Indonesia bisa buat makan sushi sampe teler)

Oleh Oleh

Nhaa, kalau ada niatan untuk merapel oleh oleh, inilah saatnya. Apalagi kalau dapat jatah bagasi 20KG, MANFAATKAN! di Bukit Bintang ada satu mall kecil namanya Sungei Wang. Di situ banyak toko yang menjual cokelat dan barang barang klise (kaos, keychain) dan murah. Setidaknya jika dibandingkan dengan kalau beli di Bandara hehe. Dengan budget 300RM saya bisa beli sekoper penuh oleh oleh dan masih ada sisa buat nyobain shiatsu di Fahrenheit88. Beli oleh oleh murah dan banyak (dan kalau bisa sifatnya netral) di satu negara biar kalau pergi ke negara lain ga harus beli oleh oleh. Tinggal bilang “Cuma sempat beli ini di bandara” mehehe.

Kira kira 4 hal di atas yang harus disiapkan pos budgetnya. Karena 40 persen dari masa liburan saya di KL isinya muntaber jadi saya ga terlalu boros di pos makanan. See, there will always be a silver lining on every pain wkwkwk.

Sampit, 24 Januari 2018

A Sad Sad World of Murakami

cropped

Penyebab Nani jadi sering makan Indomie

Perkenalan pertama pada buku Haruki Murakami adalah saat saya menemukan Norwegian Wood di tumpukan best seller Periplus dalam perjalanan ke Malang, 2015 silam. Sebelumnya, saya cuma tau soal penulis Jepang yang merajai laman utama Goodreads ini melalui seorang kawan yang menyebut namanya saat saya tanya tengah membaca apa. Lantaran judulnya seperti judul lagu The Beatles, sayapun membeli dan menghabiskannya saat liburan di Malang usai.

Saya ingat perasaan mencelos seusai membacanya lantaran dengan kejam Murakami menjabarkan secara detail soal perasaan kesepian. Bagaimana dengan santainya ia menulis soal it just another morning I woke up with an empty feeling seolah kemuraman itu sebuah kewajaran dalam keseharian orang orang Jepang. Saya lalu bertemu Kafka on the Shore, melanjutkan dengan Colorless Tsukuru Tazaki and His Pilgrimage Years, Strange Library dan What I Talk About When I Talk About Running (judulnya kek kumcer Raymond Carver aww) dalam kurun sebulan kemudian.

Akhirnya di bulan April saya dengan semena mena mengklik order SEMUA buku Murakami yang Periplus Online jual tanpa terkecuali. Saya memberdayakan gerakan Mari Makan Indomie demi Beli Buku Yang disukai selama nyaris sebulan dan mempertanyakan kenapa ga belinya pas THR udah keluar hahaha. Dua bulan kemudian datanglah 17 judul buku buku Murakami langsung dari Penguin Press.

Menginjak bulan kedelapan perkenalan dengan penulis yang kalau jogging gemar bertelanjang dada dan koloran doang ini, saya baru membaca tujuh dan menyisakan sepuluh lainnya untuk dibaca hingga akhir tahun. Hasilnya: stress :))))

Tiap menginjak halaman halaman menjelang ending, saya menyiapkan diri untuk menghadapi akhir yang kentang. Murakami tidak pernah menyediakan ending yang membuat kita menghela nafas lega karena tau tokoh utama akan baik baik saja. Ada kekhawatiran yang subtil soal “Duh mati bunuh diri nih abis ini nih” terhadap unnamed character di Dance Dance Dance, Toru Okada dan Tsukuru Tazaki sampai Kafka Tamura yang baru berumur 15 tahun. Semua tokoh utama laki laki ini digambarkan telah menemukan dan menyelesaikan apa yang mereka cari atau hadapi tapi ya tetap saja saya kuatir soal jangan jangan ending ini adalah cara Murakami mengisyaratkan bahwa mereka akan bunuh diri. 

Kesuraman ini saya dapatkan paling kuat di Kafka on the Shore. Bocah 15 tahun yang harus kabur dari rumah, terlibat kasus pembunuhan, meniduri ibu dan kakak perempuannya berdasarkan ramalan bapaknya. Segalanya serba gelap dan mencekam hingga saya meragukan kewarasan pak Murakami saat menulis cerita cerita ini.

Vivid detail of gruesome events! astaga! baru membaca tujuh buku saja saya sudah beberapa kali bermimpi soal kucing yang dibelah hidup hidup di Kafka on the Shore, lelaki yang dikuliti hidup hidup dan inevitable pain of Creta Kano di buku The Wind-Up Bird Chronicle. Dan Murakami yang dengan santainya menjabarkan perkara perkara telak soal kesepian, kesendirian, rutin yang membosankan seolah itu adalah hal normal yang membuat saya sedikit banyak kagum dan mengubah perspektif saya yang selama ini menganggap hal itu besar dan seluruh dunia kudu mengerti 😀

Yang membuat Murakami menonjol adalah bagaimana kritikus sastra menyampirkan nama Kafka dalam buku bukunya. Mungkin seperti Eka Kurniawan yang disejajarkan dengan Umberto Eco bahkan Salman Rushdie. Penempatan nama nama besar yang membuat orang bertanya tanya sehebat apa sih buku yang mereka tulis. Pujian adalah kutukan, kata Wiji Thukul. Meski kedua nama di atas (Murakami dan Eka Kurniawan) adalah penulis yang sangat saya gemari dan tidak dipungkiri kehebatannya dalam menulis, saya masih memiliki trah tersendiri antara Midnight’s Child dan One Hundred Years of Solitude dan Kafka on the Shore serta Cantik itu Luka.

Surealisme di buku buku Murakami memang menakjubkan. Bagaimana ia terpikir soal portal batu yang menghubungkan dua perfektur berbeda di Jepang. Bagaimana ia memasukkan unsur telekinesis sekaligus dual-persona bahkan beberapa layer kesadaran dalam satu tokoh dan bangsatnya itu terasa masuk akal di The Wind-Up Bird Chronicle.  Hahaha. Yang menjadi ciri adalah adanya realm atau dimensi lain dari layer kesadaran yang sekarang ini. Dan semuanya dijelaskan dengan tutur yang santai (di beberapa bagian bahkan saya merasa deuh ini part kok panjang amat yaaaa namun Murakami selalu berhasil menarik pembaca dengan tempo lamban tapi charming ini) sehingga segala keabsurdan dan surealisme yang disajikan tidak menggebu gebu dan serba mengagetkan.

Dalam Dance Dance Dance yang merupakan sequel dari Wild Sheep Chase, dibuat semacam alter ego si tokoh utama tanpa nama berupa Sheep Man dan ini merupakan buku ketiga dari trilogy Pinball – Wild Sheep Chase – Dance Dance Dance. Ada total seribu limaratus lebih halaman untuk dunia magis penuh kambing dari Murakami dan sialnya saya baca sampai tuntas :)))

Saat ini saya tengah menekuni Leila S Chudori – Sembilan dari Nadira sebagai istirahat singkat dari marathon Murakami sebulan belakangan. Cape mental tapi adiktif. Dan setelah proklamasi soal “Ah apaan sih Murakami, suram begitu bukunya” dalam diskusi bersama seorang penggemar buku di bulan Januari silam, saya kudu merevisi ucapan tersebut sebab sembilan belas buku Murakami telah terpesan.

Saya jatuh cinta, seperti orang orang di luar sana, pada Murakami dan kesuraman yang ditawarkannya.

And it feels almost like a magic.

Pergi ke Jepang dan Perkara Menghidupi Harapan

Meski seringkali menolak menyebut diri ini mempercayai lekatan sifat pada zodiak zodiak, saya tetap harus mengakui ini; Aquarian adalah kumpulan orang orang dengan impulsivitas tinggi. Kebetulan, tandem perjalanan/kawan sepermainan/rekanan serumah/god mothernya Bambang merupakan kelahiran 10 Pebruari. Maka setelah tahun kemarin memutuskan pergi ke Singapura pada malam sebelum keberangkatan, tahun ini agak mendingan karena “Nan, tanggal 7 ke Jepang yuk” meluncur sehari selepas gajian. H minus tujuh.

Mungkin jika yang membaca paragraf di atas adalah orang orang dengan kemampuan mengkonversi ingus menjadi duit, perkara bepergian ke luar negeri tanpa perencanaan berbulan bulan (atau setidaknya niatan jauh jauh hari) adalah hal biasa. Namun bagi pekerja kelas rendah dengan total pendapatan (bukan cuma gaji lho ya) yang tidak lebih dari enam juta sebelum dipotong KPR dan cicilan kartu kredit ini, pergi ke luar negeri adalah perkara pelik yang membutuhkan perencanaan paling tidak enam bulan sebelumnya agar tidak terancam kelaparan sepulang liburan.

Setelah September kemarin memboyong keluarga Anwar ke Jakarta untuk liburan dan mendadak kabur ke Jogja Oktobernya, saya sebenarnya tidak ingin ke mana mana hingga akhir tahun. Tapi namanya manusia ya, kalau pengen sesuatu adaaa aja jalannya. Jadi ceritanya, dulu saya ikut ikutan hype “Simpan uang 20 ribuan seketemunya” yang (kalau tidak salah) dipopulerkan oleh konsultan keuangan itu. Total 20 ribuan saya sejak 2016 kemarin ternyata hampir lapan juta~

Ditambah tabungan untuk pos hura hura, berangkat ke Jepang akhirnya kejadian juga. Setelah membayar lunas paket tour kami ke Haneda via Singapore Airlines yang konon salah satu maskapai terbaik itu. Makanannya enak sih, untuk takaran makanan pesawat. But who am I to compare ya, pesawat paling canggih yang pernah dinaiki cuma kelas satu Garuda Indonesia. Eniwei setelah total delapan jam di udara, kami tiba di Tokyo jam enam pagi dan langsung city tour lalu berhenti di Tokyo Tower.

IMG_1299

Karena bus berhenti tepat di bawahnya, ngambil foto utuhnya susah sekali Jendral~

Setelah belanja souvenir khas TT di lantai bawah, saya ketemu satu stall ramen di pojokan. Cara pesan makanannya lucu, pakai vending machine lalu begitu tiket makanan keluar, dikasih ke mas/mbanya. Tunggu sebentar, jadi deh. Satu stall yang agak gede cuma berpegawaikan satu orang sebagai koki karena urusan kasir sudah dihandle mesin. Hari lain saya makan gyudon di Osaka, konsepnya sama pakai vending machine dan pegawainya cuma 2 orang padahal kapasitas tempat itu bisa nyampe 50 orang. Dan cepet banget jadinya padahal saya kira bakal lama lantaran pegawainya dikit.

Makanan di Jepang sejauh yang saya temukan ga ada yang ga enak. Istilah umami kayaknya beneran diterapkan di setiap makanan. Salah satu spot makanan menarik adalah di kuil Fushimi Inari. Sepanjang jalan menuju deretan Tori (gerbang) yang jadi lokasi syuting Memoar of Geisha itu isinya street food yang murah dan enak. Murah karena nyaris semua stall menaruh harga 500 yen untuk satu porsi makanan yang selain enak, porsinya besaaar. Saya nyoba tiga potong kobe beef yang lumayan tebal, satu porsi isi 6 bola takoyaki dan gurita masing masing 500 yen. Kalau dikonversi ke rupiah sekitar 60 ribu kali ya. Nampuluh ribu well spent itu sih.

Banyak yang bilang kalau Jepang itu mahal. Jawabannya ya relatif. Kalau dari sudut pandang orang yang bisa mengkonversi ingus menjadi duit misalnya, ngabisin 1000 – 1200 yen untuk selembar baju I love Japan tentu biasa aja. Sementara kalau dari sudut pandang orang yang biasa beli kaos oleh oleh di Krisna tentu 122 ribu untuk selembar kaos adalah penistaan terhadap prinsip beli barang oleh oleh Murah dan Banyak.

Jadi saya menghindari membeli oleh oleh di tempat wisata, saya lebih suka ke toko 300 Yen yang banyak cabangnya itu dan banyak menemukan oleh oleh lucu dan Jepang banget di toko itu. Bisa dapet kaos dan totebag jejepangan dengan harga 30 ribuan itu kan menyenangkan sekali ya coy~~

Eniwei setelah dari Tokyo Tower kita bergerak ke untuk makan siang di restoran Shabu Shabu. Enak dan mewah sih ini secara per porsinya 1800 yen yha. Setelah makan siang lanjut ke Asakusa untuk main ke Sensō-ji, kuil Buddha yang tidak begitu menarik perhatian saya karena selain antrian naik ke kuilnya luar biasa padat, saya tidak mengerti di mana letak keseruan selfie dan berfoto di tempat ibadah.

Di Asakusa saya memilih untuk berkeliling di halaman dan ngemil yang enak enak di tenda tenda jajanan sepanjang kompleks kuil.

IMG_1369

Heran kok barang vending machine begini bisa enak banget

Sorenya bergerak ke Kawaguchi-ko, atau Danau Kawaguchi. Danau ini sendiri merupakan hasil muntahan Gunung Fuji yang berubah menjadi danau. Kebetulan lagi akhir musim gugur jadi pohon pohonnya merah dan cakep banget astagaa. Di Kawaguchiko suhu malam hari masih 5 – 10 derajat. Lumayan dingin dibanding Tokyo – Asakusa yang 15 derajat. Di sini kita bermalam dan nyobain mandi di Onsen sebelum besoknya ke Gunung Fuji.Saya ga ngerti bagaimana agent travel memikirkan caranya, tapi kok ya selama di Jepang (lima hari) dan di pesawat (dua hari) saya merasa dimanja banget. Makanan tiga kali sehari enak enak, hotel yang pas dicek di Traveloka nembus 2 juta semalam dan seterusnya. Mana terbangnya pakai SQ yang sekali jalan bisa nembus namjuta pula. Gatau deh. Yang pasti worth every pennies.

IMG_1460

Bangun pagi dengan pemandangan begini bagaimana tidak ingin tidak pulang coba

IMG_1453.JPG

Di seberangnya beginian. Kelar.

Setelah puas di Kawaguchi-ko, perjalanan dilanjutkan ke level lima Gunung Fuji. Kami cukup beruntung karena cuaca cerah dan bisa naik sampai level lima. Banyak yang bilang kalau naik ke sana termasuk untung untungan. Yha rezeki anak yang sering menabungkan uang 20 ribuannya mungkin ya.

Puas kedinginan pada suhu minus satu di level lima Gunung Fuji, kami bergerak menuju Hamamatsu untuk bermalam dan besoknya ke Gotemba Premium Outlet. Di Gotemba ini adalah “tempat sampah”nya Mall besar di kota (FYI Gotemba letaknya di tengah tengah pedesaan). Jadi nyaris semua barang bermerk bisa ditemukan setengah harga di sini meskipun modelnya tertinggal satu-dua musim. Tempatnya luas sekali astaga, dari 2,5 jam waktu yang diberikan untuk berbelanja, saya yang memang sejak awal tidak ingin belanja barang bermerk yang walaupun katanya sudah setengah harga tapi masih aja mahal itu, memutuskan untuk membeli Swatch untuk kakak (dari harga normal di atas sejuta di Indonesia jadinya 6000 yen atau 700 ribuan) dan nongkrong di Philly’s. Sandwich “cuma” roti sama daging steik kok ya bisa enak banget begitu ya.

Dari Gotemba kami bergerak ke Hamamatsu untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Kyoto. Perjalanan ke sini dari Gotemba sekitar 1,5 jam dan lanjut ke Kyoto sekitar 2,5 jam. Awalnya saya heran kenapa jalannya jauh jauh, kenapa ga stay di Tokyo 2 hari dan muter muter kota, misalnya. Ternyata jadwal sudah disusun serapih dan sejauh itu biar yang ikut tur puas walaupun mungkin cuma sekali seumur hidup ke Jepang.

Di Kyoto, kami main ke Kyomizu temple. Di sini makan enak dan nyobain Kimono yang lapisannya udah kayak Baumkuchen yang entah kenapa populer banget di Jepang (di beberapa stall bahkan menulis ini oleh oleh khas Jepang yakale kan yaaa). Dari Kyomizu lalu ke Kinkakuji Pavilion rumahnya raja zaman dulu yang kayaknya kalo jadi raja males banget ke mana mana jalannya jauh padahal masih satu kompleks ckckck.

Dari Kinkakuji lanjut ke Fushimi Inari. Yang menarik dari tempat ini adalah (lagi lagi) street foodnya hahaha. Di sini sepanjang jalan isinya tenda jajanan dengan harga 500 – 1000 yen per porsi yang tidak hanya bikin kenyang lantaran guede juga bikin hati bahagia kok bisa daging dipanggang doang enaknya keterlaluan~ Oh ya, Fushimi Inari juga terkenal melalui film Memoar of Geisha dengan adegan Saki kecil berlarian di Torii (gerbang) yang totalnya lebih dari 10.000 itu.

Di Fushimi Inari ada banyak Rubah (Kitsune) yang terlihat creepy (mungkin gegara main di sana senja jadi kesannya beda kali ya) Kitsune di sini adalah dewa penjaga karena pada masanya daerah situ merupakan penghasil padi gitudeh.

Dari sana lalu bergerak ke stasiun untuk mencoba naik Shinkansen. bullet train bukan untuk gegayaan agar terdengar keren. Jarak antara Kyoto ke Osaka kalau naik mobil sekitar 2 jam. Dengan Shinkansen cuma 12 menit wankawan. Bahkan untuk jarak seperti Jakarta – Surabaya (Tokyo – Osaka) cuma 2 jam. Yah masih kenceng naik pesawat sih tapi kan kalo naik Shinkansen di dalemnya selow banget, bisa jalan antar gerbong, ngudud lucu (di beberapa gerbong ada fasilitas smoking room) atau jajan makanan.

IMG_1815

Sayangnya tidak non local spoken friendly

IMG_1828

Basement stasiun shinkansen Osaka yang isinya sepeda semua.

Setibanya di Osaka sekitar jam 7 malam. Saatnya apaaaa? yak betul. Makan makan lagi. Kali ini nyobain Yakiniku di lantai 20 building entah apa namanya abjad Jepang semua ya neyk. Setelah makan barbeque buffet sepuasnya, menuju hotel Osaka Da-ichi yang kebetulan pas di tengah kota. Jadilah dua anak perempuan ini menggelandang hingga menjelang tengah malam di jalanan kota yang suhunya 10 derajat itu.

Besoknya menuju Osaka Castle, saya yang udah bosen liat kuil memutuskan untuk nongkrong di taman di antara daun sakura yang berwarna merah dan secara menakjubkan terlihat seperti pohon dan daun jambu. Ada Ginko, Momiji kyaaa~ sebagai orang yang berasal dari negara dengan keseharian melihat pohon kalau ga hijau ya cokelat kering, melihat daun dauh merah begitu adalah kesegaran tersendiri.

Setelah nongkrong di Osaka Castle, kami menuju ke Shinsaibashi. Sorga makanan enak dan outlet belanja. Di sini saya ketemu toko 300 yen dan mborong oleh oleh. Selama lima jam waktu sebelum ke Bandara, ritme saya adalah jalan keliling sampe laper (kompleksnya luas banget), jajan gyudon. Jalan lagi sampe pengen boker, terus jajan omurice, begitu seterusnya. Sayangnya cuaca lagi berangin jadinya dingin banget, saya sampai khilaf mampir ke salah satu outlet buat beli sweater dan mantel padahal buat apa nyampe Indonesia ga kepake juga. Tapi daripada beku di suhu 2 derajat ya coy.

Perjalanan ke Jepang berakhir di Sinsaibashi Osaka ini. Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Pergi ke Jepang sekaligus mencoret satu bucket list yang ditulis pada 2011 silam dan resolusi 2017, saya lupa melihat di mana tapi ada satu quote image yang bilang :

and I already walks on mine

 

Jakarta, 12 Nopember 2017

 

Labuan Bajo and Additional Kitten Band Player

Lima hari untuk Labuan Bajo meninggalkan keling yang belang belang dan sekurangnya seribu foto untuk dipamerkan melalui hashtag #latepost. Total tiga hari dua malam diombang ambing laut yang kadang tenang kadang bikin makan siang terlunta lunta di lambung dengan akomodasi kamar sederhana untuk berempat, saya belum pernah merasa seakrab ini dengan orang hahaha.

Rute yang diambil adalah Pulau Kelor – Pulau Rinca Konservasi Komodo – Pulau Padar – Pink Beach – Manta Point – Gili Lawa – Pulau Kanawa lengkap dengan sunrise saat sandar di Pulau Kambing dan sunset

di Pulau Kalong. Dari semua pulau tersebut di atas hanya Pulau Kanawa yang berpenghuni, sebuah resort kelolaan lokal yang kemudian diakuisisi oleh pengusaha Australia (sedih ya neyk) karena tergolong dekat dengan Labuan Bajo (30 menit via speedboat)

Dua kali trekking, masing masing di Pulau Kelor dan Pulau Padar dengan menaiki bukit yang tidak seberapa tinggi namun cukup bikin ngos ngosan untuk melihat – mungkin akan terdengar berlebihan untuk traveller yang udah ke mana mana- pemandangan paling indah dalam sejarah 25 tahun kehidupan saya.

DCIM100GOPROG0390506.JPG

Aktivitas Sehari Hari Selama di LB

Snorkeling sepuasnya adalah penawaran yang tidak bisa saya indahkan saat diajak liburan kali ini. Semenjak menjadi pemilik Tusa Black Series dan semakin jago berenang, saya suka heboh sendiri saat menyangkut snorkeling-snorklingan.

Sekaligus rupanya saya tanpa sadar telah mencentang dua resolusi di tahun ini. Menonton kembali AriReda dan menambah satu provinsi baru (Nusa Tenggara Timur) dalam daftar provinsi di Indonesia yang telah dikunjungi. Seperempat abad hidup yang nampaknya tidak terlampau buruk untuk terus dijalani.

DCIM100GOPROGOPR0891.JPG

Pose HQQ

DCIM100GOPROGOPR0854.JPG

Padar Island

Adalah langit, laut dan matahari yang menjadi kawan selama lima hari di Labuan Bajo. Menyenangkan sekali ❤ ❤

IMG20170326063855[1]

Pink Beachnya Keliatan!

Namun sebelumnya saya menyempatkan untuk mampir ke Jakarta dan menyaksikan konser peluncuran album baru AriReda, Suara Dari Jauh. Pagelaran kali ini mengambil tempat di Gedung Kesenian Jakarta (terakhir ke sini saat pertunjukan Teater Bunga Penutup Abad) dengan lini penampil Adrian Cholil dari Efek Rumah Kaca, Gunawan Muhammad dan tentu saja, AriReda!

VENR7980[1].jpg

Amazing Night with an Amazing Voices

Satu kabar terbaru, setelah yakin bahwa Bambang telah cukup besar (dan tidak lagi rewel soal makan-minum-pup) untuk memiliki kawan bermain, saya mengiyakan keinginan seorang kawan menitipkan kucingnya di rumah. Persian purebred yang kalau dijual bisa buat DP KPR dengan tingkat kemandirian luar biasa. Sejarah si kucing (yang kemudian saya kasih nama Mahmud) ini kesianan sekali. Kawan saya ingin menikah dan ibu mertuanya bilang jika ingin cepat punya anak jangan miara kucing. Maka diungsikanlah dua kucing persianya yang amit amit mahal itu ke penitipan kucing terdekat. Tahun berlalu, si kawan rutin membayar hingga akhirnya terlupa di beberapa bulan terakhir saking lamanya kucing kucing itu dititip.

Long story short, saat kembali ke penitipan kucing dua kucing itu sudah dijual pemilik penitipan lantaran ga bisa menanggung biaya hidup mereka. Teman saya protes dan akhirnya sebagey kompensasi dia dikasih Mahmud. Si teman menyebut oke namun kembali menitipkan Mahmud ke penitipan itu tanpa curiga bahwa Mahmud bisa berakhir dijual juga.

Eniwei, pas Bambang divaksin untuk kedua kalinya di tempat penitipan yang merangkap mantri kucing itu, kawan saya ikut untuk menengok Mahmud. Kesianan, Mahmud dekil karena tau sendiri Persia hidungnya ga nyampe sesenti jadi gampang dekil, bau karena mungkin ga pernah mandi seumur hidupnya walopun habitual kucing emang ga mandi but still, ditambah tempat penitipan yang sumpek dan ga hewani karena Mahmud senantiasa dikandangin. Karena nampaknya Bambang akan baik baik aja dikasih adik adopsian, Mahmudpun saya vaksin dan bawa pulang.

IMG20170406185100[1]

Lalu Mereka Kejar Kejaran, Gigit Gigitan, Guling Gulingan Tepat Pada Saat Saya Siap Tidur

07 April 2017

Maybe I’m ended up being a cat lady

A travel addict cat lady

hahaha.

Let’s Jump! or Climb, or Swim, as Long as You’re Happy

Menginjak bulan ketiga dan saya telah menamatkan empat sesi liburan dalam kurun waktu dua bulan. Tidak terlalu buruk mengingat saya jarang jarang merasa gemar bepergian. Pada 18 – 20 Februari silam saya memanfaatkan kembali sistem liburan tanpa cuti dengan ide untuk bepergian yang muncul pada malam hari sebelum keberangkatan. Benar adanya, saya adalah satu dari sejuta umat yang jika merencanakan sesuatu kelewat matang, cenderungnya malah ga jadi hahaha.

Kali ini dengan penerbangan pagi kami ke Surabaya di hari Sabtu. Berencana untuk ke Batu – Malang dan menyusun itinerary  objek wisata berupa Musium Angkut – Batu Night Spectacular – Eco Green Park – Jatim Park 2 seperti turis turis pada umumnya. Saya sekaligus mengemban tugas memperkenalkan tempat tempat di atas pada rekan travel yang tidak pernah ke Batu sebelumnya.

Namun dalam perjalanan dari Surabaya – Batu sebuah ide brilian muncul. Bahwa mumpung di Batu, kenapa ga ke Bromo aja sekalian! Meski Bromo telah menjadi tempat wisata dan tidak membutuhkan persiapan selayaknya mendaki gunung beneran namun tetap saja merencakan pergi ke Bromo tidak dapat disamakan dengan pergi ke warung depan. Pada akhirnya tentu saja impulsivitas yang menang!

img_0182

Touchdown Batu jam 2 siang. Langsung rafting!

img_0240

Jumping from the 3 mtrs high water dam

img_0190

Musium Angkut & BNS di malam hari

img_0223

Terakhir ke sini 2015 akhir, isinya masih sama sama aja

img_0332

Nunggu sunset kek ayam mati dalam freezer. DINGIN.

img_0383

Sunset di atas gunung, check.

img_0361

On our way back to Batu

img_0387

Kawah bromo yang bau belerang

img_0394

Ke sininya kudu nanjak 250 biji anak tangga. Copot dengkul Habibie.

img_0399

Menujunya sih naik Jeep sama kuda…

whatsapp-image-2017-02-24-at-4-47-53-pm

And I still got enough time to finish in through the weekend yay!

Sebagai informasi bagi warga negara yang ingin menunaikan liburan tanpa cuti a la kami, maka pengaturan waktu dan badan yang sehat adalah segalanya. Beruntung kami cukup sehat untuk memepatkan hal hal seru lengkap dengan drama dari kantor yang mengharuskan saya mengerjakan revisi peta dan Farida harus mengurus bagasi bos yang ga kebawa ke Malaysia! Selama kurang dari 48 jam di Surabaya – Batu, kami sempat melakukan:

  1. Rafting (tiba dari Surabaya jam 2 siang, langsung ke Kaliwatu)
  2. Musium Angkut (selesai rafting jam 5 sore, ganti baju dan langsung pergi)
  3. Batu Spectacular Night (Musium Angkut hanya buka sampai 8 malam, jadi banyak waktu di sini)
  4. Bromo (berangkat jam 12 malam setelah tidur 2 jam sepulang dari BNS)
  5. Penanjakan 1 – Pasir Berbisik – Kawah Bromo (trekkingnya lumayan jauh, tangganya landai sekali~~)
  6. Ngemall, OFC (setelah 4 jam dihajar jalanan Batu – Surabaya, akhirnya tiba di Ciputra)
  7. Safe and sound di Bandara sebelum pukul 8 malam.

Cape? BUANGET. Tapi ya itu, konsekuensi hahaha. Tapi sungguhlah ini menyenangkan sekali.

Saat ngantor kembali di hari Senin, saya mendapat telepon dari redaksional surat kabar internal group kami di Malaysia. Rupanya berita tentang orangutan yang dibantai dan dimakan oleh oknum di perusahaan sawit di Kapuas telah menarik perhatian internasional. Sebagai prevensi, diutuslah saya untuk mengunjungi area konservasi orangutan di Lamandau – Pangkalan Bun di mana perusahaan kami telah melepasliarkan 4 orangutan tahun silam. Maka berangkatlah saya dengan pantat yang belum sepenuhnya lurus untuk berkendara darat 4 jam dan sungai 2 jam. Fyuuhh.

dsc01226

Nenek moyang nih.

dsc01265

Feeding time.

dscn4814

Hutan selepas hujan. Tebak isinya apa? NYAMUK DI MANA MANA.

Ini minggu yang menyenangkan. Akhir pekan akan dihabiskan untuk mengembalikan tulang belulang dan segenap otot ke fitrahnya. Cape sekali jendral!

Sampit, 24 Februari 2017

I might have nothing in my pocket but I have tons of memories I won’t trade it with anything 🙂

How Far 2017 Would Go

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/38/74/86/3874865264ee88852c1061f9b27023e9.jpg

I can’t make money I’m not Bank Indonesia

Saya ingat betul, pada Juni 2010 dalam perjalanan ke sebuah bukit di Cikarang – Jawa Barat untuk pemotretan poster film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya saya mengatakan ini pada Jeanny, wardrobe yang kami hire hari itu:

“Aku ga suka travelling, ide untuk capek capek terbang lama dan segala keriweuhannya bikin males aja” just like an asshole saat Jeanny bertanya apakah saya suka jalan jalan. Saya ingat betul kalimat ini karena memang seumur 19 tahun hidup saya kala itu, Jakarta adalah satu satunya destinasi travelling paling jauh yang pernah saya jejak. Sembilan belas tahun hidup tanpa pernah sekalipun berlibur saya terus menumpuk ide bahwa liburan is a waste of money and energy.

Butuh rentang enam tahun untuk bekerja dan bekerja demi ‘menabung’ CV yang bagus hingga akhirnya bisa mendapat pekerjaan dengan gaji yang bersisa untuk liburan di penghujung bulan. Jika saya menghabiskan bertahun tahun untuk membaca dan membuka dunia dari tulisan semata, maka dimulai sejak usia 23 saya ingin keluar dan melihat dunia sebenar benarnya.

Destinasi travelling saya di 2016 sudah saya bagikan di sini dan membaca kembali entry tersebut mampu membangkitkan senyum. Bahwa meski lemari baju saya tidak penuh terisi barang barang mahal bermerk ataupun tidak makan di restoran mewah setiap hari, hati saya penuh dengan kenangan kenangan baik tentang tempat dan orang orang baru #tsaahhh.

Ada jutaan deskripsi soal mengapa travelling dapat mengubah seseorang, dan satu hal yang saya pahami adalah hal itu benar adanya. Perspektif yang akan bertambah luas dengan pertemanan yang kian banyak adalah satu dari sekian juta mengapa saya begitu menggemari bepergian. Saya mengenal dan mendengar langsung kisah hidup orang orang yang menakjubkan.

Pemandangan yang menakjubkan, pengalaman yang mencerahkan pikiran, they’re really are, things that money can’t buy.

Jurnal travelling 2017 akan saya cicil perlahan dalam entry entry mendatang untuk dikompilasi pada akhir tahun. Dan hitung mundur dimulai sejak Tahun Baru!

Lombok – Gili Trawangan (26 Desember 2016 – 02 Januari 2017)

Sejak pertengahan Desember saya dan Farida sudah kasak kusuk merencanakan ingin berlibur ke mana. Ide bermunculan mulai dari Phi Phi Island, Vietnam (lagi) sampai Maldives! serba muluk memang. Saya sudah berniat untuk ke Bali dalam rangka tahun baru akhirnya setuju untuk melanjutkan perjalanan ke Lombok.

Snorkling adalah kegiatan baru yang saya gemari. Ada kesenangan tersendiri dalam berenang-berlama lama mengambang di lautan dan mengamati laut dari dalam air. Kalau mau roromantisan dan sok sok filosofis, saya menyenangi kesunyian yang absolut saat berenang dan seperti Capricorn kebanyakan (Murakami misalnya hahaha) saya cuma betah melakukan olahraga egois yang tidak melibatkan tim. Saya baru bisa berenang di akhir 2016 setelah 4 bulanan rutin belajar setiap minggu. Di Belitong saya belum berani berenang di laut tanpa life jacket barulah di Gili saya berani berenang di laut sebebas bebasnya!

Kejeniusan bermula dengan dibelinya tiket ke Lombok hingga 2 kali transit padahal ada penerbangan langsung Surabaya – Lombok tanpa harus transit ke Bali terlebih dahulu. Alhasil kami cuma punya kurang dari 24 jam untuk snorkeling di tiga spot di Gili karena keburu abis buat dua kali transit dan nginep di Bali.

Genius.

 

img_8096

Lombok Barat

img_8105

Snorkling Addict @Gili Trawangan

img_8140

Ada Gunanya Belajar Berenang! @Gili Meno

img_8148

Seaside’s Gelato

img_8158

Pelabuhan Gili Air

img_8229

Ngambang di Laut!

Semarang (27 – 29 Januari 2017)

Ini adalah sederet upaya trial kami kaum serikat buruh untuk memanfaatkan hari libur yang hanya 2 hari. Berbekal nekat bolos sebelum jam pulang di hari Jumat untuk mengejar penerbangan ke Semarang, berempat kami berhasil menggeber beberapa situs wisata di Semarang biar kaya turis kebanyakan :)))

img_9204

Gedong Songo

img_9242

Naik Kudaaaaa

img_9275

Lawang Sewu dengan Formasi Paling Turis Sedunia

Candidasa – Bali (04 – 08 Februari 2017)

Dalam rangka disuruh ikutan training lalu melipir ke Bali ngoahahhaa. Cuti yang tidak melimpah membuat jadual bepergian harus diatur sebaik baiknya. Kepingin mengulang pengalaman snorkling, saya bergegas ke Candidasa, sebuah desa keciiiil sekali di Kabupaten Karang Asem, dua jam perjalanan dari Bali. Mendapat review sebagai destinasi gateway yang baik lantaran jauh sehingga ga terlalu ramai, saya mendapat kesempatan untuk melihat Bali dengan wajahnya yang lain. Yang ramah, murah dan menyenangkan :*

img_9712

Blue Lagoon – 2nd Spot of Snorkeling

img_9592

Pantai Lebih, Klungkung

whatsapp-image-2017-02-09-at-5-13-59-pm

Virgin Beach – 3rd Spot of Snorkeling

whatsapp-image-2017-02-09-at-5-17-38-pm

In the Name of Wide Blue Sky and Deep Blue Sea ❤

whatsapp-image-2017-02-09-at-5-22-40-pm

Candidasa – 1st Spot of Snorkeling

WhatsApp Image 2017-02-09 at 5.24.39 PM.jpeg

Gosong tapi BAHAGIA!

Dulu, ketika saya membaca jurnal travelling mereka yang menyebut bahwa Indonesia cantik, kaya dan sayang untuk dilewatkan hanyalah basa basi traveller yang ga punya duit buat ke Maldives (yea, I was that naive) namun ketika melihat sendiri tempat yang dimaksud membuat saya sadar betapa beruntungnya kita orang Indonesia. Segenap keindahan alam dapat diakses dengan mudahnya meski well harus diakui beberapa tempat memang menguras kekayaan untuk disambangi. Namun jika dibanding dengan bule bule yang harus menempuh belasan jam penerbangan, melewati imigrasi dan berpotensi lost in translation maka sungguh, kita orang Indonesia beruntung adanya.

There was a time when I woke up in the middle of he night and feel that my life is such a mess. That I’m a lonely worthless human being. It happens in so many time it starts to affect my sleeping routine. Today when I saw Nani back in two years ago, I really want to thank her for being such a braveheart by taking a chance and conquering the worries of traveling alone in a perfectly strange place.

Eh sekarang malah kecanduan traveling sendirian hahaha.

Beberapa kawan berturut turut menjadi 25 di tahun ini. Saya senang membaca entry blog dan posting media sosial mereka. Usia 25 adalah spesial, konon katanya. Seperempat abad dengan persoalan Quarter Life Crisisnya. Saya justru -semoga tidak ada jinx di kalimat ini- menggenapi usia 25 dengan perspektif bahwa saya sudah mengalahkan krisis usia 25 itu. Betapa di usia ini tidak lagi saya temukan kegalauan kegalauan soal ke mana saya harus berkiblat dan mau jadi apa. Krisis atas penetapan formulasi pertanyaan filosofis paling klasik soal Who am I?

Bikin entry soal Millenials ah.

2017 masih panjang, kegemaran snorkeling semoga senantiasa dipertemukan dengan laut yang cantik dengan biota bawah laut yang masih asik. Semoga senantiasa punya cukup uang untuk bepergian sebab bucket list sedemikian panjang. Semoga di usia 25 bisa punya diving licence biar makin asik main di bawah air.

Sampit, 09 Februari 2017

Labuan Bajo, Maret teteh datang!!:)))

 

Liturgi Melankolia dan Semiotika Rajatega

Begitu mendapati buku Setelah Boombox Usai Menyalak dalam kiriman buku bulanan dua bulan silam, saya segera menjadikan buku bersampul cokelat ini sebagai next playlist dalam anggaran baca buku bulanan saya. Begitu menyelesaikan 1Q84 yang naudzubilah tebalnya itu, saya justru terlupa dengan keberadaan buku yang belinya pakai acara ngotot dulu sama mas Ilham lantaran dicetak terbatas dan PO dulu duluan ini. Hingga tiga buku kemudian barulah saya ngeuh kalau saya masih berhutang janji untuk menamatkan buku ini.

Untitled.jpg

Tiap berhasil menamatkan buku di kantor, saya merasa seolah melakukan sebuah pemberontakan melalui metode makan gaji buta :))

 

Herry Sutresna yang kemudian lebih dikenal sebagai Ucok Homicide adalah salah satu pembesar skena hiphop underground di Bandung. Eranya bangkit beriringan dengan nafas musik metal yang berembus dari wilayah rural Ujung Berung. Meski bukan penggemar hip hop secara partikular, kesukaan saya pada musik underground di era 2007-2011 sedikit banyak mengantarkan saya pada karya karya Pak Ucok, utamanya melalui Homicide.

Beberapa lagunya kerap saya jadikan anthem bagi kondisi sosial terkini. Saat FPI tengah mendesak Jaringan Islam Liberal dan kerap melakukan sweeping pada diskusi diskusi kiri, misalnya, saya akan bergumam lagu Puritan dan mengutip sepenggal-dua penggal liriknya untuk di-tweet. Atau saat agak berlebihan membaca buku buku sufistik, maka Siti Djenar Cypher Drive akan menemani kepala saya seharian. Juga pada setiap peringatan hari diculiknya Wiji Thukul, saya akan memutar Sajak Suara yang merupakan musikalisasi dari puisi beliau.

Semiotika Rajatega, Panoptikanubis, Membaca Gejala dari Gejala, Boombox Monger dan beberapa nomor lainnya telah saya hapal di luar kepala tanpa motivasi apapun kecuali memang ingin dengan mudah mengutip liriknya sewaktu waktu.

Lirik. Adalah satu satunya alasan mengapa saya mendengarkan Homicide.

Ketika Pak Ucok menggagas zine Lyssa Belum Tidur, saya adalah yang paling semangat membongkar paket kiriman kengkawan dari skena indie Bandung. Aneh, sekian tahun berlalu sejak saya demikian akrab dengan Bandung namun tidak sekalipun pernah menjejakkan kaki di kota itu meski sekian belas kota dan sekian negara lain telah dikunjungi. Lalu kebiasaan itu berkurang hingga lenyap sepenuhnya di beberapa tahun belakangan.

Maka rasanya tidak berlebihan jika kemudian buku ini menjadi ajang nostalgia yang agak melankolis untuk saya. Seolah diingatkan pada masa di mana ideologi dan kemampuan dialektika adalah hal penting, paling penting dan tiada lain yang lebih penting. Masa di mana saya lebih menggemari berdiskusi perkara langitan hingga menjelang pagi tinimbang menghabiskan malam minggu dengan berkencan. Jatuh cinta adalah perkara asing sejak dialektika menjadi komoditas penting.

Sebagian besar isi buku telah diterbitkan untuk berbagai majalah dan zine musik, nasional maupun lokal. Sebagian besar isi buku juga telah saya baca dalam blog, website dan zine yang ditulis Pak Ucok. Bercerita tentang sejarah pembentukan Homicide yang berawal dari Godzkilla hingga Morgue Vanguard sampai pada titik di mana ia menjadi orang paling dicari untuk urusan skena hiphop Bandung.

Perseteruannya dengan Tufail al Ghifari adalah satu dari sekian hal yang mengingatkan saya pada kekuatan lirik yang digunakan Pak Ucok. Hal ini tentu saja didasari oleh asupan bacaannya yang tidak main main. Sederet nama filsuf Yunani hingga sosialis abad 17 menjadi pembuka buku setebal 225 halaman ini.

Buku ini akan dan telah menjadi satu dari beberapa buku skena lokal Bandung yang saya suka (dan putuskan sebagai harta berharga). Pak Ucok telah sekali lagi memberikan kausal mengapa saya sangat suka beliau sebagai penulis..

Kedua setelah Pak Kimung, tentu saja! hihihi.

Fasis yang baik adalah fasis yang mati! – Homicide, Puritan.

Between the Monster, Sea and Magnetic Zero

Di tahun ini keakraban saya dengan Spotify meningkat. Ditandai dengan secara rutin menjadi satu di antara sekian juta subscriber yang turut menanggung biaya hidup orang orang di belakang aplikasi musik satu ini setiap bulannya.

Spotify mendekatkan saya dengan indie-folk lebih jauh lagi berkat algoritma tebak tebakkan mereka melalui menu Discover Weekly setiap minggunya. Sistemnya sederhana, mereka membuatkan playlist dengan musisi musisi yang berkaitan dengan musik yang sering kita dengarkan. Berhubung dosis harian saya muter muter di First Aid Kid, Laura Marling, Mumford and Sons serta Imagine Dragons, maka yang muncul adalah beberapa nama ini yang dalam setahun belakangan lagu lagunya saya nyanyikan dengan segegap gegapnya gempita yang saya punya.

Of Monster and Men

https://i0.wp.com/66.media.tumblr.com/6c9b3bed815e5d023b43e172f973db8c/tumblr_ob0p4k6FWk1vu4ih3o3_1280.jpg

Gayanya bolela, kek band band Grunge 90an

Nuansa kampung halaman band ini – Iceland – terlihat kental dalam lagu Little Talk yang secara viral menjadikan band ini dikenal. Paus raksasa, laut lengkap dengan gunung esnya, orang orang berjaket bulu tebal memburu paus, dan seterusnya. Album My Head is An Animal (yang kemudian muncul sebagai sepenggal lirik dalam lagu di atas) menjadi bagian dalam playlist harian tanpa kecuali. Nomor nomornya menarik, seperti Dirty Paws (yang menjadi soundtrack film The Secret Life of Walter Mitty), King and Lion Heart dan favorit saya tentu saja, Chrystal.

Edward Sharpe and the Magnetic Zero

Gara garanya sepenggal bridge sebelum refrain yang berbunyi;

‒ Jade?
‒ Alexander?
‒ Do you remember that day you fell outta my window?
‒ I sure do‒you came jumping out after me.
‒ Well, you fell on the concrete, nearly broke your ass, and you were bleeding all over the place, and I rushed you out to the hospital, you remember that?
‒ Yes, I do.
‒ Well, there’s something I never told you about that night.
‒ What didn’t you tell me?
‒ Well, while you were sitting in the back seat smoking a cigarette you thought was gonna be your last, I was falling deep, deeply in love with you, and I never told you ’til just now!

https://nanirigby.files.wordpress.com/2016/11/7f131-edward-sharpe-and-the-mag-008.jpg

Hippie Hippie ena. Membernya kek mau tanding bola.

Saya kemudian habis habisan mendengarkan gabungan dua band yang menghasilkan sebuah kolaborasi berisi lebih dari 10 member ini, lengkap dengan gaya mereka yang mengingatkan saya pada Bara Suara. Renyah, riang berapi api. Favorit saya adalah self-titled album mereka dan tentu saja, nomor Home di atas.

Wild Child

https://f4.bcbits.com/img/a0463800673_10.jpg

Why kumisnya why?

Formatnya: mbak-mbak chubby nyanyi dengan males malesan duet sama mas-mas kerempeng dengan kumis hipster dan gaya belum mandi berhari hari.

Tapi bangsat lagu lagunya enak semua.

Duo Kelsey dan Alexander yang mirip pasangan kelamaan bareng terus ogah ogahan PDA demi kepentingan kamera punya kinetis kimiawi yang jauh lebih mesra, klop dan megah dibanding apa yang terlihat. Udah paling pas mendengarkan mereka melalui format audio saja hahaha.

Tiga album telah saya hapal semua lagunya, Pillow Talk, Rundaround dan Fools. Dengan nomor nomor yang liriknya bikin mendesah enak. Whiskey Dream, Winter Pocket, Fools, Pillow Talk, Saving Face, Reno, Trillo Talk, Meadow, Break Bones. Semuanya. Oh, dan coba dengarkan Reno dalam versi audiotree, enaaaa.

I’m a girl and every single girl on earth needs a certain song to represent their feeling dan band asal Texas ini telah berhasil menemani setiap inci perjalanan hati saya. Tsaahh.

Fleet Foxes

https://i0.wp.com/stereoembersmagazine.com/wp-content/uploads/2016/05/A1CQUjoruxL._SL1500_.jpg

Artwork album Fleet Foxes keren semua.

Di Path, mbak Reda dari AriReda sekali waktu memposting tengah mendengarkan Sun Giant milik band ini. Teringat pernah mendengarkannya sekali waktu, sayapun mengunduh Album Sun Giant dan beberapa nomor dari album Helplessness Blues dan Fleet Foxes. Keberhasilan lagu lagu seperti Mykonos, White Winter Hymnal (yang liriknya gore sekali itu) dan Montezuma dalam mentersesatkan mood saya sehari hari membuat mereka menjadi salah satu favorit saya di tahun ini.

Ketajaman Fleet Foxes dalam mengolah lirik yang tidak biasa dengan musik yang membawa pesona ambient membuat mereka cocok untuk meditasi (?) ini memang terdengar aneh namun sejak agak rajin yoga dan meluangkan 15 menit meditasi setiap hari, lagu lagu mereka entah mengapa lebih enak untuk mengiringi tinimbang score score keIndia-Indiaan yang bertebar di yutub. Personal preference sih, tapi kalo iseng cobain aja.

Empat nama di atas adalah temuan berharga saya di tahun ini. Meski terdapat sederet nama lain yang tidak kalah menarik seperti The Oh Hellos, Barton Hollow, Ben Howard, The Avett Brothers sampai Lost in the Trees yang Neither Here or There-nya cocok buat score film psikologi thriller, kayaknya cuma empat di atas yang betah saya dengarkan berkali kali, berhari hari, hingga hapal di luar kepala lalu direka reka untuk digumamkan sebagai (sekali lagi) representasi perasaan.

Sampit, 17 Nopember 2016

Wolf mother where you’ve been? You look so worn, so thin.

Senja Merah : Kebahagiaan yang Banal

Untitled.jpg

Sampul Depan

Saya lupa kapan tepatnya atau dalam momentum berupa apa, namun saya ingat pernah menghabiskan berminggu minggu mengetik naskah Senja Merah ini. Setiap sesi menulis saya selalu memutar lagu lagu Iwan Fals, Homicide dan sesekali nomor klasik semacam Pavarotti dan skor skor olahan Yo Yo Ma. Di sela menulis, saya sibuk terlibat dalam twitwar dan diskusi kiri di forum Facebook seolah dua platform media sosial tersebut adalah satu satunya dunia yang saya punya.

Masa remaja saya (saya 18 tahun kala itu) awesome sekalilah pokoknya. Walaupun penganggur lantaran baru saja cabut dari koran, walaupun tidak mengetahui cara membayar kreditan PC yang cicilannya masih sekian bulan. Waktu itu saya hanya ingin menulis dan menulis saja.

Dengan kemampuan dan pengetahuan tentang dunia kepenulisan yang alakadarnya, banyak sekali kesalahan tata bahasa dan ejaan di dalamnya. Namun toh tetap saja dengan bangganya naskah Senja Merah yang awalnya berjudul Malam Teror ini saya pamerkan ke mana mana. Hingga satu-dua kawan membantu menghubungkan saya dengan penerbit penerbit dan sepanjang 2010 saya disibukkan dengan perasaan deg degan ketika berkomunikasi langsung dengan para editor penerbit penerbit ternama itu.

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/15055614_1331782500178735_7525894579774471026_n.jpg?oh=8624e6f7ab1a5b0046d2229575fc67ab&oe=58CB35A8

Upaya memenuhi kalimat “Tulisanmu menarik, apalagi ini ditulis oleh gadis belasan tahun, kamu cuma harus edit ulang dan kembangkan cerita tokohnya lalu kirim kembali, naskahmu akan menjadi pertimbangan teratas kami” dari Mbak Nita, editor Kurnia Esa yang waktu itu intens berkomunikasi dengan saya berujung pada kemalasan. Saya bosan melihat naskah novel ini dan mengalami kebuntuan untuk melakukan pembenahan. Ditambah dengan saya yang diterima bekerja di Jakarta dan memulai kesibukan sedemikian rupa.

Hingga tau tau, delapan tahun lewat begitu saja. Saya tidak lagi berkomunikasi dengan Mbak Nita dan keinginan untuk melakukan editing naskah ini tak kunjung muncul. Sampai akhirnya di awal 2016, out of the blue, saya ingin membukukan naskah Senja Merah, bagaimanapun caranya.

Dan begitulah, sebelas bulan selepas resolusi tahun baru itu dilontarkan, saya akhirnya mencetak indie buku ini melalui NulisBuku.com. Akhirnya, saya dapat memegang Senja Merah dalam format mirip novel beneran dan bangga tidak alang kepalang. Meski pada akhirnya mereka hanya akan berakhir di rak buku di rumah dan dibaca satu-dua kawan, saya toh akhirnya menerbitkan buku dan memenuhi satu dari beberapa resolusi tahun baru yang belum tentu kesampaian.

Berikut sinopsis untuk Senja Merah yang ditulis oleh Mbak Nita dari Kurnia Esa, 2010:

Tak ada malam yang tak mencekam. Tak ada malam yang berurai cahaya, bahkan dari api kecil sekalipun. Sunyi. Senyap. Semua membisu tanpa suara – selain derap sang Teror Malam beserta sirene mereka. Ketakutan, kecemasan, nafas seakan terhenti ketika senja meredup meninggalkan hari.
Wenggini hanyalah bocah ingusan dari desa yang selalu melewati malam teror. Hingga akhirnya, satu demi satu keluarganya diterkam Teror Malam. Lubang-lubang timah panas mengakhiri segala yang dimilikinya. Satu malam saja, Wenggini yatim piatu.
Dunia tak berhenti. Hidup Wenggini terus berlanjut. Ada apa dengan teror malam? Siapa mereka? Apa mau mereka?
“Merdeka adalah harga mutlak yang harus dimiliki negara ini. Demi merdeka, tak ada satupun nyawa terbuang percuma.” Begitu yang tertanam di benak setiap mereka yang berani saat itu.
Tapi apalah artinya jika sudah mati? Akankah kemerdekaan itu jadi lebih bermakna? Seribu satu pertanyaan berkecamuk dalam benak Wenggini. Kalau saja ada yang mau menjelaskan kenapa ayah, ibu, serta Sunaryo harus mati, Wenggini harus yakin alasannya benar. Hingga akhirnya pria itu datang di hidupnya. Pria yang mengubahnya menjadi wanita mumpuni yang mengerti apa yang harus dilakukan.
Namun teror tetap ada. Teror yang kian mencekam, tak hanya datang saat senja menghilang, tetapi ada kapanpun ia mau!
Lariii!! atau hadapi dengan dagu terangkat dan siap bersimbah darah!

Saya tidak menjual buku ini dalam format cetak karena… too much effort hahaha. Entahlah, saya sendiri ga tega jika seseorang harus membayar 50-60 ribu di luar ongkir hanya untuk membaca sesuatu yang sudah saya sebar di internet sejak sekian lama. Saya hanya ingin membuat kenang kenangan untuk diri sendiri, agar kelak sepuluh, dua puluh tahun dari sekarang saat saya mengalami hari paling buruk sedunia, saya bisa meraih buku ini dari rak berdebu dan tersenyum soal bagaimanapun juga saya pernah bermimpi dan mewujudkan mimpi itu 🙂

Gombal abis ya alasannya.

Anyway jikalau ingin membaca versi yang telah dirapikan, silakan download .Pdfnya di sini.

Sampit, 10 Nopember 2016

Nani punya buku sendiri, Yay!